Takasago Giyutai, Pasukan Dai Nippon Etnis Pribumi Taiwan Pembunuh Daan Mogot
- Warga Tangerang menyebutnya Pasukan Santu
- Tidak diketahui berapa jumlah Takasago Giyutai di Indonesia.
- Orang Tangerang tahu mereka bukan orang Jepang, tapi pribumi Taiwan. Tapi warga menganggapnya orang Cina.
- Warga dendam terhadap mereka, yang dilanpiaskan penduduk kepada Cina Benteng. Terjadilah Peristiwa Gedoran
Ketika mendarat di Pulau Jawa, tidak seluruh pasukan Dai Nippon adalah orang Jepang. Sekitar tiga ribu adalah orang Korea. Sebagian kecil lainnya, jumlahnya tak diketahui, adalah pribumi Taiwan.
Khusus yang terakhir, literatur militer Jepang menyebut mereka Takasago Giyutai. Entah mengapa penduduk Desa Lengkong, Desa Sampora, dan Desa Situgadung di Tangerang Selatan dan Kabupaten Bogor menyebut mereka Pasukan Santu.
Takasago Giyutai atau Pasukan Santu adalah korps di dalam Tentara Jepang yang terlupa. Berbeda dengan Tentara Korea, Takasago Giyutai atau Pasukan Santu relatif tidak pernah disebut. Padahal, mereka terlibat dalam Peristiwa Lengkong yang menewaskan Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo, Letnan Soebijanto Djojohadikusumo, serta 33 taruna Akademi Militer Tangerang.
Takasago adalah kata kuno dalam Bahasa Jepang untuk menyebut Taiwan. Giyutai adalah relawan.
Tidak sulit melacak nama Takasago Giyutai di Google. Sejak 1974, setelah penduduk Morotai menangkap Nakamura Akio — tentara Jepang terakhir yang menolak menyerah dan masuk ke dalam hutan — penelitian terhadap Takasago Giyutai dimulai dan menghasilkan banyak tulisan menarik.
Nama Pasukan Santu relatif hanya dikenal warga Desa Lengkong dan sekitarnya di Tangerang. Nama ini muncul dalam tulisan Muhammad Reza Zaini berjudul Perjalanan Menjadi Cina Benteng: Studi Identitas Etnis di Desa Situgadung halaman 101. Lebih jelasnya, pada bagian yang mengulas tentang Peristiwa Gedoran.
Pasukan Barbar dari Taiwan
Pasukan Santu atau Takasago Giyutai tiba di Tangerang tak lama setelah Jepang menduduki Pulau Jawa. Sebuah barak dibangun di Desa Lengkong, tak jauh dari Desa Sampora dan Situgadung.
Sebutan lain yang digunakan penduduk Desa Lengkong, Desa Sampora, dan Desa Situgadung, untuk Pasukan Santu adalah Pasukan Cina. Penamaan yang tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar.
Pasukan Santu atau Takasago Giyutai berasal dari Taiwan. Mereka adalah penduduk asli Taiwan, yang tidak mengidentifikasi diri sebagai Cina atau Tionghoa. Mereka lebih suka mengidentifikasi diri sesuai etnis; Bunun, Amis, Atalay, dan lainnya.
Usai Perang Cina-Jepang Pertama, Dinasti Ching melepas Taiwan ke Jepang. Orang-orang Han, atau penduduk Tionghoa, di Taiwan terus melakukan perlawanan. Di pedalaman Taiwan, penduduk asli menyambut kedatangan ‘penjajah’ Jepang dengan suka cita.
Setelah pemboman Pearl Harbour yang menandai Perang Pasifik, Jepang merekrut penduduk asli Taiwan untuk menjadi bagian pasukan Dai Nippon. Lin Poyer dan Futuru C.L. Tsai, dalam Wartime Experiences and Indigenous Identities in the Japanese Empire, memperkirakan jumlah mereka mencapai 8.000.
Mereka dibentuk antara 1941 sampai 1942, terdiri dari delapan korps. Sebagai relawan, mereka bertugas pembawa perangkat perang, atau sibuk di dapur barak pasukan. Namun, Huang Chich-huei — dalam tulisan The Yamatodamashi of the Takasago Volunteers of Taiwan, mengatakan mereka juga terlibat dalam pertempuran.
