- Jepang berhutang moral pada Cina, karena tidak pernah minta maaf atas pembantaian Nanjing.
- Status raksasa ekonomi dunia saat ini telah bergeser dari Jepang ke Cina, tapi Tokyo tak pernah introspeksi diri.
JERNIH — Senin 13 Desember lalu, Cina memperingati The Rape of Nanjing — ketika pasukan Kekaisaran Jepang membunuh lebih 200 ribu penduduk Tiongkok saat merebut kota itu tahun 1937.
Kekejaman itu terjadi selama Perang Jepang-Cina II, saat Dai Nippon berusaha menaklukan sekujur Tiongkok. Upaya Jepang menghadapi perlawanan rakyat yang luar biasa, membuat perang menjadi tidak mudah.
Bagi penduduk Tiongkok yang belajar sejarah, peristiwa itu paling sensitif dan traumatis. Dari sudut pandang Cina, Jepang belum menebus atau meminta maaf atas kejahatannya.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, peringatan Rape of Nanjing tahun ini yang paling suram. Sebelum peringatan, Cina dibuat marah oleh pernyataan Jepang yang mempertimbangkan untuk bergabung dengan aksi boikot diplomatik terhadap Olimpiade Musim Dingin Beijing tahun depan atas dasar hak asasi manusia.
Jepang cenderung mengikuti sikap AS dan negara-negara Anglosphere, kendati Inggris sempat mengatakan tidak ingin melakukannya karena khawatir disebut anjing pudel Washington.
Bebas dari Kesalahan Masa Lalu?
Pernyataan Jepang adalah tamparan bagi Cina. Sebab, Beijing mendukung Jepang saat menyelenggarakan Olimpiade Tokyo. Jepang, yang ingin mengambil posisi moral paling tinggi atas Cina — terutama dalam hak asasi manusia — dianggap tidak bermartabat.
Jepang, menurut Cina, tidak sensitif dan arogan terhadap ingatan orang akan kejahatan mengerikan di Nanjing tahun 1937.
Tom Fowdy, penulis Inggris, menyoroti Twitter untuk menemukan kemunafikan Jepang terhadap hak asasi manusia. Satu netizen Jepang menulis; Itu kan tahun 1937.
Menurut Fowdy, logika arumen reduktif itu mencerminkan tema yang akrab dalam pemikiran Anglophone. Bahwa pelanggaran atas nama mereka di masa lalu tidak penting lagi.
Pertanyaannya, jika Cina melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di masa lalu terhadap orang Jepang, apakah Jepang akan melupakannya? Pasti tidak kan?
Jadi, menurut Fowdy, ada kesalahan logika yang dimainkan di sini. Bahwa seiring berlalunya waktu, entah bagaimana, sama halnya dengan pembebasan keadilan. Sebab, ada beberapa negara yang kerap dianggap selalu benar.
Ketika Kekaisaran Jepang menyerah kepada AS, rezim yang sama dimasukan kembali ke dalam sistem baru. Faktanya, AS memiliki yurisdiksi atas Jepang, karena Kaisar Jepang menyerah hanya kepada Paman Sam.
Jadi, AS tidak perlu ada tawar-menawar dengan Uni Soviet seperti yang terjadi di Jerman usai Perang Dunia II di Eropa. Ini pula yang menyebabkan Jepang seolah bebas dari kejahatan masa perang, yang tidak hanya dilakukan di Cina tapi juga di negara-negara lain yang pernah diduduki.
Luka kebiadaban Jepang di Asia, terutama di Cina dan Korea, sama sekali belum tersembuhkan. Namun Cina dan Jepang mencoba hidup bersama demi kepentingan ekonomi. Korea dan Jepang juga melakukan hal yang sama, kendati sentimen anti-Jepang akan selalu muncul di Korea.
Kepentingan ekonomi, apa pun bentuknya, tidak akan pernah menghapus trauma masa lalu. Terlebih, Cina saat ini sedang membangun identitas nasional komtemporer.
Partai Komunis Cina (PKC) bangga berpartisipasi dalam perjuangan anti-Jepang, memulihkan kedaulatan bangsa atas agresi asing selama satu abad, dengan Nanjing sebagai peristiwa paling memilukan di tanah Tiongkok.
Hari Introspeksi Diri
Mereka yang selamat dari The Rape of Nanjing masih ada, dan jumlahnya tak sedikit. Beberapa dari mereka masih bisa bercerita bagaimana kebiadakan tentara Jepang saat itu.
Ketika Jepang mengabaikan semua ini, setiap orang Cina akan merasa terhina. Hinaan itu semakin menjadi-jadi dengan sikap Jepang yang seolah tidak menyesali kebiadaban tentaranya di masa lalu. Jepang seolah merasa nyaman, dan atas semua tuntutan atas dosa masa lalu, hanya karena hubungan istimewa-nya dengan AS.
Kini, Cina bukan lagi negara yang Jepang lihat setengah abad lalu. Jepang juga bukan lagi negeri seperti 30 tahun lalu, yaitu negara raksasa ekonomi dengan sedemikian banyak produknya tersebar di sekujur Bumi.
Ekonomi Cina saat ini tiga kali lipat ekonomi Jepang. Akhir 2021, produk domestik bruto (PDB) Cina diprediksi tumbuh delapan persen, sedangkan Jepang terkontraksi tiga persen. Tahun 2020, ekonomi Cina tubmuh 2,1 persen, Jepang ruun 4,59 persen.
Banyak orang berharap pergeseran keseimbangan kekuatan ini menjadi hari introspeksi diri bagi Jepang. Itulah yang tidak dilakukan Tokyo.
Menurut Fowdy, semua ini mencerminkan satu hal. Jepang takut pada Cina.