Terkait Harga Regulasi Rapid Test, PERSI Minta Waktu Transisi
JAKARTA — Ditengah banyaknya himbauan untuk menghentikan rapid test massal yang dilaksanakan oleh pemerintah karena dinilai tidak efektif dan tidak tepat, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (RI) justru menetapkan regulasi harga tertinggi rapid test di rumah sakit.
Berdasarkan Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/2875/2020 yang ditandatangi oleh Direktur Jendral Pelayanan Kesehatan Kementrian Kesehatan, Bambang Wibowo, ditetapkan harga rapid test tertinggi sebesar 150.000 rupiah.
Namun Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) meminta waktu transisi untuk mengikuti aturan tersebut. Karena banyak rumah sakit yang sudah terlanjur membeli alat rapid test dari distributor dengan harga diatas 100.000 rupiah.
Regulasi harga rapid test dibahas dalam sebuah talkshow yang dilaksanakan pada Senin (13/7/2020) dari kantor Graha BNPB, Jakarta, pukul 12.00-12.30 WIB secara LIVE yang disiarkan melalui TV Pool dan Radio Pool, dengan narasumber dr. Tri Hesty Widyastoeti,Sp. M, MPH – Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan RI dan DR. Dr. Lia G. Partakusuma, Sp.PK, MARS, MM – Sekretaris Jenderal PERSI
dr. Hesty menjelaskan latarbelakang dikeluarkannya harga regulasi rapid test dari kementrian Kesehatan, karena adanya berbagai variasi harga di masyarakat. Dan masyarakat meminta penetapan harga.
Sehingga masyarakat tahu taksiran harga yang harus dibayar, dan ada kewajaran atau standar harga di masyarakat. “Tidak ada komersialisasi rapid test yang dirasa memberatkan masyarakat,” jelas dr. Hesty.
Harga 150.000 yang ditetapkan oleh Kemenkes sudah meliputi alat rapid, APD petugas, jasa layanan dokter, analis, dan jasa rumah sakit. dr. Hesty pun mengatakan “Harga modal rapid test ada yang dibawah 100, merk itu banyak sekali. Ada beberapa referensi merk.”
Harga tersebut berlaku untuk pasien mandiri. Tidak diperuntukan dalam program pemerintah atau screening.
PERSI merespon baik kebijakan tersebut. Namun Dr. Lia mengatakan yang perlu ditekankan dalam test tersebut adalah pemeriksaan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Dengan meyakinakan seseorang yang berpotensi dengan cara mendeteksi kemudian mengisolasi, dan memutus rantai penularan.
Ketika kasus Covid-19 muncul pertamakali di Indoneisa, PERSI tidak memiliki pilhan. Permintaan tes dimasyarakat tinggi, sementara supplier alat tes terbatas. Sehingga terjadi lonjakan harga rapid tes, dan mencemaskan masyarakat. Masyarakat membutuhkan rapid test sebagai syarat untuk berpergian.
Dr. Lia menerangkan pemeriksaan rapid test di Rumah Sakit terdiri dari berbagai komponen. Pertama harga reagen, jika ingin memanfaatkan reagen maka harus disediakan jarum suntik, selama ini menggunakan serum antibody karena dianggap memilki sensitifitas paling tinggi karena ada di ujung jari, alcohol, kapas, dan petugas yang menggunakan APD.
Rumah Sakit bersedia untuk mengikuti peraturan tersebut. PERSI sudah menghimbau untuk mengikuti intruksi tersebut. Sementara rumah sakit yang sudah terlanjur membeli alat rapid test dengan harga tinggi, meminta waktu transisi.
Namun PERSI tidak dapat memberi sanksi terhadap RS yang tidak mengikuti aturan. PERSI hanya menghimbau untuk mengikuti aturan dari kementrian Kesehatan.
“Rumah sakit kaget, tiba-tiba ada aturan yang dikeluarkan tapi RS belum siap, tapi memang harus ada patokan, agar terkendali, tapi mungkin harus ada masa transisi.”kata Dr. Lia.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengeluarkan paroduk rapid test dengan harga 75.000 rupiah, setengah dari harga regulasi. Harga tersebut dianggap membantu proses percepatan harga regulasi rapid test, dan disambut baik oleh PERSI.
“Rumah sakit bersedia mengikuti peraturan yang ada asal harga dari distributor terjangkau, apalagi jika pemerintah dapat membantu. Luar biasa peraturan tersebut akan didukung. Tapi RS tetap meninta masa transisi, dan kepada masyarakat mohon untuk tidak berfikir rumah sakit mencari untung, jika menemukan harga rapid test diatas harga regulasi tersebut.” Papar Dr.Lia. [*]