Crispy

Turki Batalkan Standarisasi Doner Kebab di Eropa

Siapa pemilik sah kebab döner? Turki yang melahirkan, atau Jerman yang membesarkan? Pertarungan identitas kuliner ini menyeret Uni Eropa ke meja panas, memicu perdebatan tentang tradisi, migrasi, dan rasa kebangsaan yang dibungkus roti pipih.

JERNIH – Upaya Turki untuk memaksa kedai kebab di Uni Eropa tunduk pada aturan ketat tentang cara membuat döner resmi kandas di tengah jalan.

Seandainya lobi Turki untuk mendapatkan label “Keistimewaan Tradisional Terjamin” berhasil, sederet pembatasan ketat akan berlaku—mulai dari jenis daging, ketebalan irisan, sampai bumbu marinasi.

Kebab dalam bahasa Turki berarti daging yang dipanggang. Jadi “kebab” bisa merujuk ke banyak jenis masakan berbahan daging, bukan hanya yang ditusuk atau dipanggang vertikal. Döner berarti “berputar” dalam bahasa Turki. Jadi doner kebab salah satu jenis kebab khas Turki, yang dimasak dengan tusukan daging vertikal berputar.

Di Jerman doner kebab mengalami evolusi. Di negeri ini sering disajikan dengan roti pipih (flatbread/pide atau döner tasche) plus sayuran segar dan saus—ini yang kebanyakan orang kenal sebagai “kebab” jalanan.

Namun, usaha itu akhirnya runtuh setelah menuai protes keras, terutama dari industri kebab Jerman yang merasa “kebab versi mereka” sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas nasional.

Döner klasik Turki memang memiliki sejarah panjang. Cara memanggang daging di atas rotisserie vertikal sudah ada sejak abad ke-16, dan nama döner sendiri lahir dari teknik itu. Bagi Ankara, kebab bukan sekadar kuliner; ia adalah warisan budaya yang menyebar bersama diaspora Turki ke jantung Eropa.

Namun, Jerman punya cerita lain. Versi kebab yang dijajakan di jalan-jalan Berlin atau Hamburg telah berevolusi: daging sapi muda dalam roti pipih, dilengkapi sayuran segar—kubis merah, acar, bawang—dan saus melimpah. Varian ini begitu populer hingga dianggap sebagai “hidangan nasional baru” Jerman, tak kalah penting dari bratwurst.

Federasi Döner Internasional Turki (Udofed) mengajukan permintaan kepada Uni Eropa: aturan seragam yang mewajibkan penggunaan daging sapi berusia di atas 16 bulan, domba minimal enam bulan, atau ayam dari bagian paha dan dada. Daging sapi muda dan kalkun dilarang keras. Bahkan, ketebalan irisan daging dibatasi 3–5 mm, jenis pisau diatur, dan marinasi harus sesuai standar resmi.

Syarat itu kontan memicu gelombang keberatan. Industri kebab Jerman, yang mempekerjakan sekitar 60.000 orang dan memproduksi 400 ton kebab per hari, menolak mentah-mentah. Nilai ekonominya pun bukan main: 3,5 miliar euro (sekitar Rp  68,5 triliun) di seluruh Eropa, dengan 2,4 miliar euro (sekitar Rp 46,9 triliun) hanya di Jerman.

“Döner itu milik Jerman,” ujar Cem Özdemir, mantan Menteri Pangan dan Pertanian Jerman yang juga berdarah Turki. Pernyataannya seolah menegaskan klaim bahwa kebab di Jerman telah menjelma identitas baru, tak bisa lagi dikontrol Ankara.

Pada akhirnya, setelah tarik-menarik politik dan budaya, Federasi Turki menarik kembali permohonannya pada 23 September. Seorang pejabat Uni Eropa bahkan menyebut, tawaran itu memang sudah mengarah pada penolakan.

Sebuah pertanyaan pun menggantung di udara: Apakah döner akan tetap menjadi simbol diaspora Turki di Eropa—atau justru metamorfosisnya di Jerman menandai lahirnya kebab versi Eropa yang tak bisa lagi diikat oleh tradisi asalnya?(*)

BACA JUGA: Turkiye dan Jerman Berseteru Soal Kebab, Komisi Eropa Paksa Keduanya Bersepakat

Back to top button