Macron atau Le Pen: Pilihan Terburuk bagi Muslim Prancis
- Marine Le Pen secara terbuka menyuarakan anti-Islam.
- Emmanuel Macron menggunakan laicite untuk membersihkan Prancis dari Islam.
JERNIH — Besok, 24 April 2022, putaran kedua pemilihan presiden Prancis digelar, dengan dua kandidat kuat; Emmauel Macron dan Marine Le Pen, akan bertarung. Kepada siapa Muslim Prancis memberikan suaranya?
Jawab: Tidak untuk keduanya.
Pada putaran pertama, sepertiga suara Muslim Prancis jatuh ke politisi kiri-jauh Jean-Luc Melenchon. Secara historis, Melenchon lebih mendukung komunitas Muslim. Sayang, ia hanya berada di peringkat ketiga dan tak bisa masuk ke putaran kedua.
Marine Le Pen, kandidat sayap kanan, jelas bukan pilihan. Ia mengkampanyekan pemberantasan ideologi Islam sebagai manifesto politiknya.
Macron, petahana dan lawan terkuat Macron, sebelum kampanye pemilihan putaran pertama menyoroti ancaman Islamis dan separatis Muslim di Prancis. Ia mengaitkan moto Prarancis; Liberte, Egalite, Fraternite, dengan moto lainnya; nilai Republik Prancis; Laicite (sekularisme).
Eric Zemmour, yang bernasib sama dengan Melenchon, pernah dihukum tiga kali karena pidato kebencian rasial dan agama. Manifesto politiknya adalah menyelamatkan Prancis dari Islam.
Valerie Pecresse, kandidat kanan-tengah, menyatakan jilbab sebagai tanda ketundukan wnita. Ia mengikuti Le Pen ketika mengatakan Marianne bukanlah wanita bercadar.
Menakutkan
Hiba Latreche, mahasiswa hukum dan aktivis vokal Muslim Prancis, mengatakan; “Yang benar-benar menakutkan dengan pemilihan Prancis mendatang adalah sebagian besar kandidat mengandalkan program berdasarkan stigmatisasi minoritas, pada erosi hak dan kebebasan kita paling mendasar.”
Menurutnya, normalisasi Islamofobia membuat Muslim Prancis berhadapan langsung dengan konsekuensinya. Lanskap politik Prancis benar-benar berbeda dibanding beberapa pemilu sebelumnya.
“Kekuatan tradisional kelas berat kiri-tengah dan kanan-tengah bertarung, ekstrem politik diuntungkan,” katanya.
Le Pen mungkin yang paling diuntungkan. Isu anti-imigran dan anti-Muslim, yang dikumandangkan sejak Jean-Marie Le Pen — ayah biologis dan ideologis Marine Le Pen — kini memperoleh dukungan 30 persen suara pemilih Prancis.
Di Strasbourg, Muslim Prancis kini merasa terpinggirkan. Perasaan itu menjadi lebih nyata ketika banyak orang Prancis mengatakan Muslim Prancis tidak ambil bagian dalam masyarakat.
Situasi ini dipastikan menimbulkan efek negatif bagi kesehatan mental setiap individu Muslim Prancis.
Le Pen telah menjadi ‘musuh’ Muslim Prancis. Pertanyaannya, bagaimana setiap orang memberi arti lagi laicite, kata yang disebut Macron?
Interpretasi Sekularisme
Laicite, atau sekularisme, adalah kata yang digunakan untuk memastikan kesetaraan bagi semua dengan menghilangkan penanda perbedaan, menjadikan semua warga Prancis sebagai yang utama dan melindungi kebebasan beribadah di ranah pribadi.
Artinya, simbol agama dilarang di sekolah dasar dan menengah, kantor publik dan tempat kerja, sampai ke beberapa federasi olahraga.
Menurut Rim Sarah Alouane, kandidat PhD dalam hukum komparatif di Universitas Toulouse-Capitole, mengatakan Laicite itu sendiri tidak menjadi masalah.
“Laicite telah dibuah dan dijadikan senjata, sebagai alat identitas politik untuk menargetkan visibilitas Muslim di Prancis, Muslim Prancis, terutama Muslimah dan pemakaian jilbab,” katanya.
Jadi, laicite diberi arti modernisasi. Interpretasi laicite yang tidak liberal yang bermasalah, bukan laiceite itu sendiri.
Debat laicite menempatkan jilbab di urutan prtama di tengah perang budaya Prancis, yang mengadu apa yang disebut kaum konservatif sebagai sekularisme dengan kebebasan sipil beragama.
Le Pen dan Zemmour secara terbuka mengusulkan larangan jilbab di depan umum. Macron bereaksi keras terhadap kampanye keragaman yang didanai Uni Eropa. Dalam kampanye itu gambar-gambar wanita berjilbab disandingkan dengan gambar wanita tanpa penutup kepala. Tagline di bawahnya berbunyi; Kecantikan ada dalam keragaman, karena kebebasan ada dalam hijab.
Pemerintah Macron menuntut penyelidikan atas kampanye itu. Seorang menteri mengatakan; “Kami tidak dapat mencampur-adukan kebebasan beragama dan kampanye untuk promosi jilbab. Itu tidak dapat diterima.”
Bulan lalu, Mahkamah Agung Prancis memutuskan bahwa asosiasi pengacara lokal dapat melarang jilbab dan simbol agama lainnya dari ruang sidang, atas nama sekularisme. Artinya, wanita berjilbab harus memilih antara berkarier di tengah publik atau mengenakan hijab.
“Ini benar-benar menurunkan motivasi,” kata Latreche. “Semua itu terjadi karena kami memilih untuk mengenakan jilbab. Muslimah Prancis harus memiliki kendali atas hak dan tubuh, serta keyakinan mereka.”
Ludwig Knoepffler, anggota tim kampanye Le Pen, membantai platform anti-hijab bos-nya dilakukan atas nama laicite. Menurutnya, tujuan antihijab Le Pen adalah memerangi totalitarianisme.
“Idenya adalah memerangi jilbab sebagai alat politik seperti digunakan dan dipromosikan militan Islam,” katanya. “Jika Anda percaya proyek politis Islamis adalah totaliter, Anda harus melawan tanda-tanda khas-nya. Itu sama halnya melarang swastika di ruang publik.”
Le Pen membahas topik itu dalam debat presiden, Rabu lalu. Ia menyebut jilbab sebagai seragam yang dikenakan kaum Islamis. Macron menuduhnya menciptakan sistem kesetaraan di antara Islamiems, terorisme, dan orang asing yang menciptakan perang saudara.
Di tengah acara buka puasa yang suram di Masjid Agung Strasbourg, Muslim Prancis berdoa dan berharap pada satu hal, yaitu Prancis kembali ke kalimat yang membentuk dirinya; Liberte, Egalite, Fraternite (kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan).