Crispy

Sinyal Ledakan Gelembung AI Menguat, Akankah Berlanjut ke Krisis Dotcom Jilid 2?

AI telah mendorong valuasi perusahaan hingga ke level triliunan, menciptakan demam investasi yang tak terkendali. Namun, di balik keriuhan janji model cerdas, para pakar—termasuk CEO Alphabet, Sundar Pichai—mengingatkan bahwa pasar sedang berada di puncak “Kegilaan Spekulasi”.

JERNIH –  Euforia investasi kecerdasan buatan (AI) memang menggila, mendorong valuasi perusahaan ke level triliunan. Namun, di balik keriuhan tersebut, para pakar mulai memperingatkan adanya potensi “Letusan Gelembung AI”—sebuah krisis ekonomi yang dipicu oleh ekspektasi pasar yang jauh melampaui realitas bisnis.

Fenomena ini bukanlah hal baru. Banyak analis membandingkan situasi saat ini dengan gelembung dotcom tahun 2000, di mana perusahaan internet dinilai terlalu tinggi tanpa profit nyata, sebelum akhirnya pasar runtuh drastis.

Secara sederhana, letusan gelembung AI didefinisikan sebagai kondisi ketika valuasi, harga saham, dan ekspektasi pasar terhadap industri kecerdasan buatan tumbuh secara tidak wajar, didorong oleh spekulasi dan optimisme yang berlebihan.

Gelembung ini terjadi ketika ekspektasi pasar (hype) jauh melampaui kemampuan teknologi dan realitas bisnis di lapangan. Ketika kinerja industri dan perolehan pendapatan nyata gagal memenuhi ekspektasi setinggi langit tersebut, pasar akan dipaksa melakukan koreksi besar-besaran, yang menandai pecahnya gelembung tersebut.

Jika gelembung ini benar-benar pecah, dampaknya akan sangat signifikan bagi ekosistem AI dan pasar secara luas. Dampak utamanya meliputi penurunan valuasi perusahaan secara drastis, di mana perusahaan bernilai triliunan dapat kehilangan sebagian besar kapitalisasi pasarnya dalam waktu singkat. Hal ini akan memicu penarikan dana besar-besaran oleh investor (dry funding), membuat modal menjadi langka.

Konsekuensi langsungnya adalah PHK massal dan pemangkasan proyek, terutama pada startup yang belum memiliki model bisnis yang menghasilkan pemasukan nyata di tengah tingginya biaya operasional. Terakhir, euforia akan runtuh, menggantikan janji-janji dan ekspektasi yang tidak realistis tentang kecepatan perkembangan dan kemampuan AI.

Carlota Perez seorang pakar Revolusi Teknologi sudah mengingatkan, “Setiap revolusi teknologi melalui fase kegilaan, ditandai oleh spekulasi dan kelebihan.”

Sundar Pichai, bos Alphabet menjadi salah satu tokoh besar yang terang-terangan memperingatkan potensi gelembung. Ia menyoroti investasi yang mengalir sangat besar, kenaikan valuasi yang terlalu cepat, dan persaingan agresif dalam pengadaan chip, sementara pendapatan industri belum mengikuti kecepatannya.

Greater Fool Theory dapat menjelaskan tentang bagaimana investor membeli aset mahal karena yakin bisa menjualnya kepada “orang yang lebih bodoh” dengan harga lebih tinggi. Faktanya memang banyak investor masuk bukan karena yakin AI sudah matang, tetapi karena takut ketinggalan (FOMO) dari investor lain.

Pertempuran AI

Kompetisi industri Kecerdasan Buatan (AI) saat ini dapat digambarkan sebagai pertempuran yang sangat terkonsentrasi dan intens, didominasi oleh segelintir raksasa teknologi (Big Tech). Fokus utama persaingan telah bergeser dari sekadar membangun aplikasi menjadi penguasaan mutlak atas infrastruktur komputasi dasar dan pengembangan Model Bahasa Besar (LLM) atau Model Generatif yang menjadi fondasi teknologi AI modern.

