Crispy

Menyimak Diriku dari Mata Helvy Tiana Rosa

oleh Emi Suy

Membaca esai Helvy Tiana Rosa tentang puisiku, aku merasa sedang bercermin di sungai yang airnya tak pernah tenang. Kadang bayangan itu jernih, kadang beriak, kadang justru membuatku menemukan wajah yang selama ini tak kusadari ada dalam diriku.

Helvy menyebut puisi-puisiku lirih, subtil, dan domestik. Benar, aku memang tidak pandai menjerit. Aku tumbuh dari tanah yang lebih sering mengajarkan sabar daripada bicara keras. Dari ibu yang menanak nasi dengan doa, dari hujan yang turun tanpa aba-aba, dari kopi pahit yang harus diminum pelan-pelan agar tidak membuat tubuh terperanjat. Mungkin karena itu, puisiku mencari bahasa dari hal-hal kecil yang sehari-hari: kukusan bambu, sumur, hujan, kopi, doa.

Tetapi ketika Helvy membacanya dengan mata seorang peneliti, seorang sahabat, seorang perempuan yang berpengalaman mengolah luka dengan kata, aku tersentak. Kukusan yang kutulis bukan sekadar kukusan; ia tubuh doa. Sunyi yang kucatat bukan sekadar kesepian; ia organisme yang beranak pinak. Apa yang kulakukan dengan intuisi ternyata bisa dipetakan oleh Helvy dengan jejaring semiotik, feminisme, bahkan sufistik.

Aku belajar sesuatu di sini: puisi bukan hanya milik penyairnya. Ia seperti anak yang keluar dari rahim: setelah lahir, ia punya kehidupan sendiri. Ia ditafsirkan, ditarik ke berbagai arah, diberi makna baru yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh ibunya. Dan aku, seperti ibu yang hanya bisa tersenyum, membiarkan anak-anak itu bertemu banyak guru dalam perjalanan mereka.

Helvy juga membandingkanku dengan Dorothea, Oka, dan Toeti. Aku tidak lebih baik dari mereka; aku hanya berjalan di jalur yang berbeda. Jalur lirih. Jalur diam. Jalur doa yang tumbuh dari dapur dan halaman rumah. Barangkali itulah yang bisa kuberikan: suara kecil yang tak hendak menenggelamkan riuh, melainkan menambahkan lapisan gema yang mungkin terdengar samar, tapi semoga menghunjam.

Dan yang lebih mengharukan, aku mendapatkan puisi persembahan yang sengaja ditulis oleh Helvy Tiana Rosa, sebagai respon atas pembacaan terhadap puisiku. Dan Helvy sendiri membacakannya langsung di atas panggung, di hadapan audiens yang hening, seolah ikut menyimak napas yang menjelma menjadi kata. Saat itu aku merasa, puisi bukan lagi sekadar teks, melainkan tubuh yang hidup: bergetar, berdenyut, menyapa satu per satu hati yang hadir.

SUARA SUNYI
(untuk Emi Suy)

I
Perempuan harus menulis,
seperti kukusan di dapur menanak usia,
seperti doa yang menetes dari genteng kala hujan.
Tanpa suara itu, sejarah hanya separuh:
ruang tamu penuh kursi laki-laki,
tanpa tikar yang masih menyimpan
aroma tangan ibu.

II
Puisi perempuan adalah tubuh yang patah,
menyala jadi lampu di meja belajar anak-anak.
Ia mengukur luka dengan sendok sayur,
menguleni kehilangan menjadi roti,
menjahit kembali nama-nama yang tercerai
di rak dapur.
Dalam setiap baitmu,
aku mendengar bumi belajar menua
dengan cara yang lebih sabar.

III
Karena itu, perempuan perlu menulis:
agar kata menjadi jembatan
antara sunyi yang bening
dan riuh dunia yang mudah alpa.
Puisi adalah cara kita berdiri
di meja rapat yang tak selalu menyisakan kursi.
Dan aku percaya,
setiap kali kita menulis,
separuh bumi yang diam
kembali punya suara.

(Jakarta, 6 September 2025, Helvy Tiana Rosa)


Epilog

Helvy, dari tanganmu aku belajar bahwa membaca puisi bukan hanya soal membuka buku, tetapi juga membuka hati, membuka sejarah, dan membuka kemungkinan baru bagi kata-kata yang sudah terlanjur dilahirkan.

Jika puisiku lirih, maka engkau telah memberinya gema.
Jika puisiku diam, engkau telah membuatnya berbicara.
Jika puisiku domestik, engkau telah menyingkap rumahnya yang luas: dunia.

Dan kini, melalui puisimu yang kaubacakan di atas panggung, aku semakin percaya: sunyi tidak pernah benar-benar sepi, sebab selalu ada suara lain yang bersedia menjahitnya menjadi nyanyian.

Maka biarlah aku tetap menulis dengan jarum doa, menjahit luka dengan benang sunyi, sementara engkau mengajarkanku bagaimana sulaman itu bisa memantulkan cahaya.

Dengan penuh syukur,
Emi, Jakarta 7 September 2025

Back to top button