Takasago Giyutai disebar ke hampir semua meda tempur Perang Pasifik; Kepulauan Solomon, Papua Nugini, Papua, dan Filipina. Di Filipina, sebelum Jepang membentuk pasukan Kamikaze, Takasago Giyutai membentuk pasukan bunuh diri untuk menghambat gerak maju sekutu di Pulau Leyte, Filipina.
Takasago Giyutai mungkin pasukan Kekaisaran Dai Nippon non Jepang paling setia. Mereka menggunakan nama-nama Jepang, berbicara dalam Bahasa Jepang, dan melakukan ritual Shinto sebagai kesetiaan kepada Kaisar Hirohito.
Sebelum mengalami Nipponisasi, atau di-Jepang-kan, suku-suku asli Taiwan yang tergabung dalam Takasago Giyutai dalah orang-orang barbar. Mereka tak berpendidikan sama sekali. Satu-satunya pendidikan yang mereka peroleh adalah pendidikan militer di Nakano Academy.
Tidak ada catatan berapa jumlah Takasago Giyutai yang ditempatkan di Pulau Jawa. Literatur militer Jepang juga tidak mencatat keterlibatan mereka dalam operasi militer di wilayah Indonesia.
Yang juga tidak diketahui adalah dari delapan korps Takasago Giyutai, korps berapa yang ditempatkan di Desa Lengkong, Tangerang. Yang pasti, sejak tiba tahun 1942, Takasago Giyutai atau Pasukan Santu tidak pernah terlibat dalam operasi militer.
Muhammad Reza Zaini menulis selama berada di Desa Lengkong, Pasukan Santu terkenal sangat kejam kepada penduduk lokal. Penduduk tahu mereka bukan orang Jepang, tapi berasal dari Taiwan. Yang penduduk lokal, terutama pribumi, ketahui adalah Taiwan bagian dari Cina.
RHA Saleh, dalam Akademi Militer Tangerang dan Peristiwa Lengkong, menulis kebencian pribumi Tangerang memuncak dan menimbulkan pemberontakan jelang akhir pendudukan Jepang di Indonesia. Pemberontakan yang dengan mudah bisa dibinasakan Pasukan Santu.
Peristiwa Gedoran
Setelah Peristiwa Lengkong yang menewaskan Mayor Daan Mogot dan 33 taruna Akademi Militer Tangerang, Pasukan Santu melewati hari-hari mencekam. Laskar Rakyat bisa tiba-tiba menyerang, tapi itu tidak terjadi.
Setelah kedatangan tentara sekutu yang melucuti dan membawa mereka ke Jakarta, pribumi lokal dan Laskar Rakyat melampiaskan kebencian pada penduduk keturunan Tionghoa, atau Cina Benteng. Peristiwa Gedoran dimulai.
Gedoran berasal dari kata ‘gedor’ atau ketukan pintu sedemikian keras. Serangan terhadap rumah-rumah warga keturunan Tionghoa diawali dengan menggedor pintu. Peristiwa ini nyaris melanda seluruh warga keturunan Tionghoa di Desa Lengkong, Sampora, dan Situgadung.
Kesaksian seorang tokoh Perkumpulan Keagamaan dan Sosial Vihara Boen Tek Bio, dikutip Muhammad Reza Zaini dalam tulisannya, menyebutkan Peristiwa Gedoran dimulai dengan isu ketidak-setiaan warga keturunan Tionghoa terhadap Republik Indonesia. Isu lainnya, penurunan bendera Merah-Putih oleh sekelompok warga Cina Benteng.
Peristiwa Gedoran tidak hanya terjadi di tiga desa, tapi di seluruh desa di sekujur Tangerang. Yang membedakan pelaku gedoran bisa siapa saja, tidak hanya laskar rakyat tapi juga Laskar Hitam — pasukan jawara yang menjadi bagian Pemerintahan Bapak Rakyat Tangerang pimpinan Achmad Chairun.