Persaingan sengit ini terjadi di seluruh lapisan tumpukan AI (AI Stack), di mana perusahaan yang disebut Hyperscalers berupaya mendominasi dari hardware hingga software.

Di tingkat paling dasar, persaingan terjadi untuk Infrastruktur Dasar (Chip/Hardware). Nvidia, dengan dominasi signifikan pada pasokan chip GPU khusus (seperti seri H100), menjadi pemain yang paling krusial. Perusahaan seperti AMD dan Intel berusaha mengejar ketertinggalan dalam perebutan chip yang vital untuk pelatihan model AI masif.

Di atas lapisan hardware, raksasa seperti Microsoft (melalui Azure), Google (GCP), dan Amazon (AWS) bersaing di segmen Layanan Cloud, menawarkan sumber daya komputasi (termasuk akses ke GPU mahal) dan platform pengembangan kepada startup serta perusahaan.

Lapisan yang paling terlihat oleh publik adalah Lapisan Model (LLM), di mana terjadi perlombaan untuk menciptakan model generatif tercanggih yang menjadi “otak” aplikasi AI. Di sini, persaingan utama melibatkan pemain seperti OpenAI (didukung Microsoft), Google (melalui DeepMind dan Model Gemini-nya), Meta (dengan Llama), dan Anthropic.

Mereka berlomba-lomba melatih model dengan skala parameter yang semakin besar, membutuhkan daya komputasi yang masif dan investasi besar-besaran. Dominasi Big Tech di seluruh lapisan ini menciptakan hambatan masuk yang sangat tinggi, menjadikan arena kompetisi AI modern sebagai pertarungan yang didorong oleh skala, kecepatan inovasi, dan penguasaan infrastruktur.

Indikator

Indikator pasar saat ini menunjukkan adanya pola yang mengkhawatirkan, menyerupai fase gelembung dalam sejarah teknologi, terutama dengan adanya valuasi yang melonjak tidak wajar. Banyak startup AI, bahkan yang belum memiliki produk matang atau pendapatan signifikan, berhasil meraih valuasi miliaran dolar.

Fenomena ini sejalan dengan Economic Bubble Theory, di mana harga didorong oleh spekulasi pasar dan bukan berdasarkan nilai riil atau fundamental bisnis. Selain itu, terjadi belanja infrastruktur masif—perusahaan menghabiskan dana fantastis untuk membeli chip super mahal (seperti yang diproduksi oleh Nvidia) dan membangun pusat data besar-besaran, seringkali tanpa proyeksi pendapatan yang jelas untuk menutupi biaya operasional yang sangat tinggi.

Kondisi ini diperparah oleh biaya operasional yang jomplang dibandingkan pendapatan, membuat banyak perusahaan “membakar uang” tanpa model monetisasi yang terbukti stabil untuk AI generatif. Biaya untuk membeli listrik yang memasok energi bagi pusat-pusat data yang begitu besar dan mahal. Belum lagi ditambah dengan teknologi pendinginan yang dibutuhkan di data center kian menambah bengkaknya biaya operasional.

Selain aspek finansial, sinyal pembentukan gelembung juga terlihat dari perilaku industri dan narasi publik. Terdapat hype berlebihan di media dan investor, ditandai dengan kecenderungan banyak perusahaan mencantumkan label “AI-powered” hanya demi terlihat modern, mengingatkan pada euforia dotcom yang serba “.com”.

Secara struktural, industri menunjukkan ketergantungan tinggi pada sedikit pemain kunci seperti Nvidia, OpenAI, Google, dan Meta, sehingga guncangan pada salah satu vendor dapat mengimbas seluruh rantai pasok dan inovasi. Puncak dari semua indikator ini adalah janji-janji yang tidak realistis yang beredar luas, seperti narasi bahwa AI akan segera menggantikan semua profesi.

