Sosok Ma Hj. Cammana, Maestro Seni Rebana Parrawana yang Telah Berpulang
Betapa Cak Nun yang mendengar lantunan syair dan tabuhan rebana Cammana langsung terpaut hatinya. Ma Hj. Cammana, maestro penabuh rebana dari Polewali Mandar itu sepanjang hayatnya melakukan syiar Islam memalui seni parrawana yang kuno, kini telah berpulang ke haribaan-Nya.
Jernih — Mendengar tabuhan rebana mengiringi lantunan syair-syair bahasa Mandar berisi nasihat dan ajaran agama Islam bukanlah suatu hal yang terlalu sulit di temui di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Acara pernikahan, khitanan, selametan rumah baru, peringatan Maulid Nabi, syukuran khatam Qur’an, atau kegiatan lainnya adalah panggung bagi parrawana, sebutan untuk penabuh rebana khas suku Mandar.
Tidak ada keterangan pasti mengenai kapan awal mula kesenian ini berkembang di Mandar. Sebuah film dokumenter berjudul Pecinta Nabi, Cammana Penabuh Rebana produksi Studio Teluk Mandar, Komunitas Seni Tradisi Assamalewuang, dan Komunitas Indie Tia diunggah di kanal YouTube Muhammad Ridwan pada 12 April 2019 memuat informasi tentang kesenian khas Mandar ini dan mengupas kisah Ma Hj. Cammana yang merupakan maestro parrawana Mandar.
Kesenian ini awal mulanya dikembangkan oleh K.H. Muhammad Tahir atau lebih dikenal dengan nama Imam Leppo (1839-1952). Tokoh ini diyakini sebagai wali yang menyebarkan agama Islam di Mandar. Ia banyak mengajarkan ilmu tasawuf melalui syair-syair yang ia gubah. Syair-syair tersebut dilantunkan sambil diiringi tabuhan rebana.
Ia tak hanya menciptakan pola tabuhan rebana dan menggubah lirik lagunya, namun juga mengajarkan kesenian sufistik tersebut pada murid-muridnya. Baik laki-laki maupun perempuan boleh memainkan kesenian ini. Penabuh rebana sekaligus nama kesenianya disebut parrawana. Semetara kegiatan menabuh atau bermain rebananya disebut marrawana dalam bahasa Mandar.
Meski laki-laki dan perempuan boleh memainkan kesenian ini, namun, ada beberapa perbedaan di antara keduanya. Salah satunya pola tabuhan. Ada pola tabuhan khusus penabuh perempuan, ada pula yang khusus penabuh laki-laki.
Pola tabuhan laki-laki biasanya lebih rampak, beberapa rebana ditabuh dengan pola yang sama. Sedangkan pola tabuhan perempuan, antara satu rebana dan yang lainnya ditabuh dengan pola yang berbeda sehingga menghasilkan harmoni.
Selain itu, penabuh laki-laki biasanya mengiringi arak-arakan saeyyang patuqdu atau kuda menari dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad saw. Sementara, bagi parrawana perempuan, hal ini tidak dibolehkan.
Dalam sekali tampil, parrawana perempuan biasanya berjumah empat hingga tujuh orang. Tetapi, satu kelompok parrawana bisa beranggotakan banyak sekali personel. Hal semacam ini merupakan sesuatu yang lumrah dalam kesenian tradisi sebab keanggotaan kelompok biasanya longgar dan terdiri atas keluarga dan tetangga. Hal ini pula yang terjadi di kelompok pimpinan Amma Hj. Cammana, “Parrawana Towaine”, nama yang berarti penabuh rebana perempuan.
Perempuan yang lahir tahun 1935 ini telah mempelajari parrawana sejak duduk di bangku Sekolah Rakyat. Ayahnya adalah seorang seniman parrawana yang juga guru silat dan guru mengaji. Sementara ibunya adalah seorang seniman kecapi yang juga tokoh spiritual yang dipercaya masyarakat.
Warisan bakat seni, ilmu agama, dan kedalaman spiritual dari kedua orang taunya melekat di darah Cammana. Selain dikenal sebagai maestro parrawana, ia juga dikenal sebagai tokoh spiritual yang kerap kali didatangi warga untuk berbagai keperluan.
Sebagaimana seniman tradisi pada umumnya, Cammana dan kelompoknya hidup dari panggung ke panggung. Diakuinya, ia lebih suka manggung di rumah-rumah pada acara syukuran pernikahan, khitanan, dan berbagai hajat warga lainnya daripada di panggung sebuah acara khusus. Alasannya, bermain di rumah lebih bebas. Tidak ada batasan durasi waktu tampil yang ketat. Suasananya pun dirasa lebih cair dan hangat.
Dari berbagai pengalamannya marrawana dari panggung ke panggung, satu momentum yang ia rasa berdampak besar pada hidupnya adalah perjumpaannya dengan budayawan kondang Emha Ainun Najib atau yang lebih akrab disapa Cak Nun.
Perjumpaan keduanya terjadi pada tahun 1990-an dalam sebuah acara kesenian yang digagas kelompok Teater Flamboyan. Cak Nun yang mendengar lantunan syair dan tabuhan rebana Cammana langsung terpaut hatinya.
Syair-syair sufistik berisi pujian pada Allah SWT, pada Nabi Muhammad saw, saripati ajaran Islam, nasihat, dan do’a yang digubah sendiri oleh Cammana mampu mengetarkan hati Cak Nun. Setelah perjumpaan pertama itu, Cak Nun menggagas ide untuk merekam suara emas Cammana di sebuah studio musik di Yogyakarta.
Sejak saat itu nama Cammana, yang dianggap ibu oleh Cak Nun, kelompok musiknya Kyai Kanjeng serta kelompok Maiyahnya dikenal tidak hanya di Sulawesi Barat. Kiprahnya melestarikan seni parrawana yang juga merupakan media syiar Islam semakin dikenal luas.
Beberapa penghargaan pun pernah diraihnya, di antaranya Anurah Sipakaraya (2009), Tipalayo Award (2009), Tanda Kehormatan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden RI (2010), dan beberapa penghargaan lain baik dari pemerintah maupun swasta.
Kini, tugas Amma Hj. Cammana telah usai. Diberitakan Kumparan, Cammana meninggal dunia. Ia tutup usia pada Senin (7/9/2020) di kediamannya di Kelurahan Limboro, Kecamatan Limboro, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat pukul 15.15 WITA pada usia 85 tahun.
Selamat jalan, Amma Cammana. Perjuangan dan karya-karyamu akan selalu dikenang dan dilestarikan. [ ]