Sejak Dulu Agama Tak Pernah Bertentangan dengan Pancasila, Tegas Wakil Ketua MPR
JAKARTA – Belum sebulan dilantik menjabat Ketua Badan Penguatan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi sudah membuat pernyataan kontroversi bahwa agama merupakan musuh Pancasila.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua MPR RI, Syarief Hasan, menyayangkan pernyataan tersebut. Menurutnya, pendapat Yudian Wahyudi keliru dan perlu diluruskan. Sebab sejak dulu hingga kini dan sampai kapan pun, agama tidak pernah memusuhi Pancasila.
“Pendapat tersebut perlu diluruskan. Sejak dulu agama tidak pernah bertentangan dengan Pancasila, apalagi sampai menjadi musuhnya,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (15/2/2020).
Ia menegaskan, Pancasila memiliki fungsi melengkapi semua agama yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, tidaklah benar apabila dikatakan agama merupakan musuh dasar negara.
Atas pernyataan tersebut, melalui akun Twitter BPIP, Yudian Wahyudi meluruskan soal ‘agama musuh Pancasila’ yang membuat gaduh. “Yang saya maksud adalah bahwa Pancasila sebagai konsensus tertinggi bangsa Indonesia, harus kita jaga sebaik mungkin,” katanya.
“Pancasila itu agamis karena kelima sila Pancasila dapat ditemukan dengan mudah dalam Kitab Suci keenam agama yang diakui secara konstitusional oleh NKRI,” Yudian menambahkan.
Reaksi masyarakat atas pernyataannya tentang agama dan Pancasila menandakan perlu ada tukar pikiran dan masukan. Ia menilai masyarakat salah memahami konteks pernyataannya.
Menurutnya, musuh Pancasila yakni perilaku orang-orang berpikiran ekstrim yang mempolitisasi agama dan menganggap dirinya mayoritas.
“Agama direduksi hanya pada poin kecil yang mereka mau, menutup yang lain. Nah, kelompok ini pada kenyataannya di masyarakat minoritas, tapi mereka mengklaim mayoritas,” kata dia.
Dalam berbangsa dan bernegara, Pancasila merupakan konsensus atau kesepakatan tertinggi. Orang beragama, khususnya Islam, harus sudah mulai menerima kenyataan bahwa hukum Tuhan tertinggi yang mengatur kehidupan sosial dan politik itu bukan kitab suci.
“Jadi kalau Islam bukan Quran dan hadist dalam kitab, tapi adalah konsensus atau ijma,” ujar dia.
Karena itu, ia mencontohkan perbedaan pendapat tentang ziarah kubur antara organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Dimana keduanya memiliki alasan dan dalilnya masing-masing. Karena adanya perbedaan pendapat, maka perlu jalan penengah. Titik temu di tengah itulah bernama konsensus.
“Ini yang saya maksud konsensus itu,” kata Yudian. [Fan]