CrispyVeritas

Merayakan Hari Bubur dan Keberagaman Bubur Indonesia

Bubur bukan hanya menu sarapan klasik, tapi warisan peradaban kuno yang masih relevan hingga kini. Dari masa ketika manusia pertama kali merebus biji-bijian demi bertahan hidup, bubur berkembang menjadi makanan penyembuh yang direkomendasikan dokter.

JERNIH – Setiap sendok bubur yang kita santap di pagi hari membawa cerita panjang tentang perjalanan kuliner manusia. Di Indonesia, bubur bukan sekadar makanan lembek pengganjal perut, melainkan bagian dari sejarah, budaya, dan identitas kuliner bangsa.

Dari dapur kerajaan Jawa hingga warung kaki lima, bubur telah bertransformasi menjadi simbol kehangatan dan kebersamaan. Lebih dari itu, dunia pun menaruh perhatian khusus pada makanan sederhana ini dengan memperingati Hari Bubur Sedunia (World Porridge Day) setiap tanggal 10 Oktober.

Dalam konteks bubur yang diangkat menjadi momentum internasional sangat terkait dengan urusan pemenuhan gizi. Seiring berkembangnya kesadaran gizi global, bubur diakui dunia sebagai simbol makanan bergizi dan ramah bagi semua kalangan. Sejak tahun 2009, dunia memperingati Hari Bubur Sedunia (World Porridge Day) setiap tanggal 10 Oktober.

Hari ini pertama kali dicetuskan oleh organisasi amal Mary’s Meals di Inggris, bekerja sama dengan Universitas Cambridge. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran global tentang pentingnya nutrisi anak-anak di negara berkembang. Bubur dipilih sebagai simbol karena sifatnya sederhana, bergizi, dan mudah diolah — makanan yang bisa menyelamatkan jutaan anak dari kelaparan. Bubur versi global ternyata tak hanya ada di Asia, di Eropa pun dikenal porridge dengan bahan yang menyesuaikan dengan ketersediaan lokal, seperti gandum.

Setiap tahun, peringatan ini menjadi momen kampanye gizi dunia. Berbagai lembaga kemanusiaan mengadakan kegiatan makan bubur bersama sambil menggalang dana untuk program makanan anak-anak di sekolah.

Akar Sejarah Bubur: Dari Tiongkok ke Nusantara

Jejak bubur sebagai makanan sudah sangat tua, bahkan mendahului peradaban modern. Dalam catatan sejarah Tiongkok kuno, bubur atau telah menjadi santapan sehari-hari sejak masa Kaisar Kuning, sekitar 2500 SM. Pada masa itu, bubur lahir dari kebutuhan: ketika kelaparan melanda, masyarakat mencoba merebus biji-bijian dengan banyak air agar bisa mengenyangkan lebih banyak orang. Dari sinilah lahir konsep makanan yang mudah dicerna, lembut, dan bergizi — cikal bakal bubur yang kita kenal hari ini.

Kebiasaan ini menyebar ke berbagai penjuru Asia melalui jalur perdagangan, migrasi, dan pertukaran budaya. Di dunia Barat, bubur dikenal dengan sebutan porridge atau gruel, sementara di Asia Timur dan Tenggara, bubur nasi atau congee menjadi hidangan yang populer.

Ketika para pedagang Tionghoa datang ke Nusantara pada masa kerajaan-kerajaan maritim, mereka membawa kebiasaan menjual bubur di pagi hari sebagai sarapan. Masyarakat pribumi yang gemar bereksperimen dengan cita rasa lokal kemudian mengadaptasi bubur ala Tiongkok itu dengan tambahan rempah, lauk, dan bahan-bahan khas daerah. Dari sinilah lahir beragam versi bubur Indonesia — dari bubur ayam hingga bubur khas daerah yang sarat makna tradisi.

Bubur dalam Budaya Nusantara

Indonesia adalah negeri dengan ribuan pulau dan ratusan budaya, dan di setiap daerahnya, bubur menemukan bentuk dan maknanya sendiri. Bubur di sini tidak hanya sekadar sarapan, tetapi juga bisa menjadi makanan penutup, sajian upacara, bahkan simbol keagamaan.

Bubur ayam, misalnya, adalah hasil akulturasi budaya Tionghoa dan Indonesia. Nasi dimasak hingga lembek, kemudian disajikan dengan suwiran ayam, cakwe, bawang goreng, kacang, daun bawang, dan kuah kaldu. Kini, bubur ayam telah menjadi menu sarapan nasional — dari Jakarta hingga Makassar, setiap kota memiliki versinya sendiri.

