Crispy

The Cursed (2025): Godaan yang Mengutuk, Keinginan yang Menghancurkan

Film The Cursed (2025) adalah cermin gelap tentang manusia modern yang rela menjual jiwanya demi keinginan yang tak pernah cukup. Di balik teror supernatural, film ini menyimpan sindiran tajam terhadap obsesi manusia pada citra, popularitas, dan ambisi instan.

JERNIH –  Ada sesuatu yang menakutkan dalam keserakahan manusia—dan The Cursed (2025) menangkap itu dengan cara yang indah sekaligus mengerikan. Disutradarai oleh Hong Won-ki, film ini membawa penonton masuk ke dunia “gwisi,” sebuah pasar gaib di mana manusia bisa membeli apa pun yang mereka inginkan—uang, kecantikan, ketenaran, bahkan masa depan anak mereka. Tapi seperti setiap transaksi dengan kegelapan, ada harga yang harus dibayar, dan harga itu tidak pernah ringan.

Sejak menit pertama, atmosfer film terasa tegang dan mencekam. Warna-warna kelam, pencahayaan lembut yang kontras dengan wajah para tokohnya, serta pergerakan kamera yang lambat namun pasti, membuat penonton terperangkap dalam dunia yang terasa nyata sekaligus menakutkan.

Setiap karakter datang dengan luka dan ambisi masing-masing. Ada Dong-sik, detektif yang dikejar masa lalu. Ada Chae-won, perempuan yang terobsesi pada kecantikan. Ada Mi-yeon, penulis yang ingin sukses dengan cepat. Mereka semua bertemu dalam satu benang merah: godaan untuk memiliki lebih dari yang seharusnya.

Cerita film ini tidak bertele-tele. Dalam waktu sekitar 96 menit, semuanya disusun rapat dan efisien. Tidak ada adegan sia-sia. Setiap dialog, setiap sorot mata, membawa makna. Ketegangan dibangun pelan tapi stabil—bukan lewat teriakan atau loncatan tiba-tiba, melainkan lewat rasa gelisah yang tumbuh dari keputusan-keputusan kecil yang keliru. The Cursed (2025) tidak menakuti dengan cara murahan; ia menakuti dengan cara yang halus dan manusiawi.

Yang membuat film ini menonjol adalah kemampuannya menggabungkan horor dengan refleksi sosial. “Gwisi” bukan sekadar konsep fantasi, tapi metafora dari dunia kita sekarang—di mana manusia rela menggadaikan nilai dan moral demi validasi cepat. Media sosial, obsesi terhadap penampilan, dan tekanan untuk terlihat sempurna menjadi kutukan modern yang tak kalah mematikan dari iblis mana pun.

Sinematografi

Sinematografinya pantas diapresiasi. Banyak adegan yang difilmkan dengan sudut pandang tetap (locked-off shot), menciptakan rasa dingin dan ketidakberdayaan yang menggigit. Cahaya dan bayangan dipakai bukan hanya untuk estetika, tapi juga sebagai bahasa emosi.

Di bagian akhir, film ini mencapai puncaknya—brutal, indah, dan tragis sekaligus. Saat semua rahasia terbuka, penonton tidak hanya terkejut, tapi juga merenung: sampai di mana batas manusia dalam mengejar keinginan?

Dialog-dialognya sederhana, namun mengandung makna dalam. Salah satu kutipan yang paling membekas adalah ketika salah satu karakter berkata, “Setiap keinginan punya harga. Yang menakutkan bukan harga itu—tapi kenyataan bahwa kita tetap mau membayarnya.”

Kalimat itu menggambarkan inti dari film ini dengan sempurna. The Cursed (2025) bukan hanya cerita tentang kutukan, tapi tentang keputusan manusia yang membawa kutukan itu sendiri.

Sebagai film horor, ia berhasil menghadirkan ketegangan yang elegan. Sebagai karya sinema, ia memberikan refleksi sosial yang relevan. Dan sebagai pengalaman menonton, ia meninggalkan jejak panjang di benak penontonnya.

Hong Won-ki tidak sekadar membuat film menakutkan; ia membuat cermin—dan saat kita menatap ke dalamnya, yang kita lihat bukan monster atau arwah, tapi diri kita sendiri.

Terlalu Bersih

Meski kuat dalam ide dan pesan, film ini tidak tanpa cela. Beberapa bagian di pertengahan terasa melambat; ritme yang awalnya intens sedikit menurun karena repetisi adegan introspektif. Beberapa subplot—terutama kisah sampingan dua karakter minor—terasa belum tergarap tuntas, seakan hanya berfungsi sebagai penguat tema, bukan sebagai bagian integral dari narasi.

Secara visual, ada juga kritik bahwa tampilannya “terlalu bersih” untuk ukuran film horor. Atmosfernya memang mencekam, tapi tidak selalu “menghantui.” Penonton yang mengharapkan teror mentah mungkin merasa film ini lebih seperti drama psikologis daripada horor murni.

Meski begitu, kelemahan ini justru menjadi bagian dari karakternya. The Cursed (2025) tidak mencoba menjadi film horor yang mengandalkan kejutan; ia memilih jalan yang lebih pelan dan reflektif. Teror datang bukan dari luar layar, tapi dari dalam kepala penontonnya.

Film ini berdiri di antara versi-versi sebelumnya yang membawa nama serupa. Pada tahun 2021, muncul The Cursed atau Eight for Silver, sebuah horor gotik dengan nuansa kelam dan latar sejarah yang mengisahkan kutukan berdarah, makhluk menyerupai werewolf, dan dendam masa lalu. Film tersebut banyak dipuji karena atmosfernya yang gelap, penggunaan cahaya dan bayangan yang artistik, serta pendekatan mitologi yang menarik.

Ada juga film The Cursed Tapes (2025) yang mencoba menghidupkan kembali nuansa horor era VHS melalui gaya found footage, tetapi eksekusinya dianggap kurang solid dan gagal memberikan ketegangan yang berkesan. Dalam konteks ini, The Cursed (2025) versi Hong Won-ki tampil lebih segar dan modern, menggeser konsep kutukan klasik menjadi refleksi sosial yang relevan dengan era digital—menjadikannya evolusi yang menarik dari warisan film-film “terkutuk” sebelumnya.(*)

BACA JUGA: The Conjuring : Last Rites, Perpisahan Emosional dan Pendapatan Memukau

Back to top button