Sebagai Presidensi G20 Indonesia Harus Bangun Jalan Tengah di Eropa Timur
Sebab jika peperangan antara Rusia dan Ukraina dibiarkan terus berlanjut, Hikmahanto bilang bisa jadi cikal bakal pemicu perang dunia ketiga.
JERNIH-Jika Indonesia mau mengambil sikap tegas terhadap perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, maka harus ada kekayaan ide dan gagasan untuk berdiri di antara kedua pihak berkonflik. Sebab sudah pasti ada kesungkanan, mengingat hubungan antara republi ini dengan dua negara tadi masih terbilang hangat.
Namun, tak bisa juga dengan mengambil sikap diam di tengah-tengah sebab angin masih berhembus kencang dari segala sisi.
Pakar hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah mengatakan, hingga saat ini hanya Indonesia yang bisa diharapkan dalam memberi masukan berupa jalan tengah untuk mengakhiri perang tanpa adanya keruwetan lebih lanjut.
Sebab ada persahabatan yang baik antara Indonesia dengan Rusia dan Ukraina, Rezasyah menilai pasti ada kesungkanan dalam kegiatan diplomasi agar jangan sampai mereka saling tuding menggunakan bahasa yang keras di wilayah Indonesia.
“Aturan protokolernya harus benar, jangan sampai mereka saling tuding menggunakan bahasa-bahasa yang keras di wilayah Indonesia. Ini jadi mencederai nama baik kita juga,” kata Rezasyah.
Soalnya, Rusia sudah sangat siap mengantisipasi tekanan dari negara-negara lain atas aksi invasinya ke wilayah Ukraina, bahkan bakal mampu bertahan meski digencet dari segala aspek baik ekonomi, perdagangan, keuangan dan teknologinya. Sebab negeri beruang merah sudah punya cadangan uang yang jumlahnya sangat fantastis.
“Jadi, kalau dia dicekik selama 1-2 tahun, dia masih bertahan, apalagi dia masih punya cadangan dukungan dari China,” kata Rezasyah menyambung.
Di lain pihak, jika Indonesia benar-benar mau mengambil posisi sebagai penengah, jalan satu-satunya adalah melalui Majelis Umum PBB. Sebab di sana, semua dianggap tak punya hak veto, negara-negara anggota memiliki satu suara saja dan bisa berperan.
Guru Besar Hukum Internasional UI yang juga Rektor Universitas Jenderal A Yani, Hikmahanto Juwana, menilai Majelis Umum PBB pernah melaksanakan tugas menjaga perdamaian di tahun 1950 ketika perang berkecamuk di Semenanjung Korea, dengan mengeluarkan resolusi Uniting for Peace yang prosesnya diinisiasi negara-negara anggota PBB.
Nah, di situlah Indonesia bisa mengambil peran sebagai negara netral. Apalagi, RI saat ini memegang posisi sebagai Presidensi G20 yang dengan jelas memiliki kewajiban konstitusional dalam ketertiban dunia. Makanya, Presiden Jokowi bisa saja mengutus Menteri Luar Negeri untuk melakukan shuttle diplomacy.
“Dengan melakukan pembicaraan ke berbagai pihak, termasuk Presiden MU (Majelis Umum) dan Sekjen PBB, Menlu Rusia, Menlu Ukraina, Menlu negara-negara Eropa Barat dan AS,” kata Hikmahanto.
Sebab jika peperangan antara Rusia dan Ukraina dibiarkan terus berlanjut, Hikmahanto bilang bisa jadi cikal bakal pemicu perang dunia ketiga.[]