Konflik Tambang, Perusahaan Milik Eks Mentan Dilaporkan ke Polda Sultra
Triwiardi mengatakan, sebelum pelaporan, KDI telah berusaha menyelesaikan persoalan secara damai dengan mengajak Tiran Indonesia bertemu untuk bermusyawarah. Namun, tiga surat yang dikirim KDI tidak ditanggapi oleh PT Tiran Indonesia. Menurut Triwiardi, saat ini Tiran Indonesia juga memiliki masalah dalam hal pengoperasian Jetty (yang sebenarnya merupakan milik KDI) dengan pihak masyarakat Desa Matarape, Pemerintah dan DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, dan Kementerian Perhubungan.
JERNIH– Kelompok Delapan Indonesia (PT KDI) mengadukan PT Tiran Indonesia ke Polda Sulawesi Tenggara. PT Tiran Indonesia yang disebut, dimiliki bekas Menteri Pertanian Amran Sulaiman, diduga melakukan tindak pidana memasuki pekarangan tanpa izin dan pengrusakan.
Direktur KDI, Triwiardi dalam keterangan tertulisnya yang diterima redaksi, Sabtu (30/4) petang, mengatakan bahwa laporan pihak KDI ke SPKT Polda Sulawesi Tenggara tercatat dengan Laporan Polisi Nomor: LP/B/196/IV/2022/SPKT POLDA SULTRA.
Pelaporan tersebut merupakan buntut dari sengketa pengelolaan lahan tambang nikel di Desa Lameruru, Kecamatan Langgikima, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Triwiardi mengaku, sejak tahun 2010, perusahaannya telah melakukan kegiatan penambangan nikel di wilayah izin usaha tambang (IUP) KDI di Desa Lameruru. Bahkan, untuk mendukung penambangannya, pada tahun 2011, KDI telah membebaskan, membangun dan mengoperasikan Pelabuhan Khusus (Jetty) di Desa Matarape, Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah.
Saat pemerintah memberlakukan pelarangan ekspor ore nikel pada 2012 sebagai pelaksanaan UU Minerba, KDI pun taat dan menghentikan kegiatan penambangan serta pengoperasian Jetty tersebut.
Menurut Triwiardi, pada 17 Maret 2017, ada surat ajakan kerjasama dari pihak PT Tiran Indonesia. Perusahaan milik eks Mentan Amran Sulaiman itu menyurati KDI, menyatakan tidak mempunyai Jetty dan ingin melakukan Kerja sama Penggunaan (JO) Jetty milik KDI.
Surat itu ditanggapi KDI pula dengan surat. Prinsipnya, setuju untuk melakukan JO dengan nilai sewa akan dibicarakan dalam kesempatan tersendiri.
Dari sinilah masalah mulai muncul. Menurut Triwidiardi, belum dicapai kesepakatan kerja sama, pada tahun yang sama Tiran Indonesia telah menduduki dan mengoperasikan Pelabuhan Khusus/Jetty milik KDI secara tidak sah dan tanpa izin.
Bukan itu saja. Pada tahun 2018, Tiran Indonesia menggunakan pula jalan hauling milik KDI yang berada di wilayah IUP KDI, termasuk menggunakan pula lahan KDI untuk keperluan stockpile mereka. “Semua aksi koboi di lapangan itu dengan tanpa adanya izin dan/atau kerja sama dengan KDI,” ujar Triwiardi.
Mengganggap Tiran Indonesia melakukan aksi premanisme, KDI akhirnya mengadukan persoalan ini ke penegak hukum dengan membuat laporan di SPKT Polda Sulawesi Tenggara.
Triwiardi mengatakan, sebelum pelaporan, KDI telah berusaha menyelesaikan persoalan secara damai dengan mengajak Tiran Indonesia bertemu untuk bermusyawarah. Namun, tiga surat yang dikirim KDI tidak ditanggapi oleh PT Tiran Indonesia.
Menurut Triwiardi, saat ini Tiran Indonesia juga memiliki masalah dalam hal pengoperasian Jetty (yang sebenarnya merupakan milik KDI) dengan pihak masyarakat Desa Matarape, Pemerintah dan DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, dan Kementerian Perhubungan.
Ia menyebut pengoperasian Jetty oleh Tiran Indonesia telah dinyatakan illegal. Karena, rekomendasi dan ijin yang dimiliki Tiran Indonesia diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Konawe Utara dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, Sementara, letak geografis Jetty tersebut berada di wilayah administrasi Kabupaten Morowali dan Provinsi Sulawesi Tengah.
Atas penyimpangan administrasi tersebut, pada tanggal 26 April 2022 Tim Gabungan yang terdiri dari Pemerintah Kabupaten Morowali, dan DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Kementerian Perhubungan (UPP Kolonedale), beserta Polres dan Kodim Morowali telah menghentikan pengoperasian Jetty yang berada di Desa Matarape, Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah itu.
Triwiardi bercerita, saat ini masih ada potensi konflik lain di lapangan. Pada tanggal 29 April 2022, Tiran Indonesia mendatangi lokasi IUP milik KDI dan meminta KDI dapat menutup menguruk kembali jalan hauling yang telah dilakukan penambangan.Kapolres Konawe Utara dan Perwakilan Kodim Konawe Utara turut hadir.
Pihak KDI menolak permintaan itu dengan alasan bahwa kegiatan penambangan dan penggalian dilakukan di dalam wilayah IUP KDI. Apalagi, Tiran Indonesia sampai dengan saat ini tidak menunjukkan itikad baiknya untuk bersedia membahas kerja sama dengan KDI.
Oleh karena tidak tercapai titik temu, dalam pertemuan tersebut disepakati keadaan status quo atau diselesaikan melalui proses hukum.
Namun, dalam keadaan status quo, pada 30 April dini hari, Tiran Indonesia memasuki wilayah IUP KDI melakukan pengurukan/penimbunan jalan secara sepihak tanpa meminta izin dari KDI.
“Hal ini sangat kita sayangkan, karena tindakan melawan hukum itu ditengarai dengan sepengetahuan pihak Polres Konawe Utara namun tanpa meminta ijin dari KDI,”ujar Triwiardi. [rls]