Crispy

Pete Buttigieg, Calon Presiden Gay dalam Pemilu AS, Mengundurkan Diri

Kunci dari kebangkitannya di jajak pendapat awal tampaknya adalah menerima hampir setiap tawaran bicara di berbagai media

NEW YORK– Pete Buttigieg, calon presiden AS dan mantan wali kota South Bend, Indiana, tercatat sebagai kandidat presiden gay paling sukses dalam sejarah pemilihan pendahuluan Pemilu AS. Sempat unggul di Iowa, dengan kesulitan memenangkan suara di Nevada dan South Carolina, Buttigieg akhirnya memutuskan mundur dari ajang primary Partai Demokrat.

The New York Times melaporkan, Buttigieg telah mundur dari ajang pemilihan pendahuluan Partai Demokrat menjelang Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2020. Menurut The Times, dirinya merupakan pemenang kaukus Iowa dan kandidat gay paling sukses dalam sejarah pemilihan pendahuluan. Sayangnya, setelah gagal mencapai performa memuaskan di Nevada dan Carolina Selatan, salah satu kandidat unggulan Partai Demokrat itu memutuskan mundur.

Buttigieg mundur setelah kampanye yang sebenarnya lebih sukses daripada yang diperkirakan banyak orang. ‘Mayor Pete’, demikian ia dipanggil, awalnya tidak banyak dikenal dan tidak memenuhi syarat berdasarkan standar konvensional. Kemenangannya di Negara Bagian Iowa dan masuk ke posisi kuat kedua di New Hampshire, sejatinya benar-benar membuat public terkejut.

Buttigieg naik ke puncak popularitas pada Maret 2019 dengan bantuan media. Vox, salah satu kanal media yang berulang kali mewawancarainya, mengkampanyekan Buttigieg sebagai suara muda yang progresif dan berkomitmen untuk mereformasi sistem politik Demokrat yang keropos. Buttigieg akhirnya bergeser makin ke tengah dan mulai mengecam sistem perawatan kesehatan andalan Demokrat, Medicare-for-all, yang pernah didukungnya dalam setiap kesempatan debat dan kampanye.

Seiring berlangsungnya kampanye, Mayor Pete mulai terlihat sebagai kandidat yang stabil di jajak pendapat. Popularitasnya segera mengambil perhatian lebih serius dari awak media dan para pesaingnya. Kontroversi selanjutnya berfokus terutama pada rekam jejaknya yang bermasalah pada sisi rasial, manakala dirinya menjabat wali kota South Bend, karirnya sebagai konsultan manajemen McKinsey, dan penggalangan dana yang sangat mencolok di ladang anggur California.

Menurut analisis Zack Beauchamp dari Vox, Buttigieg menunjukkan rekam jejak yang menarik bagi pemilih kulit putih berpendidikan tinggi. Sayang ia gagal memperluas dukungan lebih dari itu. Performa kampanyenya melampaui ekspektasi, tetapi pada akhirnya tak pernah bisa membuat mantan wali kota itu cukup layak untuk terus maju.

The rise and fall of Pete Buttigieg

Buttigieg dipandang naik daun dalam politik nasional Partai Demokrat sejak terpilih sebagai wali kota South Bend, kota terbesar keempat di Negara Bagian Indiana pada 2011. Menjelang akhir masa jabatannya, mantan Presiden AS Barack Obama menyebut Buttigieg sebagai salah satu dari beberapa pemimpin masa depan Partai Demokrat.

Pada 2017, Buttigieg mencalonkan diri menjadi ketua Komite Nasional Demokrat (DNC). Dia gagal sebelum putaran pertama pemungutan suara. Namun, kegagalan itu tidak banyak mengurangi antusiasme sosok wali kota muda di antara beberapa orang kader partai.

Ketika Buttigieg muncul di panggung pemilihan presiden Amerika Serikat pada awal 2019, dia nyaris tampak direkayasa untuk menarik perhatian berbagai kalangan Demokrat yang mencari lawan bagi Presiden AS Donald Trump. Awalnya, Buttigieg menekankan pendidikan elitnya (sarjana lulusan Universitas Harvard dan peraih beasiswa Rhodes Scholarship), keterampilan tujuh bahasanya yang mengesankan, dan masa dinas militer AS sebagai cara untuk menangkal kurangnya pengalaman politiknya di tingkat nasional.

