Oey Kiat Tjin dan Nasib Tragis Kapitein der Chinezen Tangerang Terakhir
- Oey Kiat Tjin menjadi kapten setelah Hindia-Belanda menghidupkan kembali sistem perwira.
- Tionghoa Tangerang terlanjur sudah terbiasa hidup tanpa pemimpin orang terkaya bergelar kapten.
JERNIH — Ceng Beng, ritual bersih makam dalam tradisi Tionghoa, di Tangerang baru-baru ini diwarnai aktivitas sejumlah pemuda Tionghoa di makam Oey Kiat Tjin — kapiten der Chinezen Tangerang terakhir.
Aktivitas itu divideokan dan diunggah ke aplikasi TikTok. Narasi dalam video itu sangat menarik meski terlalu pendek. Disebutkan Oey Kiat Tjin diangkat sebagai kapitein der Chinezen van Tangerang tahun 1928, menggantikan Oey Dji San — ayahnya yang menjabat sebagai kapitein der Chinezen Tangerang sejak 1907 sampai kematiannya tahun 1925.
Oey Kiat Tjin adalah anak tertua Oey Dji San, dan pewaris tanah partikelir Karawaci, Cilongok Pasar Kemis, Grendeng, dan Gandu. Namun masa bakti Oey Kiat Tjin sebagai kapten Tionghoa terlalu pendek. Dalam bongpay, atau batu nisan, tertulis Oey Kiat Tjin meninggal tahun 1936.
Oey Kiat Tjin dimakamkan di tanah partikelirnya, yang kini menjadi Jl Cinda No 22 RT 001/RW 003, Nusa Jaya, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang. Ia memiliki tiga anak laki-laki dan tiga anak perempuan, tapi tidak satu pun yang bersedia mengurus makamnya.
Makam Oey Kiat Tjin terbengkalai dan menjadi sasaran vandalisme. Pendopo di depan makam masih kekar, tapi digunakan penduduk untuk kegiatan yang merusak. Bagian tubuh makam menjadi tempat penumpukan sampah.
Dua Pertanyaan tentang Kapten Oey Kiat Tjin
Namun, bukan itu yang penting diceritakan di sini. Kita mungkin bisa mulai dari pertanyaan, mengapa butuh waktu tiga tahun — terhitung sejak kematian Oey Dji San — bagi Oey Kiat Tjin untuk diangkat sebagai kapten.
Dalam sisitem perwira tradisional Cina, sebuah sistem yang dimulai era VOC, kapten atau letnan adalah status diwariskan. Artinya, setelah Oey Dji San meninggal, Oey Kiat Tjin otomatis menjadi panggantinya. Otoritas Hindia-Belanda akan mengeluarkan surat pengesahan, meski mungkin tak selalu diwarnai upacara.
Sebagai anak tertua, Oey Kiat Tjin adalah pewaris semua properti dan kekayaan ayahnya, yang dipastikan menjadi orang terkaya di Tangerang saat itu. Dalam sistem perwira, pemimpin komunitas Tionghoa — yang diberi pangkat tituler kapten atau letnan — adalah orang terkaya.
Di bawah kapten, terdapat sejumlah letnan yang notabene terdiri dari orang-orang kaya dengan jumlah properti tidak lebih banyak dari yang dimiliki sang kapten.
Pertanyaan kedua adalah mengapa setelah kematian Oey Kiat Tjin, pemerintah Hindia-Belanda tidak mengangkat anak tertua almarhum – yang mewariskan seluruh kekayaan sang ayah – sebagi penggantinya.
Kapten yang (tak) Diperlukan
Untuk menjawab pertanyaan ini, mungkin kita perlu membaca literatur tentang perdebatan tiga dekade tentang apakah masih perlu sistem perwira di masyarakat Tionghoa. Perdebatan itu dimulai 1900-an, ketika pengaruh nasionalisme Tiongkok sampai ke Hindia-Belanda.
Oey Dji San dan Oey Kiat Tjin menjadi pemimpin komunitas Tionghoa Tangerang dalam periode itu.
Oey Djie San diangkat sebagai kapten tahun 1907, ketika perdebatan tentang apakah masih perlu sistem perwira bagi komunitas etnis di sedemikian panas, dan memicu pengosongan posisi kapten di sejumlah wilayah di Pulau Jawa. Bahkan, menurut Monique Erkelens dalam The Decline of the Chinese Council of Batavia, terjadi serangan terhadap kapten dan letnan di beberapa wilayah di Hindia-Belanda.
Di masyarakat Tionghoa di kota-kota besar di Pulau Jawa, komunitas Cina terpecah menjadi dua; peranakan dan xinke atau pendatang baru. Perpecahan yang di beberapa tempat di Pulau Jawa memicu benturan skala kecil tapi mengkhawatirkan.
