Presiden Jokowi Didesak Sampaikan Permintaan Maaf, Ini Alasannya
“Ini adalah pukulan atau sindiran yang sangat keras kepada Pemerintah Indonesia yang semestinya juga melakukan hal yang sama, yaitu meminta maaf kepada para korban pelanggaran HAM berat, khususnya korban ’65′”
JAKARTA – Permintaan maaf Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, atas tindakan kekerasan militer Belanda pada periode 1945-1949, diharapkan dapat diikuti oleh Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) kepada para korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
Bedjo Untung, salah satu korban pelanggaran HAM berat pada Tragedi 1965, mengatakan seharusnya permintaan maaf Mark Rutte menjadi koreksi bagi Joko Widodo, untuk bersedia meminta maaf kepada para korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Ini adalah pukulan atau sindiran yang sangat keras kepada Pemerintah Indonesia yang semestinya juga melakukan hal yang sama, yaitu meminta maaf kepada para korban pelanggaran HAM berat, khususnya korban ’65,” ujarnya di Jakarta, Minggu (20/2).
Menurut Bedjo, permintaan maaf bisa menjadi hiburan tersendiri bagi para korban yang masih hidup. Bahkan menjadi langkah awal untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu oleh negara. Setelah itu, permintaan maaf harus diikuti dengan pemenuhan hak-hak korban, seperti pemulihan nama baik, rehabilitasi, kompensasi, dan reparasi.
“Nama Jokowi akan menjadi harum apabila di periode kedua ini bisa menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM berat,” katanya.
Selama ini pihaknya telah berulang kali mendesak pemerintahan Jokowi agar setidaknya menyampaikan permintaan maaf. Sebab menurutnya, korban Tragedi 1965 merupakan martir berdirinya Orde Baru.
“Kalau permintaan maaf itu dia (Jokowi) berat hati, cukup melakukan penyesalan. Pernyataan penyesalan bahwa telah terjadi suatu pembunuhan massal tahun 1965 yang melibatkan jutaan korban,” ujar dia.
Pernyataan penyesalan itu, menandakan Presiden Jokowi mengakui bahwa pada 1965 telah terjadi kejahatan kemanusiaan. Kejahatan yang menurutnya melibatkan aparat negara. Bahkan dokumen internasional menyebutkan keterlibatan pihak asing dalam pembunuhan massal 1965, termasuk Inggris, Jerman, dan CIA.
“Pemerintah Indonesia masih kurang apalagi? Saya dengan ini mendesak supaya pemerintahan Jokowi segera menyelesaikan janjinya, setidak-tidaknya di akhir pemerintahan ini harus diselesaikan,” katanya.
Ia menduga, hambatan Jokowi untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu karena di lingkaran kekuasaan masih banyak orang sisa Orde Baru.
Sebelumnya, Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte pada Kamis (17/2) menyampaikan permintaan maafnya kepada Indonesia atas penggunaan kekerasan oleh Militer Belanda selama masa Perang Kemerdekaan sejak tahun 1945-1949. Hal itu disampaikan Rutte pada konferensi pers di Brussel, Belgia.
“Untuk kekerasan ekstrem yang dilakuan secara sistematis dan meluas oleh Belanda, dan yang secara konsekuen diabaikan oleh kabinet-kabinet sebelumnya, saya atas nama pemerintah Belanda meminta maaf yang dalam kepada bangsa Indonesia,” kata Mark Rutte.
Pernyataan Mark Rutte menyusul hasil penelitian besar Belanda berjudul ‘Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia, 1945 – 1950’ yang keluar Rabu malam, 16 Februari 2022.
Studi empat tahun oleh tiga institut ilmu pengetahuan Belanda ini menyimpulkan bahwa “pemerintah dan pemimpin militer Belanda telah dengan sengaja melakukan pembiaran atas penggunaan kekerasan ekstrem yang dilancarkan secara sistematis dan meluas oleh personel militer Belanda selama Perang Kemerdekaan Indonesia.”
“Banyak warga Indonesia telah menderita, atau masih menderita, akibat apa yang terjadi saat itu, sebagai korban atau penyintas,” ujar Rutte.
Kurang dari dua tahun yang lalu Raja Belanda Willem Alexander, dalam kunjungan resminya ke Indonesia bulan Maret 2020, sudah meminta maaf pada Indonesia atas kekerasan di masa revolusi kemerdekaan Indonesia.
Pernyataan Mark Rutte adalah permintaan maaf pertama kalinya oleh seorang kepala pemerintahan Belanda terhadap Indonesia atas penderitaan rakyat di masa revolusi. Lebih dari empat tahun Belanda dan Indonesia berperang dengan senjata dan diplomasi setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dari bekas penjajahnya pada tanggal 17 Agustus, 1945. Akhirnya Belanda baru secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia di bulan Desember 1949.
Menurut penelitian Belanda, yang dilaksanakan tiga lembaga penelitian, yakni KITLV, NIMH, dan NIOD, selama perang berlangsung, militer Belanda tak henti melakukan kekerasan ekstrem secara struktural.
Kekerasan itu mulai dari eksekusi ekstrayudisial, penyerangan dan penyiksaan, penahanan dalam kondisi yang tak manusiawi, pembakaran rumah dan kampung-kampung, penjarahan dan perusakan barang berharga dan makanan milik penduduk, serangan-serangan udara dan pengeboman yang terus menerus, serta penangkapan secara acak dan massal dan pemenjaraan.
Perdana Menteri Mark Rutte menekankan bahwa pertanggungjawaban berada di penguasa pada saat itu: pemerintah Belanda, parlemen, institusi militer, dan otoritas hukum.
Dalam data itu, pada periode 1945-1949 diperkirakan sekitar 100.000 orang Indonesia meninggal, sedangkan dari pihak Belanda 5.300 serdadu gugur.