Buttigieg merangkul para pendukung Partai Demokrat yang lebih progresif dengan mendukung reformasi kelembagaan seperti menghapuskan Electoral College, pendaftaran pemilih otomatis, dan status negara bagian untuk Puerto Rico dan Washington, DC. Dia mengisyaratkan keterbukaan untuk menghapus manuver filibuster di Senat AS dan menunjuk hakim-hakim baru di Mahkamah Agung.

Namun, kunci dari kebangkitannya di jajak pendapat awal tampaknya adalah menerima hampir setiap tawaran bicara di berbagai media. Sebagai pembicara yang kuat dan pria yang jelas-jelas pintar, Buttigieg mendongkrak peluangnya hanya dengan menampilkan wajahnya di hadapan para pemilih yang belum pernah mendengar kiprahnya. Buttigieg pernah diwawancarai Vox untuk profil selama periode 2019 awal dan juga muncul di dua podcast media tersebut. Para capres Amerika lainnya saat ini maupun di masa depan perlu belajar dari Buttigieg dengan menyambut setiap tawaran bicara dengan media massa.

Tentu saja, menampilkan dirinya di layar kaca dan surat kabar saja tidaklah cukup. Buttigieg perlu mencari cara untuk membedakan dirinya dari para capres Demokrat lainnya untuk memungkinkannya meraih dukungan melampaui penggemar yang melihat penampilan medianya sejak awal.

Pada akhirnya, kampanye Buttigieg tampaknya telah memutuskan untuk bersaing untuk jalur yang relatif moderat dengan kandidat lama Joe Biden. Buttigieg memposisikan dirinya melawan Bernie Sanders dan terutama Elizabeth Warren, yang tampak seperti pesaing utama di jajaran capres Demokrat pada musim gugur 2019.

Buttigieg berpendapat, rencana Medicare-for-all menghapuskan asuransi kesehatan swasta adalah gagasan yang terlalu jauh. Dalam debat pada Oktober 2019, misalnya, ia menuduh Warren telah menyesatkan para pemilih dalam isu perawatan kesehatan: “Gaya khas Anda, Senator Warren, adalah memiliki rencana untuk segalanya, kecuali dalam hal ini.”

Namun, Buttigieg tidak pernah sepenuhnya berhasil menguasai jalur moderat. Dia telah berkampanye dengan memusuhi para kandidat sayap kiri ideologis maupun pemilih kulit hitam dari semua garis ideologi yang tidak pernah sanggup dirangkulnya.

Sulit untuk melebih-lebihkan tingkat penghinaan yang diarahkan kepada Buttigieg dari para pendukung Sanders karena dia hampir pasti menjadi kandidat yang paling dibenci. Buttigieg membela segala sesuatu yang tidak mereka sukai dalam pandangan mereka tentang Partai Demokrat: partai yang didominasi oleh elit “meritokratis” dari komitmen ideologis lemah, yang sebagian besar merasa nyaman dengan status quo di politik Amerika Serikat.

“Tidak ada lagi ‘orang muda cemerlang’ dengan keluarga mereka yang rupawan, karakter yang sempurna, berpendidikan elit dan pesan-pesan kosong tentang peningkatan status dan kebersamaan,” tulis Nathan Robinson, editor Current Affairs dan pengkritik Buttigieg sejak awal. “Beri saya manusia sungguhan, bukan zombie yang mendukung korporasi,” ia menambahkan.

Kampanye Buttigieg tidak melakukan segalanya dengan baik dengan melawan sentimen itu. Buttigieg terang-terangan mengajak donor kaya, pada peristiwa paling terkenal di gua anggur California, ketika anggur dengan harga 900 dolar AS botol per disajikan di bawah gemerlap kristal Swarovski. Buttigieg mungkin memang membutuhkan uang, mengingat profil nasionalnya yang relatif rendah, tetapi kampanye saat itu adalah pertunjukan yang mengerikan di negara bagian yang sangat terfokus pada bahaya ketidaksetaraan. Para kandidat lain dari Partai Demokrat pun menyerangnya karena itu di setiap debat.

Masalah lain, Buttigieg sama sekali tidak mengantongi dukungan pemilih Afrika-Amerika. Masa jabatannya sebagai wali kota South Bend mencakup bentrokan dengan aktivis kulit hitam setempat atas rencananya untuk menghancurkan rumah-rumah kosong, serta penembakan polisi pada Juni 2019 terhadap seorang pria kulit hitam. [TheNewYorkTimes]

Back to top button