- Jika ada perang yang digerakan oleh narasi absurd tentang hak-hak perempuan, ya cuma Perang Afghanistan.
- Setelah 20 tahun, AS dan NATO ternyata gagal mendidik perempuan Afghanistan akan hak-hak sesuai standar Barat.
- Kini, ketika AS dan NATO meninggalkan Afghanistan dengan rasa malu, media AS kembali menarasikan hak-hak perempuan.
- Tujuannya memelihara kebencian terhadap Taliban, lawan yang tak pernah bisa ditaklukan.
JERNIH — “Perang di Afghanistan berakhir seperti awalnya; dengan kepedulian yang benar-benar palsu tentang hak-hak perempuan,” tulis Alan MacLeod, jurnalis Inggris dan anggota Grup Media Universitas Glasgow, di Twitter-nya pada 23 Agustus dan dikutip SputnikNews.
Cuitan MacLeod seakan mengajak semua orang untuk kembali ke tahun 2001, ketika AS memulai Operasi Enduring Freedom (OEF) atau invasi ke Afghanistan yang dibenarkan oleh kebutuhan membalas serangan teror 9/11.
Serangn dilancarkan setelah Taliban menolak menyerahkan Osama bin Laden, pimpinan Al Qaeda dan tertuduh tunggal serangan 9/11, ke Washington.
Namun, setelah mensurvei 37 negara pada akhir September 2001, Gallup International menemukan bahwa mayoritas masyarakat Israel, AS, dan India lebih menyukai ekstradisi dan pengadilan tersangka, bukan invasi ke Afghanistan.
Dalam artikel 9 April 2021, MacLeod menulis liputan media tentang operasi militer setidaknya dapat menjelaskan dukungan publik AS untuk invasi. Saat itu, media arus utama AS tidak hanya berfokus pada pembalasan atas tragedi 9/11 tapi memproklamirkan Perang Afghanistan sebagai perjuangan untuk hak-hak perempuan.
“New York Times adalah salah satu arsitek utama pembangun kepercayaan dalam perang feminisme palsu,” kata MacLeod. “Majalah Times ikut-ikutan.”
Menurut MacLeod, studi Carol Stabile dan Deepa Kumar tahun 2005 menemukan antara tahun 2000 dan 11 September 2001 ada 15 artikel surat kabar AS dan 33 siaran TV tentang hak-hak perempuan di Afghanistan.
Namun antara 12 September 2001 dan 1 Januari 2002 jumlah itu melonjak menjadi 93 artikel surat kabar dan 628 laporan televisi tentang hak-hak perempuan di Afghanistan.
Pesan anti-perang tidak ada dalam liputan media arus utama, dengan eksekutif CNN dikabarkan menginstruksikan staf untuk melawan gambar korban sipil dengan pesan pro-perang.
CIA Memanipulasi Opini Publik
Bukan hanya media arus utama AS yang menggunakan narasi palsu tentang hak-hak perempuan Afghanistan untuk menggalang dukungan, CIA juga melakukan hal serupa.
Maret 20120, CIA mengeluarkan apa yang disebut Memorandum Sel Merah, yang kemudian dibocorkan WikiLeaks. Dalam memo rahasia itu, CIA meratapi berkurangnya persetujuan sekutu AS di Eropa akan perang di Afghanistan. CIA menawarkan penggunaan isu feminisme untuk mengurangi penentangan terhadap pendudukan di Afghanistan.
Saat itui, 80 persen responden Jerman dan Prancis menyatakan menentang peningkatan penempatan Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF).
Memo itu menyebutkan pemimpin Jerman dan Prancis takut akan serangan balasan jelang pemilihan regional musim semi. Mereka tidak mau membayar harga politik untuk meningkatkan jumlah pasukan dan memperluas pengerahan.
CIA menawarkan isu hak perempuan sebagai salah satu alat membalikan opini publik. “Perempuan Afghanistan bisa menjadi pembawa pesan ideal dalam memanusiakan peran ISAF memerangi Taliban,” demikian desakan CIA.
Acara media yang menampilkan kesaksian perempuan Afghanistan mungkin akan lebih efektif disiarkan pada program yang ditonton banyak perempuan.
Cara yang Sama
Dalam beberapa hari terakhir, ketika puluhan ribu orang berebut naik pesawat yang akan membawa mereka keluar Afghanistan, media di Eropa dan AS kembali ke isu lama; hak-hak perempuan Afghanistan.
Isu dimulai dengan pernyataan bahwa perempuan Afghanistan belum mengalami perbaikan kondisi hidup setelah 20 tahun pendudukan AS dan NATO di negara itu.
Alih-alih memperjuangkan hak-hak perempuan Afghanistan, media-media itu seolah menegaskan peran AS dan NATO dalam perang 20 tahun. Bahwa, mereka juga gagal menjadikan perempuan Afghansitan sadar akan hak-haknya sesuai standar Barat.
Perempuan-perempuan Afghanistan yang lari ke Barat diminta memberi kesaksian di depan media yang ditonton perempuan. Seperti kerbau ditusuk hidung, perempuan Afghanistan mengarang cerita palsu tentang kondisi perempuan dan kemungkinan lebih menderita di bawah Taliban.
MacLeod mengutip seorang perempuan anggota parlemen Afghanitan yang menguraikan tiga masalah utama yang dihadapi perempuan sebelum Taliban kembali memasuki Kabul.
Pertama, Taliban. Kedua, penglima perang yang didukung AS dan menyamar sebagai pemerintah. Ketiga, pendudukan AS.
“Jika Anda di Barat bisa mengeluarkan AS dari Afghanistan, perempuan di negeri hanya memiliki satu masalah, yaitu Taliban,” kata anggota parlemen itu.