Polisi: Twitter Paling Sering Digunakan untuk Ujaran Kebencian dan SARA
Polisi virtual menganalisa unggahan atau postingan bersama para ahli, seperti ahli bahasa, ahli pidana, dan ahli UU ITE untuk dimintakan pendapat.
JERNIH-Setelah kurang dari dua bulan diluncurkannya Virtual police, tercatat 329 konten diberi teguran. Konten tersebut ada pada semua media sosial.
Kabag Penum Divisi Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan, dari data virtual police, tercatat 195 konten mengandung unsur ujaran kebencian dan SARA. Konten pidana paling banyak ditemukan di Twitter.
“329 konten yang diajukan peringatan virtual police didominasi oleh jenis platform Twitter sebanyak 195 konten dan Facebook sebanyak 112 konten,” kata Ramadhan kepada wartawan, pada Jumat, (16/4/2021).
Data virtual police tersebut merupakan hasil pemantaua dalam kurun waktu 23 Februari hingga 12 April. Namun tak semuanya memenuhi unsur Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang ITE. Data virtual tersebut terbagi konten lolos verifikasi atau memenuhi unsur ujaran kebencian, kemudian konten tidak lolos verifikasi dan konten dalam proses verifikasi.
“Dari 329 konten tersebut sebanyak 200 konten dinyatakan lolos verifikasi, lolos verifikasi atau konten yang memenuhi ujaran kebencian berdasarkan SARA,” kata Ramadhan.
“Sedangkan 91 konten dinyatakan tidak lolos verifikasi. Kemudian 38 konten dalam proses verifikasi,” kala Ramadhan lebih lanjut.
Sehari sebelumnya pada Kamis, 15 April Direktur Tindak Pidana Siber Brigadir Jenderal Slamet Uliandi menjelaskan secara rinci akun-akun media sosial (medsos) yang diduga menyebarkan informasi suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA).
Konten mengandung unsur SARA itu paling banyak ditemukan di Twitter dan Facebook.
“Menyusul Facebook dengan 112 konten. Instagram dengan 13 konten. YouTube dengan 8 konten, dan WhatsApp dengan 1 konten,”.
Diingatkan Slamet bahwa polisi virtual tidak akan sembarang dalam menegur pengguna media sosial yang melanggar UU ITE. Sebab Polisi virtual menganalisa unggahan atau postingan tersebut bersama para ahli, seperti ahli bahasa, ahli pidana, dan ahli UU ITE untuk dimintakan pendapat.
Mayarakat yang ditegur polisi virtual diminta untuk kooperatif dengan menghapus postingan atau cuitan yang berpotensi melanggar UU ITE.
“Menyanggah kan hak mereka, namun yang disampaikan oleh anggota yang tergabung dalam virtual Police tersebut tentu terkait konten yang di upload. Kesadaran (menghapus konten) yang diharapkan. Bukan berdebat di dunia maya,”. (tvl)