Sebagian orang Tionghoa mengatakan sistem perwira tidak diperlukan lagi. Orang Tionghoa tidak butuh letnan, kapten, mayor, sebagai pemimpin. Fakta memperlihatkan kebanyakan pemimpin komunitas tidak dipilih di antara orang cerdas. Seseorang menjadi pemimpin etnis Tionghoa karena kaya, dan mewariskan kepemimpinan kepada anaknya yang mewariskan kekayaan. Banyak pula darikapten dan letnan itu buta huruf Cina dan Latin.
Sebagian komunitas Tionghoa perkotaan dan berpendidikan menginginkan sistem perwira dibubarkan, seraya menuntut kesamaan hak dengan kulit putih. Lainnya, terutama para kapten yang diuntungkan dengan sistem perwira, menentang hebat gagasan ini. Alasannya, orang Cina miskin masih membutuhkan kapten atau letnan ketika terjadi perselisihan. Kapten dan Letnan juga sangat penting untuk mengkomunikasikan kepentingan komunitas ke pemerintah Hindia-Belanda.
Di kalangan pejabat Hindia-Belanda, perdebatan juga tak kalah sengit. Sinolog, atau ahli Cina di pemerintah Hindia-Belanda, menghendaki sistem perwira dihapuskan dan secara bertahap diganti dengan sistem pemimpin yang diangkat dan digaji pemerintah.
Puncaknya terjadi pada September 1917, ketika pemerintah Hindia-Belanda membubarkan sistem perwira. Artinya, seluruh kapten dan letnan di sekujur Hindia-Belanda secara otomatis tak berlaku.
Dalam situasi ini, Oey Dji San otomatis bukan lagi kapten der Chinezen van Tangerang sejak keputusan pemerintah Hindia-Belanda itu berlaku. Di penghujung 1917, setelah tak lagi menjadi kapten der Chinezen, Oey Dji San diangkat pemerintah Hindia-Belanda sebagai anggota Gewestelijke Raad (Dewan Daerah) Batavia.
Kapten Terlupa, Makam Teraniaya
Jawaban atas pertanyaan mengapa Oey Kiat Tjin diangkat sebagai kapten tahun 1928 merujuk pada perubahan kebijakan pemerintah Hindia-Belanda. Desember 1927, dalam rapat di Gedung Dewan Tionghoa Batavia, diputuskan untuk menghidupkan kembali sistem perwira tradisional Tionghoa.
Oey Kiat Tjin diperkirakan diangkat menjadi kapiten der Chinezen Tangerang beberapa bulan setelah keputusan itu dibuat. Bersamaan dengan itu, di sejumlah tempat di Batavia dan Ommelanden, kapten-kapten dan letnan bermunculan lagi. Salah satunya kapten der Chinezen Pasar Baru, Weltevreden.
Sebagai kapten, Oey Kiat Tjin berkuasa sangat singkat, yaitu enam tahun. Tidak ada yang tahu apa yang dilakukan dalam enam tahun itu. Yang pasti, perdebatan tentang sistem perwira terus berlanjut. Di sisi lain, masyarakat Tionghoa Tangerang relatif telah berubah setelah sepuluh tahun hidup tanpa kapten.
Setelah Oey Kiat Tjin meninggal, posisi kapten der Chinezen dibiarkan kosong. Pemerintah Hindia-Belanda tidak mengangkat salah satu anak Oey Kiat Tjin yang menjadi pewaris kekayaan sebagai penggantinya, atau memilih kapten baru di antara para letnan senior.
Tidak ada literatur yang menjelaskan situasi ini. Satu-satunya kemungkinan adalah berkaitan dengan rencana pemerintah Hindia-Belanda membeli kembali tanah-tanah partikelir sekujur Tangerang, yang dipastikan menghapus status landheer (tuan tanah) — sesuatu yang biasa disandang kapten atau letnan Tionghoa di mana pun.
Dua tahun setelah Oey Kiat Tjin meninggal, pemerintah Hindia Belanda membeli tanah partikelir Karawaci dan menjadikannya staadlanden atau tanah negara. Enam anak Oey Kiat Tjin, tiga laki-laki dan tiga perempuan, hanya memiliki Grendeng, Cilongok Pasar Kemis, dan Gandu.
Kemungkinan lain, komunitas Tionghoa Tangerang — setelah sepuluh tahun tanpa kepemimpinan tradisional orang terkaya — terlanjur tak butuh lagi kapten. Ketika sistem perwira dihidupan kembali, dan kapten baru muncul lagi, Tionghoa Tangerang relatif mengabaikan.
Tangerang saat itu, telah berubah, dengan semua etnis bergerak mengikuti isu yang dikembangkan kaum pribumi, yaitu nasionalisme. Seperti wilayah lain di Pulau Jawa, organisasi-organisasi kebangsaan hadir dan mewacanakan melawan kolonialisme.
Dalam situasi ini, Oey Kiat Tjin menjadi sosok terlupa dan makamnya yang relatif indah dan mahal teraniaya.