“Saya tidak berpikir ini sejenis sandiwara,”kata Dershowitz tentang banyak upaya hukum dari tim hukum Trump, yang sekarang tersebar di seluruh negara bagian Georgia, Michigan, Nevada, Pennsylvania, dan Wisconsin. Bagi salah satu pengacara Trump itu, klaim hukum yang diajukan oleh Partai Republik sebagian besar masuk akal
JERNIH—Meski ‘Presiden terpilih Joe Biden’ menangguk suara lebih banyak dibanding Trump dalam Pilpres AS kemarin, posisinya belum sepenuhnya aman. Keadaan bisa berbalik menguntungkan Donald Trump jika hasil akhir Pilpres AS 2020 diputuskan di Kongres. Trump bahkan diprediksi eks profesor Harvard Law School, Alan Dershowitz, bakal mencuri kemenangan dari Joe Biden.
Oh ya, sebelum membaca lebih lanjut, perkenalkan, Dershowitz ini adalah anggota tim legal Donald Trump, yang ikut membela presiden yang sering bertindak acakadut itu saat sidang pemakzulan Trump di Senat AS, akhir Januari lalu.
“Saya pikir strategi tim kampanye Presiden AS Donald Trump bukanlah untuk mencapai 270 suara elektoral (suara minimum electoral college untuk menang Pilpres AS, red), tetapi untuk mencegah Joe Biden mencapai 270 suara elektoral,”ujar profesor Harvard Law School itu kepada Zenger News dalam sebuah wawancara video. Sebagai informasi, hingga saat ini capres Partai Demokrat Joe Biden telah mengantongi 306 suara elektoral dan diproyeksikan memenangkan Pilpres AS 2020, itu pun jika semua pemerintah 50 negara bagian mengesahkan total suara tidak resmi mereka, sebagaimana ditulis Newsweek.
“Saya tidak berpikir ini sejenis sandiwara,”kata Dershowitz tentang banyak upaya hukum dari tim hukum Trump, yang sekarang tersebar di seluruh negara bagian Georgia, Michigan, Nevada, Pennsylvania, dan Wisconsin. Dershowitz meyakini bahwa klaim hukum yang diajukan oleh Partai Republik sebagian besar masuk akal.
“Wakil Presiden Biden belum menjadi presiden terpilih. Dia belum mendapatkan 270 suara sah,”ujar Dershowitz, sebagaimana dilansir Newsweek.
Bagi dia, ada begitu banyak kemungkinan yang bisa terjadi, sehingga siapa pun yang memberi tahu publik dengan kepastian 100 persen bahwa mereka dapat memprediksi hasilnya, bagi Dershowitz berarti orang itu tidak berkata jujur.
Dershowitz berbicara mewakili presiden selama persidangan pemakzulan pada Januari 2020 dan mewakili sekumpulan pemilih partai Pemokrat di Palm Beach County, Florida, yang karena desain surat suara yang buruk telah secara keliru memilih Patrick Buchanan yang berhaluan konservatif alih-alih Al Gore dalam Pilpres AS 2000. Dershowitz belum berbicara dengan Trump dalam beberapa pekan terakhir, meskipun dia berkomunikasi dengan berbagai anggota tim hukum kampanye.
Dershowitz menguraikan skenario yang dia katakan memiliki “peluang yang sangat kecil untuk terjadi”, yang melibatkan para pejabat di beberapa negara bagian yang menyangkal memberikan Biden setidaknya 37 elektor secara keseluruhan dengan menolak untuk mengesahkan hasil pemungutan suara dalam Pilpres AS 2020 yang ditutup pada 3 November silam.
Hal itu, kata dia, hanya bisa berasal dari “badai sempurna penghitungan dan penghitungan ulang suara pemilih, serta mempersempit jumlah pemilih di setidaknya tiga negara bagian. Ini akan membutuhkan opini yudisial yang cenderung mendukung kemenangan Trump”.