Menurut model Gartner Hype Cycle, ekspektasi yang tidak realistis ini menempatkan AI pada fase Peak of Inflated Expectations (puncak ekspektasi yang berlebihan), fase yang biasanya disusul oleh periode koreksi dan kekecewaan.

Pemenang dan Pecundang

Jika gelembung AI benar-benar meletus, lanskap teknologi kelak akan mengalami perubahan drastis, menyisakan pemenang yang lebih kuat dan pecundang yang tersingkir. Ini bukan hanya tentang runtuhnya valuasi, tetapi juga penataan ulang fundamental dalam cara industri AI beroperasi.

Para pemenang dari letusan gelembung AI kemungkinan besar adalah entitas yang memiliki fondasi kuat dan realistis sejak awal. Tentu saja pertama adalah Big Tech. Perusahaan seperti Google (Alphabet), Microsoft, Amazon, dan Meta, dengan cadangan kas triliunan dolar, infrastruktur cloud yang masif, dan ekosistem pelanggan yang luas, akan memiliki daya tahan untuk melewati “musim dingin” AI.

Mereka mungkin akan kehilangan valuasi di pasar saham, tetapi kemampuan mereka untuk terus berinvestasi, menyerap talenta dari startup yang runtuh, dan mengintegrasikan AI ke dalam produk inti mereka akan memungkinkan mereka bangkit lebih kuat. Mereka akan membeli startup yang murah atau sekadar menunggu badai berlalu.

Lalu, startup atau perusahaan AI yang sudah memiliki produk yang terbukti menghasilkan pendapatan stabil dan memecahkan masalah nyata pelanggan akan lebih mungkin bertahan. Mereka tidak bergantung pada hype atau putaran pendanaan spekulatif, melainkan pada nilai yang mereka berikan. Misalnya, perusahaan yang menawarkan solusi AI spesifik untuk optimasi industri atau peningkatan efisiensi yang terukur.

Selama AI masih terus berkembang, bahkan jika hype mereda, kebutuhan akan daya komputasi akan tetap tinggi. Nvidia, sebagai pemasok utama chip GPU yang vital, akan tetap relevan dan dibutuhkan, meskipun mungkin menghadapi tekanan harga atau volume jika investasi startup melambat. Mereka adalah penyuplai “sekop” dalam “demam emas” AI.

Sedang yang menjadi pecundang dan harus menyingkir di antaranya startup “Me-too” dan “Hype-driven”. Mereka adalah perusahaan pemula yang muncul hanya karena “demam AI” tanpa produk yang benar-benar inovatif, model bisnis yang jelas, atau pendapatan yang stabil akan menjadi yang pertama runtuh. Mereka yang valuasinya meroket hanya berdasarkan janji, bukan nilai riil, akan kesulitan mendapatkan pendanaan lanjutan dan akhirnya bangkrut.

Di level pendanaan para investor yang terburu-buru menanamkan modal besar ke startup AI dengan valuasi tinggi hanya karena takut ketinggalan (FOMO) akan menderita kerugian besar. Dana Ventura yang terlalu agresif dalam memberikan valuasi tinggi pada fase awal juga akan merasakan dampaknya.

Termasuk pula perusahaan lama yang mencoba melompat ke kereta AI tanpa strategi yang matang atau kemampuan untuk mengintegrasikan AI secara efektif juga bisa kesulitan. Mereka mungkin telah berinvestasi besar pada teknologi AI yang akhirnya tidak memberikan hasil seperti yang dijanjikan.

Plus, “One-Trick Pony” alias perusahaan rintisan yang hanya fokus pada satu fitur AI yang bisa dengan mudah direplikasi atau diintegrasikan oleh raksasa teknologi akan sangat rentan. Begitu Big Tech meluncurkan fitur serupa secara gratis atau lebih baik, nilai produk mereka akan hilang.(*)

BACA JUGA: Jeff Bezos Terjun ke Persaingan AI Lewat Project Promotheus

Back to top button