Pelibatan TNI Tanggani Aksi Terorisme Dinilai Rancu
“Meskipun TNI merujuk pada UU No 34/2004 tentang TNI, fungsi penangkalan tidak bisa dilakukan dalam keadaan damai dan berupa operasi mandiri untuk mengatasi aksi terorisme”
JAKARTA – Fungsi penangkalan yang dilakukan TNI dalam Rancangan Perpres terkait pelibatan TNI pada penanganan aksi terorisme, sangat rancu dan bermasalah, karena tidak dikenal dalam undang-undang nomor 5 tahun 2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.
Demikian dikatakan Peneliti Marapi Advisory & Consulting Bidang Keamanan dan Pertahanan, Beni Sukadis, pada kegiatan webinar, di Jakarta, Selasa (20/10/2020).
“Meskipun TNI merujuk pada UU No 34/2004 tentang TNI, fungsi penangkalan tidak bisa dilakukan dalam keadaan damai dan berupa operasi mandiri untuk mengatasi aksi terorisme,” katanya.
Hal ini disampaikan oleh Beni dalam Webinar “Pelibatan TNI dalam Kontra Terorisme, Peluang dan Tantangan” yang diselenggarakan oleh Marapi Advisory & Consulting Bekerjasama dengan Prodi HI Fisip UPN Veteran Jakarta, pada 20 Oktober 2020 di Jakarta.
Beni menegaskan, UU TNI pun menyatakan tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan operasi militer selain perang yang dilaksanakan atas perintah Presiden dalam situasi tertentu.
“Bukan dalam keadaan dimana aparat penegak hukum masih dapat menjalankan tugasnya,” kata dia.
“Peran TNI bersifat terbatas dan berdasarkan perintah otoritas sipil,” Beni menambahkan.
Berbeda dengan Beni, pakar Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Eddy OS Hiariej, mengatakan tidak perlu khawatir dengan Perpres pelibatan TNI dalam penangganan terorisme, sebab hal tersebut memang dibutuhkan.
“Selama dilakukan atas Perintah Presiden, dan hanya bisa berkoordinasi dengan Polri dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), maka pelibatan TNI dibolehkan,” katanya.
Eddy mencontohkan, kasus-kasus pembajakan kapal laut dan pesawat udara yang memang harus diatasi oleh TNI atas perintah Presiden.
Begitu juga dengan Adi Rio Arianto, pengajar Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta, menjelaskan dalam sistem politik Indonesia yang demokratis, maka upaya penanganan terorisme dapat dibicarakan di ruang publik.
Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak, agar ketentuan hukum yang dibuat menjadi baik.