Dershowitz mengatakan, beberapa tantangan Trump di pengadilan bisa memiliki pijakan hukum di Mahkamah Agung AS. Mayoritas hakim pengadilan tinggi Amerika itu menggambarkan diri mereka sebagai “penganut konstruksionis yang ketat”. Dan jangan lupa, kebanyakan mereka dipilih Trump. Artinya, mereka dipandu oleh makna sederhana dari redaksional kata-kata Konstitusi AS seperti yang umumnya dipahami saat mulai berlaku pada 1789. Konstitusi AS memberikan kewenangan tunggal kepada badan legislatif negara, bukan hakim atau pejabat lainnya, untuk menentukan aturan pemilihan.
Dalam kasus Pennsylvania, badan legislatif negara bagian mengadopsi undang-undang yang mengatakan bahwa tidak ada surat suara yang diterima setelah penutupan pemungutan suara pada Hari Pemilu tanggal 3 November yang berhak dihitung. Para hakim kemudian memutuskan bahwa surat suara yang tiba bahkan beberapa hari kemudian, atau tanpa cap pos atau alamat pengirim, harus dihitung, yang menimbulkan konflik yang jelas.
Mahkamah Agung AS, menurut Dershowitz, akan memihak badan legislatif negara bagian yang dipimpin Partai Republik dan mengutip bahasa harfiah Konstitusi sebagai dasar keputusannya. Membatalkan validasi banjir surat suara Pennsylvania yang datang terlambat, kata Dershowitz, akan mensyaratkan tim pengacara Trump untuk mengantongi kemenangan lewat jumlah suara di pihak mereka. Artinya, jumlah suara yang digugat harus melebihi margin kemenangan yang saat ini telah diraih Joe Biden.
Sejauh ini para pejabat Pennsylvania belum mengatakan berapa banyak surat suara yang tiba setelah pemungutan suara ditutup atau tanpa cap pos dan persyaratan lainnya, maupun berapa banyak dari surat suara itu yang memilih Trump atau Biden. “Mahkamah Agung tidak akan mengambil kasus ini kecuali jika ada keputusan tentang hasilnya,” kata Dershowitz, kepada Newsweek.
Hakim Agung Samuel Alito memerintahkan para pejabat Pennsylvania pada 6 November untuk memisahkan surat suara yang datang terlambat dari semua surat suara lainnya, sehingga memungkinkan untuk menghapus suara tersebut dari penghitungan suara akhir jika Mahkamah Agung memerintahkannya.
Dershowitz juga merujuk ke rekaman video yang menunjukkan para pengamat resmi pemilu Partai Republik di Philadelphia dipagari puluhan meter jauhnya dari meja penghitungan suara. Dershowitz mengatakan masih banyak waktu tersisa untuk “memperbaiki kesalahan” semacam itu.
“Pengadilan dapat mengatakan sekarang harus ada penghitungan ulang semua surat suara, dengan kehadiran para pengamat dan kamera video, sehingga setiap orang memiliki kesempatan untuk melihat di video bagaimana surat suara dihitung,” kata Dershowitz. “Kita tidak sedang membicarakan tentang pemungutan suara ulang pada saat ini. Kita sedang berbicara tentang penghitungan ulang. Penghitungan ulang adalah solusi tradisional.”
Perubahan mengejutkan yang berbeda, menurut Dershowitz, dapat mengubah struktur Konstitusi AS lebih ketat dari sebelumnya, jika Mahkamah Agung memutuskan banyak komputer pada Hari Pemilu “salah menghitung suara dan melakukannya dengan cara yang tidak memungkinkan untuk penghitungan ulang”.
“Jika ternyata benar-benar telah terjadi manipulasi terhadap berbagai komputer, disengaja atau tidak disengaja, yang dapat mempengaruhi ratusan ribu suara, itu akan mengubah segalanya. Demikian pula, bisa jadi akan ada kasus untuk pemilihan kembali, yang tidak pernah kita alami sepanjang sejarah.”
