‘Jenderal Myanmar Itu Cuma Tahu Membunuh Rakyat tak Bersenjata’
- Utusan PBB untuk Myanmar mendesak tindakan segera Dewan Keamanan mencegah perang saudara.
- Jenderal-jendral itu nggak bisa mengurus Myanmar.
- Cina mengatakan siap bekerjasama dengan siapa pun, tapi mengesampingkan sanksi.
JERNIH — Christine Schraner Burgener, utusan khusus PBB untuk Myanmar, Rabu 31 Maret mendesak Dewan Keamanan (DK) mengambil tindakan segera mencegah pertumpahan darah.
“Pertimbangkan semua alat untuk mengambil tindakan kolektif, dan melakukan yang benar dan layak diterima rakyat Myanmar,” kata Christine Burgener. “Ini penting untuk mencegah bencana multidimensi di jantung Asia.”
Christine juga memperingatkan kemungkinan ‘perang saudara’ skala luas di Myanmar, yang melibatkan semua etnis melawan Tatmadaw — tentara Myanmar yang didominasi etnis Bamar, atau Burma.
Dalam pertemuan tertutup 15 anggota DK PBB, Christine mengatakan para jenderal yang merebut kekuasaan 1 Februari lalu tidak mampu mengelola negara. Para jenderal itu relatif hanya menginstruksikan pasukan untuk membunuh pengunjuk rasa.
“DK PBB harus mempertimbangkan tindakan yang berpotensi signifikan membalik jalannya peristiwa, karena pertumpahan darah semakin dekat,” katanya.
Setidaknya 536 warga sipil tewas sejak unjuk rasa besar-besaran memprotes kudeta militer digelar di seluruh Myanmar. Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Polisik (AAPP), 141 orang tewas sepanjang Sabtu pekan lalu.
Myanmar saat itu sedang memperingati ulang tahun Tatmadaw. Para jenderal menggelar makan malam mewah, dan tentara di seluruh negeri secara brutal menumpahkan darah.
Militer Myanmar juga meningkatkan aktivitas di wilayah yang dikontrol etnis bersenjata. Di perbatasan Thailand, jet tempur Myanmar menyerang desa-desa etnis Karen, memaksa puluhan ribu orang melintasi perbatasan dan lainnya bersembunyi di hutan.
Di negara bagian Kachin, Tentara Pembebasan Kachin (KIA) menyerang markas polisi sebagai balasan atas pembunuhan warga sipil etnis Kachin yang melakukan unjuk rasa anti-kudeta.
DK PBB sejauh ini mengeluarkan dua pernyataan keprihatinan dan mengutuk kekerasan terhadap pengunjuk rasa, tapi tak menggunakan bahasa yang mengutuk kudeta. DK PBB menghadapi oposisi dari Cina, Rusia, India, dan Vietnam.
Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC), Kamis 1 April, mengatakan pihaknya prihatin dengan meningkatnya jumlah korban. IFRC juga prihatin dengan penangkapan terhadap petugas medis dan Palang Merah Myanmar.
“Mereka diintimidasi atau ditangkap agar tidak ada bantuan untuk pengunju rasa terluka atau mati,” kata Alexander Matheou, direktur IFRC wilayah Asia Pasifik.
“Itu situasi yang tidak bisa diterima. Tenaga kesehatan seharusnya tidak menjadi target, mareka harus diberi akses kemanusiaan tak terbatas terahdap orang-orang yang membutuhkan,” lanjutnya.
Zhang Jun, dubes Cina untuk PBB, mengatakan Beijing bekerja dengan semua pihak di Myanmar untuk mengurangi ketegangan tapi mengesampingkan sanksi.