Usman Hamid : Presiden Jokowi dan Gubernur Ganjar Harus Bertanggung Jawab Atas Konflik Desa Wadas
Sebab perbedaan di kalangan warga yang disebut-sebut sebagai pemantik awal kericuhan di Desa Wadas, dipicu kebijakan pemerintah yang terburu-buru memaksakan PSN tanpa partisipasi dan konsultasi, apalagi persetujuan dari seluruh warga desa.
JERNIH-Hingga saat ini, memang sulit betul menerima argumen bahwa konflik yang terjadi di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, dipicu konflik antar warga yang bebeda sikap dalam merespon rencana pembanguan Bendungan Wadas. Di satu pihak menerima, di sisi lainnya menolak. Apalagi, jika dikatakan kalau pengerahan ribuan Polisi ke kawasan tersebut sudah sesuai prosedur yakni, mengawal tim dari Kantor Pertanahan setempat dalam melakukan pengukuran lahan.
Secara tertulis, memang betul begitu adanya. Tapi fakta di lapangan, intimidasi baik secara materil maupun moril serta aksi kekerasanlah yang terjadi. Dan ujungnya, Presiden Jokowi dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo-lah yang harus bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
Soalnya, rencana pembangunan Bandungan Bener dimasukkan ke dalam kategori proyek strategis nasional (PSN) yang direstui Ganjar sebagai penguasa setempat. Begitu kira-kira yang diutarakan Usman Hamid, Direktur Amnesti Internasional Indonesia dalam memandang konflik antara pemerintah melalui tangan aparat keamanan dengan warga Desa Wadas, pada Selasa (8/2) lalu.
Ada beberapa catatan penting yang diutarakan Usman dalam hal konflik tersebut. Pertama, pengerahan aparat Polisi bukan hanya tanggung jawab Pemerintah Daerah, namun juga Pemerintah Pusat yang dikendalikan Presiden Jokowi. Dan ini, merupakan tindakan berlebihan dan segala dampaknya melanggar prinsip demokrasi, kaidah negara serta penghormatan pada hak azasi manusia.
Dalam konferensi pers yang dilakukan secara virtual, pada Kamis (8/2), Usman mempertanyakan kebijakan pengerahan aparat tersebut. Betul, jika dikatakan dalam rangka melakukan pendampingan anggota BPN Jawa Tengah dalam pengukuran lahan. Namun bagaimana dengan intimidasi dan kekerasan yang terjadi di lapangan?
Apalagi, secara kasat mata, nampak betul jika pengerahan pasukan Polisi dimaksudkan mengamankan warga yang menolak rencana Pemerintah Pusat di kawasan tersebut, plus mengamankan pekerja bantuan hukum dari LBH Yogyakarta, termasuk juga Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih dan kalangan seniman. Dalihnya, sikap pendampingan telah menghalangi proyek Pemerintah.
“Semestinya (pengamanan) cukup dilakukan dengan jumlah terbatas, bukan dengan pengamanan sebuah operasi seperti pengepungan terhadap kelompok kelompok teroris,” kata Usman.
Dari situ, catatan penting kedua, Usman bilang, sulit sekali memegang penjelasan Menko Polhukam Mahfud MD kalau Polisi sudah bertindak sesuai prosedur guna menjamin keamanan masyarakat. Sebab yang sebetulnya dijamin, adalah pejabat negara yang turun ke lokasi.
Betul juga jika dikatakan tak ada penembakan yang dilakukan aparat Kepolisian, meski disebutkan beberapa warga yang menolak kedapatan membawa senjata tajam. Namun kekerasan petugas, terlanjur terjadi.
Makanya, sebagai catatan ketiga, ketika Menko Polhukam mengatakan kalau konflik yang terjadi di Desa Wadas sebagai persoalan horizontal yakni, antar warga yang pro dan kontra, itu tidak tepat. Yang benar menurutnya, konflik vertikal antara warga dan negara.
Sebab perbedaan di kalangan warga yang disebut-sebut sebagai pemantik awal kericuhan di Desa Wadas, dipicu kebijakan pemerintah yang terburu-buru memaksakan PSN tanpa partisipasi dan konsultasi, apalagi persetujuan dari seluruh warga desa.[]