“Jika ternyata gangguan komputer mungkin benar-benar mengubah hasil suara di cukup banyak negara bagian untuk mengubah pemilu ke arah yang berbeda, kita akan benar-benar berada dalam krisis konstitusional. Artinya, kita harus melakukan suatu tindakan yang cukup dramatis untuk meluruskan proses pemilihan dengan tepat. Saya rasa, kita belum sampai ke kondisi itu.”
Banjir kasus hukum gugatan hasil pemilu sudah banyak diperkirakan terjadi, dimulai dengan Pennsylvania, Michigan, dan Nevada, bersama dengan penghitungan ulang di seluruh negara bagian di Georgia dan Wisconsin, pada hari-hari setelah liburan Thanksgiving pada Kamis, 26 November 2020, ketika para pejabat negara bagian menghadapi tekanan untuk mengesahkan hasil pemilu. Para elektor federal dari 50 negara bagian, yang disebut juga Electoral College, akan bertemu dan memberikan suara yang menentukan pemenang akhir Pilpres AS 2020 pada 14 Desember.
Strategi yang diuraikan Dershowitz mengharuskan beberapa elektor di negara bagian yang dimenangkan mantan Wakil Presiden AS Joe Biden untuk ditolak izin partisipasinya dalam pemungutan suara Electoral College, yang dikesampingkan karena ketidakmampuan atau keengganan para pejabat negara bagian untuk menyatakan siapa yang menang.
Selanjutnya, kemungkinan pemenang kursi kepresidenan pun bisa dipertimbangkan.
Jika Biden terbatas hingga 269 suara atau lebih sedikit ketika Electoral College bertemu, Amandemen ke-12 Konstitusi AS mengharuskan anggota Dewan Perwakilan Rakyat AS yang baru terpilih untuk segera bersidang dan menyelesaikan kebuntuan presiden AS berikutnya melalui “pemilihan kontingen”.
Hanya 50 suara akan diberikan di DPR AS, satu dari masing-masing delegasi negara bagian di Kongres AS. Partai Demokrat akan tetap menduduki lebih dari setengah dari semua kursi DPR, tetapi Partai Republik akan memegang mayoritas di 26 dari 50 delegasi, yang merupakan jumlah minimum yang diperlukan untuk memilih presiden.
Sebanyak 100 senator AS akan memilih wakil presiden dengan mayoritas sederhana. Jika DPR tetap macet selama berminggu-minggu pemungutan suara, pemilihan Senat untuk wakil presiden akan menjadi “penjabat presiden” mulai pada Hari Pelantikan. Kemungkinan besar sosok yang ditunjuk adalah Wakil Presiden AS saat ini Mike Pence.
Hasil jangka panjang itu bisa terwujud jika satu delegasi DPR yang dikendalikan Partai Republik tidak memilih Presiden AS Donald Trump. Negara bagian Montana, North Dakota, South Dakota, dan Wyoming hanya memiliki satu anggota DPR masing-masing, semuanya politisi Republik. Salah satu dari mereka dapat membuat kebuntuan pada serangkaian pemungutan suara DPR dengan berpindah pihak dan menolak memberikan delegasikan ke-26 kepada Trump hingga Hari Pelantikan.
Pence kemudian dapat pindah ke Gedung Putih, tetapi Senat AS tidak punya pilihan selain menyatakan cawapres Partai Demokrat Kamala Harris sebagai wakil presiden, karena dia adalah satu-satunya kandidat lain untuk jabatan itu yang dapat menerima suara elektoral berdasarkan Amandemen ke-12 Konstitusi Amerika.
Ketika ditanya apakah tim Trump telah kehabisan waktu untuk memanfaatkan celah hukum di Konstitusi AS, Dershowitz menegaskan bahwa “masih ada cukup waktu bagi pengadilan untuk menetapkan jadwal yang dipercepat” dan mendengarkan bukti dalam tuntutan hukum.
“Jika ada cukup bukti untuk maju ke persidangan, persidangan harus berlangsung sangat cepat. Namun, kita masih punya waktu hampir sebulan. Setidaknya tiga minggu. Saya sudah pernah melihat keajaiban pengambilan keputusan pengadilan dilakukan dalam tiga minggu,” kata Dershowitz. [Newsweek]