Crispy

Mengenang Tradisi Keramas Bakar Merang Jelang Ramadhan di Pinggir Jakarta

  • Tradisi ini menghilang ketika terjadi perubahan varietas padi yang ditanam.
  • Di sejumlah wilayah di Pulau Jawa; Banyumas dan Tangerang, tradisi ini bertahan.

JERNIH — Dulu, sekitar tahun 1970-an, ini mungkin hari-hari tersibuk bagi penduduk Muslim di pinggiran Jakarta. Ada yang membersihkan rumah, mempercantik dinding luar dengan kapur, dan mengeluarkan sebagian isi rumah untuk dibersihkan.

Emak-emak berangkat ke pasar untuk belanja sesuai keperluan dan kemampuan finansial. Anak-anak mencari merang untuk dibakar, sebagai bagian ritual keramas menyambut Ramadhan.

Merang adalah kata dalam bahasa lokal Jakarta yang artinya jerami. Namun, jerami — setidaknya menurut saya — bukan padanan yang tepat untuk merang.

Alasannya, merang adalah tangkai bagian atas padi. Jerami adalah keseluruhan batang padi, mulai dari bagian batang besar sampai tangkai buliran padi menempel.

Kata ‘merang’ relatif telah lenyap setelah panen tak lagi menggunakan ani-ani atau ketam, atau alat pemotong tangkai padi bagian atas.

Dulu, panen padi melibatkan banyak orang untuk menyelesaikan satu petak sawah, karena tangkai padi dipotong satu per satu, dan membiarkan batang padi berdiri merangas sebelum tanah diolah kembali.

Jenis padi yang ditanam sampai 1970-an juga berbeda, yaitu padi gaga (sering disebut go-go) dan segala varian-nya, dengan masa tanam sembilan bulan. Jadi panen padi di masa lalu setahun sekali.

Setelah Orde Baru memperkenalkan varietas padi IR 24, IR 45, dan seterusnya, ani-ani lenyap. Panen padi mengunakan arit, dengan seluruh batang padi dibabat habis, hanya menyisakan batang bagian bawah dan akar.

Panen tidak lagi setahun sekali, tapi setahun dua kali. Jika dulu batang padi menjulang setinggi orang dewasa, saat ini — yang merupakan hasil persilangan padi go-go dengan padi hutan — padi setinggi lutut orang dewasa.

Kata ‘merang’ hanya tersimpan di kepala orang-orang tua, dan tidak bisa diwariskan ke generasi saat ini. Ketika merang lenyap, tradisi ritual keramas dengan bakaran merang juga menghilang.

Sesuatu yang mungkin tidak pernah disesali, karena zaman telah berubah.

Kenangan Tersisa

Bagi generasi tua pinggiran Jakarta, setidaknya mereka yang tahun 1970-an menginjak remaja, pasti masih ingat ritual keramas dengan bakaran merang.

Di Rawa Bengkel — kini termasuk Kelurahan Cengkareng Barat, Kecamatan Cengkareng — hampir setiap jelang Ramadhan terlihat keluarga Betawi sibuk keramas dengan bakaran merang. Rawa Bengkel adalah kampung yang terbentuk setelah pembangunan saluran irigasi Trias Van Deventer.

Merang dibakar. Hasil bakaran, berupa batang merang menghitam, dimasukan ke dalam air dan disaring dengan kain seadanya. Air itulah yang digunakan untuk keramas.

Sebelum keramas dimulai, mulut mereka komat-kamit membaca doa, dan byur…..byur…..byur. Berikutnya adalah mandi seperti biasa. Tidak ada shampoo. Orang Betawi pinggiran di Cengkareng kali pertama kenal shampoo adalah hi-Top, berupa bubuk dan tersedia dalam bentuk sachet.

Tidak semua orang keramas dengan bakaran merang, karena Ramadhan tidak melulu jatuh usai musim panen. Mereka yang punya merang adalah keluarga pemilik lumbung padi. Yang tidak punya lumbung padi, terpaksa mencari ke luar kampung.

Di Cengkareng, orang-orang akan mencari merang ke rumah Tan Pek Soen — tuan tanah terakhir di wilayah itu. Sebagai tuan tanah, Pek Soen punya lumbung padi sedemikian besar dan penggilingan. Merang terkadang tersedia dalam jumlah besar.

Atau, jika tidak mau repot-repot, silahkan ke pasar. Akan ada satu atau dua orang menjual merang. Sampai 1975 saya masih melihat penjual merang di Pasar Cengkareng. Merang yang dijajakan tidak banyak, dan penjualnya hanya satu atau dua orang.

Yang tidak mendapatkannya, ya terpaksa mandi tanpa keramas bakaran merang. Sesuatu yang akan dilihat aneh bagi penduduk asli Cengkareng saat itu.

Masih Terpelihara

Indikasi tradisi keramas bakaran merang lenyap akibat pergantian varietas padi yang ditanam terlihat di Bekasi. Meski sawah masih lebar, tapi merang tidak ada lagi karena sistem potong padi tidak lagi sama.

Pertanyaan yang masih tersisa adalah dari mana tradisi keramas bakaran merang berasal?

Itu tradisi Jawa. Di sejumlah wilayah di Jawa Tengah, salah satunya Banyumas, tradisi keramas bakaran merang masih dipertahankan. Tradisi ini diperkirakan tiba di Batavia sekitar abad ke-17, ketika VOC memukimkan orang-orang Jawa menyebar di Ommelanden — kawasan luar tembok kota Batavia.

Peduduk lokal, yang disebut orang Betawi, menyerap tradisi itu dan menjadikannya ritual. Ulama-ulama kampung memberikan muatan keislaman, berupa doa-doa dalam Bahasa Arab yang dipanjatkan sebelum keramas dimulai.

Tradisi ini boleh saja hilang dari pinggir Jakarta, tapi bertahan di sejumlah wilayah di Pulau Jawa. Salah satunya di Banyumas. Tahun 2022 warga Kampung Bekelir, Babakan, Kota Tangerang, menjalani tradisi keramas bakaran merang di bantaran Sungai Cisadane.

Kawasan pinggir Jakarta mungkin kehilangan tradisi ini, tapi wilayah lain tidak. Sesuatu yang harus diapresiasi karena generasi esok masih bisa belajar tentang tradisi ini.

Back to top button