Crispy

Kepala BRIN: Ini Keuntungan Eijkman Dilebur Dengan BRIN

Laksana mengatakan, dengan peleburan itu, pengerjaan surveillance mutasi varian virus corona bisa dipermudah sebab bersinergi dan terintegrasi. Selain itu, biaya per sampel jadi lebih murah dari Rp 2 hingga Rp 4 juta, mampu ditekan jadi kurang dari Rp 1 juta.

JERNIH- Ketika banyak pihak tengah mengkhawatirkan nasib para peneliti serta kelanjutan proses pembuatan vaksin merah putih pasca dileburnya Lembaga Eijkman ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mangatakan bahwa peleburan itu justru membawa keuntungan.

Sebab, lembaga ini bakal makin kuat lantaran terjadi sinergi dan terintegrasi antara tim Eijkman dan tim LIPI di Cibinong.

Laksana mengatakan, dengan peleburan itu, pengerjaan surveillance mutasi varian virus corona bisa dipermudah sebab bersinergi dan terintegrasi. Selain itu, biaya per sampel jadi lebih murah dari Rp 2 hingga Rp 4 juta, mampu ditekan jadi kurang dari Rp 1 juta.

Seperti diberitakan Detik, sejak diaktifkan kembali pada 1992, Eijkman belum pernah menjadi lembaga resmi pemerintah. Dia, lebih merupakan unit adhoc dari Kemenristek sehingga PNS di sana tak bisa menjadi peneliti lantara Kementerian tersebut bukan lembaga riset.

Selama ini, dia bilang periset di Eijkman berjumlah sekitar 40 orang namun memiliki lebih dari 100 orang tenaga honorer. Secara legal, perekrutan tersebut bermasalah dan berdampak pada yang direkrut.

Laksana menilai, sejak bertahun-tahun lalu setiap kali melakukan perekrutan, seharusnya penanggung jawab di Eijkman meminta izin Menristek atau Sekjen Kemenristek lebih dulu. Sebab bagaimana pun juga, mereka menggunakan uang milik negara.

“Jadi gak bisa, gak boleh unit kerja merekrut orang seenaknya saja,” kata Laksana.

Lebih lanjut dia bilang, sesuai aturan yang berlaku tenaga honorer itu masa kerjanya cuma setahun. Jika ada yang telah bekerja selama belasan tahun, secara aturan mereka tetap dianggap bekerja setahun. Maka, bila tak ada perpanjangan kontrak, tidak diberikan kompensasi atau pesangon.

“Kami tak punya anggaran untuk itu,” kata dia. [ ]

Back to top button