
Sepeninggal PB XIII Keraton Solo kembali memanas. Persoalan lama rupanya belum sepenuhnya terkubur. Perebutan tahta menjadi alasan kuat kisurh keraton.
JERNIH – Kisruh suksesi di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Keraton Solo) kembali mencuat ke permukaan dan menjadi sorotan publik tak lama setelah Raja Sri Susuhunan Pakubuwono (PB) XIII Hangabehi mangkat pada Minggu, 2 November 2025. Peristiwa ini kembali menghadirkan dualisme kepemimpinan yang telah menjadi persoalan laten di dalam keraton sejak lama.
Fokus konflik terbaru kini melibatkan dua sosok sentral, yaitu KGPH Hangabehi (Kanjeng Gusti Pangeran Harya Hangabehi) dan adiknya, KGPAA Hamengkunegoro atau Gusti Purbaya. Keduanya adalah putra mendiang PB XIII dari ibu yang berbeda dan kini sama-sama mengklaim berhak atas takhta dengan gelar SISKS Pakubuwono XIV.
Siapa KGPH Hangabehi?
KGPH Hangabehi atau yang juga dikenal dengan gelar sebelumnya KGPH Mangkubumi, adalah putra tertua dari mendiang SISKS Pakubuwono XIII, hasil pernikahan dengan istri kedua, KRAy Winari Sri Haryani.

Hangabehi menjadi sorotan utama karena pada Kamis, 13 November 2025, ia secara resmi dinobatkan sebagai Pangeran Pati (calon raja) sekaligus Pakubuwono XIV oleh kubu Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta. LDA dipimpin oleh adiknya PB XIII, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Koes Murtiyah Wandansari atau akrab disapa Gusti Moeng. Penobatan ini berlandaskan pada hukum adat Jawa yang mengutamakan anak laki-laki tertua sebagai pewaris takhta.
Konflik suksesi ini pada dasarnya adalah perpanjangan dari perselisihan internal yang sudah berlangsung bertahun-tahun, kini memasuki babak baru setelah mangkatnya raja.
Pada Rabu, 5 November 2025, bahkan sebelum jenazah PB XIII diberangkatkan, putra mahkota KGPAA Hamengkunegoro (Gusti Purbaya), yang merupakan putra PB XIII dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Pakubuwana, telah mendeklarasikan diri sebagai Pakubuwono XIV. Purbaya sebelumnya telah ditetapkan oleh PB XIII sebagai Putra Mahkota, namun penetapan ini ditentang oleh kubu LDA pada tahun 2022.
Sebagai tandingan, pada 13 November 2025, kubu LDA menggelar rapat keluarga besar dan menobatkan KGPH Hangabehi sebagai Pakubuwono XIV. Kubu ini mengklaim bahwa Hangabehi adalah pewaris sah berdasarkan garis keturunan putra tertua dan menentang penetapan Purbaya yang dinilai menyalahi paugeran (aturan adat) keraton.
Rapat keluarga yang menobatkan Hangabehi sempat memanas setelah putri tertua PB XIII, GRAy Timoer Rumbai Kusuma Dewayani (kubu Purbaya), bersama kerabat lainnya datang dan melancarkan protes keras.
Kondisi ini semakin diperuncing oleh adanya dua agenda Jumeneng Dalem (perayaan kenaikan takhta) terpisah. Kubu Gusti Purbaya merencanakan acara Jumeneng Dalem Nata Binayangkare pada Sabtu, 15 November 2025.
Kubu LDA/Hangabehi juga telah menobatkan Hangabehi sebagai PB XIV, dan urusan teknis serta kegiatan ke depan akan dikoordinasikan melalui KGPH Panembahan Agung Tedjowulan yang kini menjabat sebagai sesepuh yang ditugaskan untuk koordinasi dengan Pemerintah.
Warisan Konflik Sepeninggal PB XII
Konflik ini bukanlah hal baru. Benar bahwa kisruh suksesi di keraton menjadi sangat ramai sepeninggal Sultan sebelumnya, yaitu Pakubuwono XII, yang mangkat pada tahun 2004.
Akar persoalan latennya adalah saat Raja PB XII mangkat pada 2004 tanpa meninggalkan permaisuri resmi dan tidak menunjuk secara jelas siapa penerusnya. Wafatnya PB XII memunculkan dua klaim raja; yaitu pertama Hangabehi (putra tertua PB XII dari selir), yang kemudian diakui konsensus keluarga sebagai Pakubuwono XIII dan kedua Tedjowulan (adik PB XIII dari lain ibu), yang juga sempat mendeklarasikan diri sebagai PB XIII.
Pada 2012 sebenarnya telah terjadi islah. Konflik ‘raja kembar’ sempat mereda setelah mediasi yang salah satunya dilakukan oleh Jokowi (saat itu Wali Kota Solo). Hangabehi diakui sebagai PB XIII, dan Tedjowulan menjadi Mahapatih dengan gelar KGPH Panembahan Agung.
Persoalan pun beres dan damai. Namun konflik yang kini terjadi sepeninggal PB XIII adalah terbukanya kembali “luka lama” suksesi karena adanya perbedaan pandangan antara kubu yang mendukung Putra Mahkota yang telah ditetapkan PB XIII (Gusti Purbaya) dengan kubu Lembaga Dewan Adat (LDA) yang bersikeras pada adat putra tertua (KGPH Hangabehi) dan menilai penetapan Purbaya tidak sesuai paugeran.
Konflik internal Keraton Surakarta kini telah mencapai titik dualisme takhta yang secara de facto menghadirkan dua figur yang sama-sama diklaim sebagai Pakubuwono XIV oleh kubunya masing-masing. Pemerintah dan berbagai pihak mendesak agar seluruh kerabat keraton segera duduk bersama menyelesaikan persoalan ini secara kekeluargaan untuk memulihkan marwah dan kelestarian budaya keraton.(*)
BACA JUGA: Sri Susuhunan Pakubuwono XIII Berpulang, Kisah Raja yang Menjaga Takhta dan Tradisi Jawa
