Crispy

Oversight of Indonesia’s Democratic Policy: Koq Hanya BNI yang Disorot…..?

  • Yang perlu dikritisi adalah apakah terjadi side streaming, atau penggunaan dana tidak sesuai akad.
  • Tidak ada prinsip kehati-hatian bank yang dilanggara, sebab tidak ada kredit macet.

JERNIH — Satyo Purwanto, direktur eksekutif Oversight of Indonesia’s Democratic Policy, mempertanyakan mengapa hanya PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, atau Bank BNI, yang disorot karena memberi pinjaman ke perusahaan batubara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) 2020.

“Kenapa hanya BNI yang disorot. Ini sangat tendensius,” kata Satyo kepada wartawan. “Bank milik negara yang tergabung dalam Himbara, atau himpunan bank negara, lainnya juga memberikan fasilitas kredit ke sektor pertambangan.”

Menurut Satyo, yang harus dikritisi adalah jika debitur sudah macet dan terjadi side streaming, atau penggunaan dana tidak sesuai kontrak atau akad, dan terjadi kredit macet.

“Itu yang harus dipantau agar debitur tidak semena-mena,” katanya.

Satyo curiga sektor pertambangan di Sumatera Selatan yang dijadikan objek seolah pesanan dari debitur-debitur nakal yang perbuatan tindak pidananya sudah terendus oleh aparat penegak hukum.

“Padahal sektor tambang tidak hanya ada di Sumsel. Apakah ini pesanan dari debitur nakal,” ujar Satyo bertanya.

Di sisi lain, Satyo mengemukakan bahwa sektor pertambangan khususnya batubara saat ini sangat vital. Selain membantu keuangan negara dan menjadi energi murah bagi rakyat, batubara menjadi tulang punggung energi dunia.

“Ketika Januari 2022 Indonesia berhenti mengekspor batubara selama satu bulan, Jepang, Korea Selata, Italia dan Jerman meminta Indonesia mengakhiri larangan ekspor batubara,” katanya.

Mengenai batubara tak ramah lingkungan, Satyo mengatakan yang perlu ditambah adalah portofolio di green energy. Indonesia, katanya, sudah punya teknologi yang membuat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) tidak menghasilkan polusi.

“Negara maju sampai sekarang masih menggunakan PLTU dikarenakan harga pokok produksi lebih murah,” demikian Satyo Purwanto.

Soal BNI melanggar prinsip kehati-hatian, atau prudential banking, dalam pembiayaan sektor pertambangan, ekonomCenter of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah tidak ada prinsip itu yang dilanggar.

Menurut Piter, prinsip kehatian-hatian dalam perbankan berkaitan dengan pengelolaan dana dan penyaluran pembiayaan pada sektor usaha yang memenuhi kriteria aman sesuai ketentuan OJK.

“Artinya, dalam pembiayaan itu sudah melewati SOP dan prosedur yang ada di BNI, yang sesuai dengan ketentuan OJK, dan hasilnya dinilai aman dan tidak merugikan pemberi pembiayaan,” kata Piter.

Kehatian-hatian dalam aturan perbankan, lanjutnya, merujuk pada pengelolaan dana publik secara prudent dan aman. “Untuk kasus ini, jika memang perusahaan tersebut berhasil memenuhi persyaratan, BNI tak bisa dianggap melanggar prudential banking,” katanya.

Ia juga menyampaikan bahwa isu lingkungan belum bisa dijadikan patokan bahwa sebuah bank melanggar konsep kehatian-hatian atau masuk kategori bank tidak ramah lingkungan.

“Kalau bicara merusak lingkungan, semua perusahaan tambang itu pasti merusak lingkungan. Mau emas, mau batubara, semua sama,” katanya. “Sebelum izin menambang keluar, pasti kan ada studi kelayakan lingkungan dan langkah-langkah untuk menjaga lingkungan dari kerusakan. Kalau izin itu ada, artinya sebuah bank tak bisa disebut melanggar konsep kehatian-hatian.”

Back to top button