Sementara itu, di wilayah timur Indonesia seperti Maluku dan Papua, dikenal bubur sagu atau papeda. Teksturnya kenyal dan lengket, disajikan bersama kuah ikan kuning atau sambal rica. Makanan ini bukan sekadar hidangan sehari-hari, tetapi juga identitas budaya masyarakat sagu — simbol hubungan manusia dengan alam.

Di Sulawesi Utara, ada tinutuan atau bubur Manado — campuran nasi, jagung, labu, dan sayuran hijau. Rasanya gurih dan sehat, mencerminkan karakter masyarakat pesisir yang gemar bahan-bahan segar.

Selain bubur gurih, Indonesia juga kaya akan bubur manis seperti bubur sumsum, bubur kacang hijau, bubur ketan hitam, dan bubur cha cha. Bubur-bubur ini sering disajikan sebagai takjil Ramadan atau camilan sore hari.

Ada pula bubur yang lekat dengan upacara adat, seperti bubur Suro dalam tradisi Jawa yang dibuat setiap bulan Suro (Muharram). Bubur ini melambangkan rasa syukur dan doa keselamatan. Di banyak komunitas Muslim Nusantara, ada juga bubur Asyura — bubur yang dimasak bersama pada tanggal 10 Muharram, dengan campuran bahan yang beragam sebagai simbol kebersamaan.

Setiap bubur di Nusantara membawa cerita, filosofi, dan kehangatan khas daerahnya. Dari dapur rakyat hingga meja istana, bubur menjadi jembatan antara cita rasa dan nilai-nilai budaya.

Ragam Bubur di Indonesia

Keberagaman bubur Indonesia bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori besar: bubur gurih, bubur manis, dan bubur ritual. Di kelompok Bubur Gurih ada; Bubur Ayam (nasional), Tinutuan atau Bubur Manado (Sulawesi Utara), Bubur Pedas (Kalimantan Barat), Bubur Samin (Solo), Bubur Sop Melayu (Medan), Papeda (Maluku dan Papua)

Di kelompok Bubur Manis atau Penutup tersedia hidangan; Bubur Sumsum, Bubur Kacang Hijau, Bubur Ketan Hitam, Bubur Cha Cha, hingga Bubur Candil.

Sementara peran bubur di acara ritual dan tradisional, antara lain; Bubur Suro (Jawa), Bubur Asyura (Aceh, Minang, Bugis, dan daerah lainnya)

Setiap jenis bubur tidak hanya berbeda bahan dan rasa, tetapi juga membawa konteks sosial dan budaya yang unik.

Bubur dalam Dimensi Kesehatan

Bubur juga kerap kali dipilih sebagai makanan bagi mereka yang sakit. Alasan paling utama bubur diberikan kepada orang sakit adalah teksturnya yang lembut dan kadar airnya tinggi, sehingga tidak membebani sistem pencernaan.

Ketika seseorang sakit — terutama demam, flu, diare, atau pascaoperasi — fungsi pencernaannya biasanya menurun. Makanan keras atau berlemak sulit diolah oleh lambung dan usus.

Bubur, yang terbuat dari nasi atau bahan biji-bijian yang dimasak dengan air berlebih, memiliki struktur karbohidrat yang sudah terurai. Ini membuat tubuh lebih mudah menyerap energi tanpa harus bekerja keras mencernanya.

Selain itu, bubur memiliki kadar serat rendah sehingga tidak menyebabkan iritasi lambung pada penderita maag, demam, atau gangguan pencernaan.

Dengan kata lain, bubur memberikan energi cepat tanpa “membebani” organ dalam.

Sejumlah penelitian nutrisi menunjukkan bahwa makanan dengan indeks glikemik sedang dan tekstur lembut seperti bubur dapat memberikan energi stabil, mencegah lonjakan gula darah mendadak, dan mempermudah pemulihan pasien setelah sakit.

Inilah sebabnya mengapa dokter dan ahli gizi rumah sakit sering merekomendasikan bubur sebagai “makanan transisi” — dari cair (seperti sup) menuju makanan padat setelah pasien mulai pulih.(*)

BACA JUGA: Hubungan ‘Si Jali-jali’ dan Bubur Hanjeli

Back to top button