Crispy

Perang Gereja Ortodoks di Ukraina

  • Ukraina membentuk Gereja Ortodoks yang terpisah dari Gereja Orotodoks Rusia.
  • Gereja Ortodoks Ukraina yang merupakan bawahan Gereja Ortodoks Patriark Moskwa (UOC-MP) harus memilih.

JERNIH — “Jika kamu percaya Tuhan, aku mohon tinggalkan gereja. Biarkan aku mengubur anakku,” teriak seorang wanita dengan nada memelas seraya berlutut di atas salju di depan pendeta.

Di sekelilingnya pejabat Ukraina dan pejuang pertahanan teritorial menyaksikan adegan itu dengan perasaan campur aduk.

Russia Today menulis wanita dan putranya beribadah di sebuah gereja yang berafiliasi ke Moskwa di Bakhmut. Volodya, putra wanita itu, adalah korban perang memperebutkan gereja.

Kepada patriark yang orang Ukraina, wanita itu mengatakan; “Kamu tidak membiarkan saya berdoa di depan ikon kemarin. Anak buahmu memukuli saya. Saya mohon Anda pergi, biarkan saya mengubur Volodya.”

Peristiwa di atas telah cukup untuk menggambarkan betapa kekacauan politik dan gereja selama beberapa dekade, bahkan berabad-abad, di wilayah Ukraina menciptakan pemisah di antara orang beriman.

Pemisah itu semakin lebar sejak serangan militer Rusia awal tahun ini, dan konflik perebutan gereja menjadi berdarah.

Ortodoks Ukraina dan Rusia

Ukraina adalah negara dengan masyarakat penganut Kristen Ortodoks. Asumsinya, ada agama mayoritas yang memberi rasa aman kepada pemeluknya.

Ternyata tidak. Secara historis, situasi keagamaan di Ukraina selalu tegang. Setiap krisis politik menyebabkan perpecahan di dalam gereja. Itu terlihat gamblang pada tahun 2014.

Setelah Euromaidan, demo besar-besaran mendesak integrasi Ukraina dengan Uni Eropa, negara Ukraina yang lepas dari orbit Rusia terbentuk. Empat tahun kemudian Ukraina membentuk gereja ortodoks sendiri, yaitu Gereja Ortodoks Ukraina.

Padahalm sepenjang sejarah Ukraina tidak pernah memiliki gereja ortodoks yang bersatu. Sebagian masyarakat yang berpikiran nasionalis berusaha membentuknya.

Kalaupun ada yang disebut Gereja Ortodoks Ukraina, itu adalah kanonik dari Patriarkat Moskwa (UOC) dan selama bertahun-tahun menjadi denominasi paling aktif. Namun, Gereja Ortodoks Ukraina, yang notabene bawahan Moskwa, kerap direpotkan harus menangkis tuduhan bekerja untuk Rusia.

Setelah serbuan Rusia ke Ukraina, penyitaan gereja dimulai di sekujur wilayah Ukraina. Maret lalu, misalnya, pendukung Gereja Ortodoks Ukraina (OCU) — yang dibentuk di era Presiden Petro Poroshenko — mengganggu kebaktian di Gereja Pokrovsky di wilayah Cherkasy.

Pendukung OCU menyerang dan menyeret pendeta keluar dari gereja, serta terlibat perkelahian dengan jamaah.

Bulan yang sama. OCU merebut Gereja Anno-Zachatievsky di wilayah Ivano Frankovsk. Penentang UOC datang ke gereja, mengusir jamaah seraya menyebut mereka umat agresor.

Penyitaan gereja dengan kekerasan di Ukraina menjadi sesuatu yang biasa. Antara Februari sampai Agustus 2022 lebih 250 gereja di seluruh Ukraina disita pendukung OCU. Statistik resmi selama durasi konlfik belum diungkapkan.

Baru-baru ini Dinas Keamanan Ukraina (SBU) mengumumkan penggrebekan di tiga keuskupan di wilayah Zhitomyr, Rovensk, dan Transkapartia, dengan wilayah Cherkasy dan Volyn ditambahkan kemudian.

Alasan penggrebekan adalah tindakan kontraintelejen. Lainnya, perang melawan dinas khusus Rusia, dan pencarian literatur pro-Kremlin. Buku doa dan literatur gereja dalam Bahasa Rusia, ikon orang suci yang dikanonkan, salah satunya Kaisar Rusia Nicholas II, dianggap sebagai barang bukti aktivitas anti-Ukraina.

Hantu Ukraina, demikian Russia Today menyebut pendukung OCU, mencari pengkhianat rakyat Ukraina di antara pendeta UOC dari Patriarkat Moskwa. Korbannya adalah pendeta UOC Sergey Tarasov, yang mayatnya ditemukan di kamar mayat Kiev dengan cedera kepala traumatis.

Pendeta tertinggi UOC juga berada di bawah pengawasan SBU. Pada 7 November, SBU menuduh Metropolitan UOC di wilayah Vinnitysia menghasut perselisihan agama dan menghina perasaan warga. Pada 2 Desember Keuskupan Metropolitan Kirovgrad dari UOC menghadapi tuduhan pro-Kremlin.

Pura-pura pro-Kiev

Setelah sentimen anti-Rusia merebak di sekujur Ukraina, yang bisa dilakukan gereja adalah mengambil posisi pro-Kiev. Bagi UOC-MP, atau Gereja Ortodoks yang menginduk ke Rusia, ini bukan sesuatu yang mudah karena harus mempertahankan persatuan dengan Moskwa.

Awalnya perwakilan UOC-MP menahan diri untuk tidak berkomentar dan menghindari pengakuan Rusia sebagai negara agresor. Setelah konflik berlarut-larut, retorika berubah.

Tiga bulan setelah serangan militer Rusia, UOC-MP benar-benar memutus hubungan dengan Moskwa dan menyerukan dialog dengan OCU. Pada musim panas, perwakilan kedua gereja mengadopsi deklarasi tentang perlunya persatuan dalam Ortodoksi Ukraina.

Posisi UOC yang terkekang, dan tidak lagi menggunakan MP atau Patriarkat Moskwa, menyebabkan hilangnya reputasi di mata masyarakat pro-Ukraina. Setelah itu, 400 paroki meninggalkannya dan pindak ke OCU.

Cara lain untuk menunjukan persatuan dengan rakyat Ukraina, UOC memutuskan inisiatif yang jelas-jelas anti-Rusia. April lalu, misalnya, mereka mengusulkan prosesi ke Azovstal — tempat militan neo-Nazi Azov bersembunyi. UOC ingin membawa pulang yang tewas dan terluka, serta mengevakuasi warga sipil.

Archpriest Andrey Tkachev mengatakan posisi UOC-MP adalah masalah kelangsungan hidup. Dari semua pilihan yang tersedia, UOC-MP terpaksa memilih posisi paling tidak salah, yang terbaik dari yang terburuk.

“Jika mereka berperilaku normal; seperti gereja dan bukan sebagai pelayan rezim Ukraina, itu berarti mempertaruhkan nyawa, kesehatan, kehilangan harta benda, dan masalah lain,” kata Tkachev.

Perang, masih menurut Tkachev, tidak menimbulkan masalah tapi mengungkapkan masalah yang telam lama ada. Penyelesaiannya diputuskan di medan perang.

Back to top button