Kiprah Para Penyair Menulis Puisi dalam Era Infodemic

oleh : Dedy Tri Riyadi
Kita hidup di era yang sering disebut sebagai infodemic, dimana informasi tidak lagi sekadar membanjiri kehidupan kita tapi sudah terjadi ledakan-ledakan informasi yang kemudian menimbulkan semacam aneka kegegeran di dalam hidup. Hampir setiap detik, melalui beragam media, seperti media sosial, portal berita real-time, konten video pendek, siniar (podcast), hingga algoritma pencarian tercipta riuh yang seolah tanpa jeda.
Dalam kondisi seperti itu, posisi puisi terasa paradoksal. Di satu sisi, ia nyaris tertelan oleh arus cepat budaya populer, tetapi di sisi lain, justru ia menemukan relevansinya sebagai bentuk ekspresi yang melawan kecepatan, yang memberi ruang bagi perenungan, kedalaman, dan resonansi batin.
Permasalahannya kemudian, bagaimana para penyair bersuara tentang zeitgeist—roh zaman—sekaligus menjaga otonomi estetikanya dalam era yang seperti ini? Karena agaknya, kondisi zaman ini membuat para penyair tidak bisa lagi menjadikan puisi hanya sebagai gema lirisisme pribadinya. Meskipun, eksistensi diri itu memang penting, tetapi tadi, dalam setiap detik selalu muncul peristiwa-peristiwa baru yang mungkin secara value lebih besar, lebih bisa menyita perhatian netizen daripada pribadi penyair tersebut.
Dari studi kasus terhadap 15 penyair yang karyanya bisa ditemukan di pelbagai situs sastra seperti BWCF, Basabasi, Jernih, Bacapetra, dan lainnya, termasuk buku puisi pemenang Kusala Sastra 2025 lalu, saya mendapatkan beragam respons terhadap suara zaman, yang dapat dikelompokkan ke beberapa strategi penulisan puisi baik tema maupun pendekatan yang digunakan ketika menuliskan puisi-puisi tertentu milik mereka.
Puisi-puisi bercorak eksistensial masih cukup banyak dituliskan. Baik yang digabungkan dengan religiositas maupun spiritual pada umumnya. Yang ditawarkan dalam puisi-puisi seperti ini adalah semacam ruang kontemplatif, apa yang serupa dengan doa, dan mengajak pembaca masuk ke kedalaman batin di tengah riuh dunia digital.
Ada juga puisi-puisi yang menawarkan tinjauan historis dengan menggali tokoh dan peradaban di masa lampau yang kemudian digunakan untuk menyoal kekuasaan, agama, dan sejarah kekerasan.
Puisi-puisi bercorak atau bertema sains Ilmiah dan menyoal peranan manusia dalam konteks ekologi juga sudah muncul. Puisi-puisi semacam ini ditulis dengan bahasa sains dan (bahkan) perspektif non-manusia, untuk membentangkan kesadaran ekologis dalam skala semesta. Tak jarang, puisi-puisi ini mengambil anasir-anasir kosmis, untuk meletakkan dan menyadarkan bahwa (keberadaan) manusia itu sangat tidak lebih penting dari seluruh alam semesta ini.
Keterbukaan penyair dan puisinya terhadap budaya global juga terlihat dari puisi-puisi yang secara estetika menggunakan ikon-ikon atau simbol-simbol budaya pop. Alih wahana dari beragam film, lagu, atau broadway menjadi hal yang mudah ditemukan dalam puisi-puisi seperti ini.
Bahasa intim dan otobiografis juga banyak digunakan oleh para penyair untuk menciptakan puisi-puisi yang menghadirkan refleksi keibuan, trauma, dan relasi generasi dalam membahas identitas dan ke-tubuh-an sebagai pribadi. Puisi-puisi semacam ini bersinggungan dengan puisi-puisi yang menghadirkan folklor dan lokalitas. Bisa jadi dengan menggunakan idiom-idiom daerah, tradisi, adat, dan lainnya, adalah strategi untuk menjaga memori kultural, selain soal pribadi tadi.
Nuansa realisme yang lebih cair, yang menangkap detail keseharian baik itu ruang lingkup dalam hidup, relasi antarmanusia, juga dimunculkan lewat puisi-puisi yang bertema sosial-urban. Berbeda dengan puisi-puisi yang menggunakan idiom daerah, jika pun menggunakan simbol atau idiom justru akan dekat dengan puisi-puisi yang mengambil estetika secara global. Hal ini karena kesadaran bahwa masyarakat urban juga merupakan masyarakat global. Juga dengan harapan bahwa puisi-puisi itu bisa diterima oleh masyarakat di belahan dunia yang lain.
