Pemerintah Bentuk Investigasi Penembakan Pendeta Papua
Pada 19 September 2020, Pendeta Yeremia Zanambani ditemukan tewas dengan luka tembakan dan sabetan benda tajam di dekat kandang babi miliknya di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya.
JERNIH– Pemerintah menyatakan akan membentuk tim investigasi untuk mengusut pelaku penembakan yang menyebabkan kematian seorang pendeta di Kabupaten Intan Jaya, Papua, dua pekan lalu. Sementara itu di Papua, polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan demonstrasi mahasiswa di Jayapura yang menolak kelanjutan otonomi khusus, yang rancangan undang-undangnya sedang digodok pemerintah.
Tim investigasi akan terdiri dari unsur pemerintah pusat dan daerah, pihak gereja, hingga masyarakat adat, sebut Deputi V KSP Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan HAM, Jaleswari Pramodhawardani.
“Tindakan semena-mena ini tidak bisa dibiarkan, harus mendapat perhatian serius dan diusut tuntas secara transparan dalam waktu yang singkat,” kata Jaleswari dalam pernyataan tertulisnya.
Pada 19 September 2020, Pendeta Yeremia Zanambani ditemukan tewas dengan luka tembakan dan sabetan benda tajam di dekat kandang babi miliknya di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya.
Polri dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuduh kelompok separatis bersenjata sebagai oknum yang bertanggung jawab dalam insiden tersebut. Sementara Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TPNPB) mengatakan penembakan dilakukan oleh TNI.
Saling tuding antara pihak aparat dengan kelompok separatis membuat Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) mendesak Presiden Jokowi untuk mengusut tuntas kasus kematian tersebut melalui pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) yang independen.
Jaleswari tidak memberi keterangan detail terkait tenggat waktu tim ini bekerja, namun memastikan penegakan hukum yang adil akan dijatuhkan kepada pelakunya. “Siapapun yang bersalah akan ditindak tegas,” kata Jaleswari.
Kematian Pendeta Yeremia menambah panjang daftar korban akibat konflik antara aparat keamanan Indonesia dengan kelompok separatis Papua. Pada hari yang sama dengan insiden penembakan Pendeta Yeremia, seorang tentara, Pratu Dwi Akbar Utomo, juga ditemukan tewas ditembak di Hitadipa, Intan Jaya.
Selang beberapa hari sebelumnya, seorang pengemudi ojek dan seorang anggota TNI bernama Serka Sahlan tewas akibat diserang oleh kelompok bersenjata di Intan Jaya, kata juru bicara Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III Kolonel I Gusti Nyoman Suriastawa.
TPNPB mengaku bertanggung jawab atas kedua penyerangan yang menewaskan satu warga sipil dan anggota TNI tersebut, tapi kelompok ini menuduh tukang ojek yang tewas sebagai informan aparat keamanan.
Sementara itu, Ketua Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) wilayah Papua, Pendeta Petrus Bonyadone, mengonfirmasi adanya pemberian santunan kepada keluarga korban dari pihak pemerintah namun mempertanyakan maksud lain di balik pemberian tersebut. “Santunan dari TNI/Polri tandanya apa? Mungkin banyak yang mengartikan ini. Tapi apakah ini seperti pengakuan ‘minta maaf’ dari pihak TNI/Polri?”tanya Petrus.
Petrus mengatakan, penarikan pasukan TNI/Polri di wilayahnya jauh lebih penting ketimbang pemberian santunan karena keberadaan aparat menebarkan ketakutan yang luar biasa pada warga. Pasalnya, pasca-insiden penembakan tersebut, banyak warga yang memilih mengungsi ke hutan atau wilayah lain.
“Semua yang dilakukan ok saja, dalam koridor kemanusiaan. Tapi lebih dari itu, bagaimana supaya masyarakat-masyarakat kami yang terpencar bisa dikembalikan ke kampung halaman mereka. Mereka tidak akan kembali bila TNI tidak ditarik dari sana,” kata dia.
Sementara itu Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengapresiasi langkah pemerintah dalam membentuk tim investigasi pengusutan kematian Pendeta Yeremia seraya berharap pemerintah mampu menuntaskan komitmennya dengan membawa hasil penyelidikan ke proses hukum yang lebih lanjut.
“Apakah akan jadi bahan untuk keperluan proses peradilan? Kalau tidak, maka dia terancam berhenti di tengah jalan,” kata Usman kepada BenarNews.
Data yang dimiliki Amnesty International mencatat, sepanjang periode 2018 hingga 2020, telah terjadi 54 insiden kekerasan yang berujung kematian atas 94 orang asli Papua dan dua orang non-Papua. Dari insiden tersebut, ada tujuh kasus yang diproses di kepolisian dan pengadilan militer, dua kasus dibawa ke pengadilan pidana umum, 14 kasus diinvestigasi namun hasilnya tidak dimuat ke publik, delapan dalam proses verifikasi, dan sisanya tidak diinvestigasi.
“Banyak investigasi yang dilakukan tapi tidak dijelaskan secara terbuka. Tanpa ada kejelasan apa sebenarnya peristiwa itu, mengapa bisa terjadi, siapa yang sesungguhnya terlibat. Hal-hal itu tidak muncul dalam proses informal,” kata Usman.
Direktur Imparsial Al-Araf meminta pemerintah segera mengevaluasi pengerahan pasukan di Papua sebagai solusi dari segala konflik yang terus terjadi. “Ini sudah kami sampaikan berkali-kali bahwa perlu adanya desekuritisasi di wilayah Papua. Selama ini pemerintah melakukan sekuritisasi, karena Papua dibangun dalam perspektif ancaman keamanan yang serius,” kata Al-Araf.
Imparsial mencatat, sebanyak 13.000 pasukan TNI dikerahkan ke Papua pada tahun 2015. Jumlah tersebut diprediksi akan bertambah sampai 2029 hingga 30.000 merujuk pada kebijakan postur pertahanan yang disusun Kementerian Pertahanan.
“Penambahan diwujudkan dengan pembangunan, misalnya Kodam baru di Papua Barat dan infrastruktur TNI lainnya di Papua,”kata dia.
Senin lalu polisi mengeluarkan tembakan peringatan dan gas air mata untuk membubarkan paksa aksi mahasiswa di sekitar Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua, yang menggelar unjuk rasa menolak kelanjutan otonomi khusus, kata seorang saksi mata, Whens Tebai. Dua orang pengunjuk rasa mengalami luka di kepala, kata Tebai kepada BenarNews.
Juru Bicara Kepolisian Daerah Papua, Ahmad Musthofa Kamal, mengakui aksi unjuk rasa sempat menjadi tegang, namun berhasil dibubarkan tanpa menimbulkan korban jiwa. “Agak tegang, namun diberi pengertian dapat dibubarkan,” kata Kamal.
“Tidak ada (korban jiwa),”ujar Kamal tanpa menjawab apakah benar pihak aparat sempat menembakkan peluru ke langit untuk membubarkan massa seperti yang dilaporkan media lokal, SuaraPapua.com.
Gelombang penolakan Revisi Otsus Jilid II sudah disuarakan sejumlah elemen masyarakat di Papua sejak Juli 2020, di berbagai titik di Papua dan Papua Barat. Kamis pekan lalu, ribuan massa yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) juga berunjuk rasa di Kabupaten Nabire, Papua.
Juru bicara TPNPB, Sebby Sambom, mendesak Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw untuk segera menghentikan jajarannya melakukan kekerasan dan menghalangi aksi demonstrasi menolak otonomi khusus tersebut. [BenarNews]