Ketika Bos-bos Perusahaan AI Menggunakan AI

AI adalah asisten pribadi para CEO yang sekaligus para “pembunuh” karir mereka. Bahkan bos perusahaan AI pun memanfaatkannya saban hari.
JERNIH – AI kini menjadi paradoks terbesar di dunia kerja. Di satu sisi, generasi muda seperti Gen Z menghadapi ancaman tergusur karena hilangnya pekerjaan tingkat pemula. Namun di sisi lain, para eksekutif puncak justru memeluk teknologi ini sebagai kunci untuk mempercepat produktivitas mereka.
Bagi Gen Z, AI berarti hilangnya kesempatan kerja awal yang biasanya menjadi pijakan karier. Mereka berpacu dengan waktu agar tidak menjadi korban berikutnya dari otomatisasi.
Namun, bagi para bos besar, ceritanya jauh berbeda. Satya Nadella, CEO Microsoft, terang-terangan mengaku GPT-5 di Copilot kini menjadi bagian dari “alur kerja sehari-harinya”. Teknologi yang sama yang menyingkirkan pekerjaan anak muda justru memberinya “lapisan kecerdasan baru” dalam memimpin perusahaan senilai 3,7 triliun dolar itu.
Survei Harris Poll atas nama Dataiku bahkan mengungkap paradoks lain: lebih dari tiga perempat CEO AS takut kehilangan pekerjaan. Ketakutan ini membuat mereka—sama seperti karyawan muda—terpaksa merangkul AI, bukan melawannya.
“Prompt Rahasia” Satya Nadella
Lewat sebuah unggahan di LinkedIn, Nadella membocorkan lima prompt favoritnya yang ia klaim mempercepat alur kerja sehari-hari:
- Prediksi Rapat: “Berdasarkan interaksi saya sebelumnya dengan [orang], sebutkan 5 hal yang mungkin terlintas dalam pikirannya untuk rapat kita berikutnya.”
- Ringkasan Proyek: “Susun draf pembaruan proyek dari email, chat, dan rapat: KPI vs target, risiko, hingga langkah kompetitif.”
- Cek Progres Produk: “Apakah kita berada di jalur untuk peluncuran [produk] bulan November? Beri probabilitasnya.”
- Analisis Kalender: “Tinjau jadwal bulan lalu, kelompokkan proyek utama dengan persentase waktu yang dihabiskan.”
- Persiapan Rapat: “Tinjau email + siapkan saya untuk rapat berikutnya berdasarkan diskusi tim sebelumnya.”
Bagaimana CEO Lain Menggunakan AI?
Nadella bukan satu-satunya. Sejumlah nama besar lain juga menjadikan AI sebagai asisten pribadi mereka. Jensen Huang (Nvidia) menggunakan ChatGPT dan Perplexity sebagai tutor harian. Ia meminta penjelasan mulai dari “seperti saya berusia 12 tahun” hingga tingkat doktoral.
Lantas Sam Altman (OpenAI) walau masih suka menulis dengan pena, ia mengandalkan ChatGPT untuk mengolah email, meringkas dokumen, bahkan belajar menjadi seorang ayah baru. “Saya tidak tahu bagaimana saya bisa melakukannya tanpa ChatGPT,” ujarnya.
Seni Menjadi “Pemandu AI”
Seiring AI makin pintar, merangkai prompt yang sempurna mungkin tidak sepenting dulu. Namun, prompt yang jelas tetap membedakan hasil biasa dan hasil luar biasa.
Menurut Anthropic, pembuat Claude, aturan emasnya sederhana: uji prompt Anda pada orang lain. Jika mereka bingung, AI juga kemungkinan akan bingung.
Tips Anthropic lainnya:
- Spesifiklah. Jika hasil tidak sesuai, perjelas instruksi.
- Periksa hasilnya. Jangan sekadar percaya AI akan “berpikir langkah demi langkah” tanpa memverifikasi.
- Biarkan AI mengajari Anda.
Seperti kata Maggie Vo dari Anthropic, AI justru bisa melatih Anda berkomunikasi lebih baik dengannya.
AI hari ini tampak seperti koin bermata dua. Di satu sisi, ia mencuri pijakan karier generasi muda. Di sisi lain, ia menjadi tongkat ajaib para eksekutif untuk bekerja lebih cepat, lebih cerdas, bahkan lebih personal.
Pertanyaannya, apakah AI akan terus memperlebar jurang antara mereka yang punya kuasa dan yang berjuang naik dari bawah—atau justru bisa menjadi jembatan yang adil untuk semua?(*)
BACA JUGA: Think Tank sebagai Ventilasi Ide: Peran GREAT Institute untuk Generasi Milenial dan Z