Dari sini tampak bahwa puisi Indonesia kontemporer atau pada saat ini, justru tidak seragam. Ia meminjam banyak bahasa: bahasa sains, bahasa sejarah, bahasa mistik, bahasa tubuh, hingga bahasa pop. Ragam ini justru mencerminkan dinamika suara zaman—zaman yang memang berlapis-lapis, penuh kontradiksi, dan tidak bisa direduksi menjadi satu narasi tunggal.
Jika menyadari hal tersebut, para penyair di era infodemic ini justru masih memiliki kesempatan untuk menuliskan beberapa lapisan zeitgeist yang masih jarang disentuh, seperti puisi yang menyoal bagaimana algoritma, AI, atau realitas virtual membentuk pengalaman manusia modern. Padahal ini salah satu ciri utama zaman kita.
Demikian juga dengan pengalaman ekologis sehari-hari (banjir, polusi, kehilangan ruang hijau, krisis pangan) yang belum banyak dipersonifikasikan ke dalam puisi, masih bisa digarap oleh para penyair masa kini. Selain itu, dinamika politik yang terjadi seharusnya bisa membuat penyair menulis kritik langsung terhadap kondisi sosial-politik kekinian. Namun, terlihat hal ini justru sering dihindari, entah karena trauma sensor atau strategi estetika.
Agar puisi-puisi yang dituliskan memiliki hubungan yang dekat dengan digital native, mereka yang begitu lahir sudah ada di era digital ini, sepertinya sangat perlu untuk membentuk dalam bahasa puitik; suara anak muda yang lahir dengan TikTok, Instagram, dan game online yang masih jarang terdengar. Ada celah besar di sini, bagaimana bahasa layar bisa diolah menjadi bahasa puisi.
Secara spesifik tema, masih ada beberapa ceruk yang bisa diangkat dalam perpuisian kontemporer (Indonesia) seperti puisi dari kelas pekerja urban, puisi-puisi yang merekam suara kurir online, buruh pabrik, atau pekerja informal yang merupakan lapisan (masyarakat) yang sering terlewat dari estetika sastra. Kemudian puisi yang memperluas representasi dari kalangan minoritas (dan gender): terutama suara queer, disabilitas, atau komunitas terpinggirkan.
Sedangkan dari sisi medium, bisa juga ditampilkan puisi-puisi yang menyeberang medium: puisi yang lahir bukan hanya di buku, tapi juga di layar interaktif, performa digital, atau kolaborasi multimedia.
Meski batasan puisi adalah karya tulis sudah sangat dikaburkan dengan adanya teknologi multimedia saat ini, namun ada beberapa prinsip penulisan puisi yang masih bisa dipertahankan, seperti puisi bukan hanya sekadar memperbesar resonansi (ikut-ikutan bising), tetapi menemukan cara untuk memberi jeda, merenungi apa yang hilang di tengah hiruk-pikuk informasi. Penyair masih sangat dibutuhkan keahliannya terutama dalam pembentukan bahasa puitik dari beragam hal yang sangat melimpah saat ini, dari pelbagai (lintas) disiplin.
Penyair, dengan keberagaman bahan untuk bahasa puitik dan kelindan lapisan-lapisan suara zaman itu, justru memiliki banyak kelebihan untuk menjadikan puisinya sebagai pembuka ruang subversif terhadap narasi-narasi besar yang mendominasi informasi. Puisi masih bisa digunakan sebagai kritik (halus) terhadap negara (kekuasaan, politik), pasar (kapitalisme), dan sebagainya.
Menyadari bahwa banyak hal yang tidak bisa bersuara, penyair bisa memberikan suara pada hal-hal yang bersifat non-human untuk membuka horizon yang lebih luas. Semisal terkait dengan krisis ekologis, ledakan arus informasi, atau hal-hal lainnya.
Sebagai penutup, dalam era infodemic ini tugas penyair bukan sekadar menambahkan lapisan baru dari suara zaman, melainkan juga menemukan bahasa yang mampu mengikat riuh menjadi hening, banjir informasi menjadi setetes makna, dan zaman yang bising menjadi suara yang tak lekang oleh waktu.
Wanalampah, September 2025
Dedy Tri Riyadi, lahir di Tegal, Jawa Tengah, dan tinggal di Jakarta. Sehari-hari sebagai pekerja lepas periklanan dan pemasaran. Ia adalah redaktur puisi di Porch Literary Magazine yang terbit secara daring.