UU Baru KPK, ‘Amunisi’ Koruptor Serang KPK?
JAKARTA – Revisi undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rupanya membuat lembaga anti rasuah itu lesuh terhadap Operasi Tangkap Tangan (OTT). Bahkan seolah membuat para koruptor kebal akan hukum.
Lihat saja, sejak UU No 19 tahun 2019 tentang KPK mulai berlaku pada 17 Oktober 2019. Hingga kini lembaga yang masih di pimpin Agus Rahardjo itu, belum juga menjerat para pelaku korup, bahkan belum membuka penyidikan baru, seperti sebelum-sebelumnya dilakukan.
Akibat undang-undang revisi itu, sejumlah pejabat yang ditahan KPK mencoba menggunakan sebagai ‘amunisi’ menyerang proses yang dilakukan lembaga anti rasuah itu.
“Sudah mulai ada pihak-pihak tertentu yang mencoba menggunakan undang-undang baru ini untuk ‘men-challange’ dan katakanlah berupaya membatalkan atau memiliki tujuan lain dari proses yang dilakukan oleh KPK,” ujar Juru Bicara KPK, Febri Diansyah di Jakarta, Senin (18/11/2019).
Oleh karena itu, pihaknya mempelajari pengaruh diberlakukanya UU No 19 tahun 2019. Sebab, ada beberapa hal disebut menimbulkan ketidakpastian. “Banyak memang kesimpangsiuran pemahaman dan indikasi ketidakpastian hukum dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019,” katanya.
Sebelumnya, Febri mengatakan ada 26 poin berpotensi melemahkan KPK dalam UU revisi tersebut. Salah satunya yakni penyadapan. Sebab ada enam tahapan yang harus dilalui, di antaranya dari penyelidik yang menangani perkara ke Kasatgas, Kasatgas ke Direktur Penyelidikan, Direktur Penyelidikan ke Deputi Bidang Penindakan, Deputi Bidang Penindakan ke Pimpinan, Pimpinan ke Dewan Pengawas, dan perlu dilakukan gelar perkara terlebih dahulu.
“Penyadapan jadi lebih sulit karena ada lapisan birokrasi,” kata dia.
Padahal sebelumnya, penyadapan hanya sampai tahap izin pimpinan. Akan tetapi saat ini harus seizin Dewan Pengawas, yang kini anggota Dewan Pengawas pun belum jelas. Baru akan ditunjuk dan dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 21 Desember 2019 bersamaan dengan Pimpinan baru KPK.
Akibat revisi UU, kemungkian OTT akan berkurang. Meski begitu KPK bakal lebih fokus pada kasus-kasus tertentu secara eksta yang nilai angka kerugian negara besar.
“Mungkin OTT-nya dikurangi. Tapi KPK justru mendalami kasus-kasus lebih besar, yang pasti perlu waktu lama,” ujar Ketua KPK, Agus Rahardjo beberapa pekan lalu.
Baru-baru ini, dua kewenangan KPK di soal, yakni adik eks Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardana (Wawan) dan bekas Menpora Imam Nahrawi.
Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, tim kuasa hukum Wawan menyinggung kapasitas pimpinan KPK yang tak lagi memiliki kewenangan melakukan penuntutan sebagaimana pada UU baru tersebut. Karena hanya pihak kejaksaan yang miliki kewenangan terhitung sejak diberlakukan tanggal 17 Oktober 2019 lalu.
Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 21 ayat (3) UU No 19 Tahun 2019. Pasal itu mengatur kedudukan pimpinan KPK sebagai pejabat negara yang tak memiliki kewenangan di tingkat penuntutan.
Seperti tim Wawan, kuasa hukum Imam Nahrawi menghadirkan ahli hukum pidana dari Universitas Bhayangkara, Solehudin dalam sidang praperadilan. Menurut Solehudin, berlakunya UU KPK yang baru membuat surat perintah penyidikan (sprindik) dan surat perintah penahanan (sprinhan) yang ditandatangani pimpinan KPK tidak berlaku.
Namun pendapat Solehudin dibantah ahli hukum dan tata negara Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Arif Setiawan yang dihadirkan KPK sebagai ahli saat itu.
Arif menilai sprindik yang diterbitkan KPK sebelum berlakunya UU KPK yang baru tetap sah. Namun, proses hukum yang dilakukan setelah UU baru berlaku, harus mengikuti aturan baru tersebut.
Karenanya, praperadilan yang diajukan Imam Nahrawi ditolak. [Fan]