Darurat Kekerasan Seksual Tunggu Paripurna Berikutnya
Meski DPR sendiri banyak menuai kecaman lantaran dianggap lamban mengambil keputusan, Puan menjanjikan kalau di masa sidang mendatang, RUU ini segera disahkan sebagai RUU inisiatif DPR agar tahapannya menjadi Undang-Undang berjalan sesuai mekanisme yang ada.
JERNIH- Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), sudah menahun. Tapi DPR RI masih nanti-nanti menelurkan Undang-Undang soal ini.
Di Jawa Barat saja, sepanjang tahun 2021, jumlah kasus asusila naik cukup tajam. Berdasar catatan Kejaksaan Tinggi (Kejati) setempat, dari 11.191 perkara yang ditangani, 50 persennya merupakan TPKS. Lain lagi dengan data dari Komnas Perempuan. Sepanjang tahun 2019 saja, ada 431.471 kasus. Tentu, angka ini disebutkan naik 6 persen dari tahun sebelumnya yakni, 406.178 kasus.
Kepala Kejati Jabar, Asep N Mulyana mengatakan, angka ini tergolong tinggi ketimbang tahun sebelumnya. Makanya, setelah banyak pihak menyampaikan keprihatinannya atas kecenderungan kasus asusila yang meningkat bahkan mengkampanyekan kalimat Darurat Kekerasan Seksual, Asep juga mengatakan hal serupa.
Di internal Kejati Jabar, akhirnya dilakukan langkah antisipasi dengan membentuk tim khusus yang nantinya bertugas menangani perkara kesusilaan anak.
Tim tersebut, beranggotakan para Jaksa yang memiliki komitmen dalam nenangani perkara kesusilaan anak. Sebab Asep bilang, tak semua Jaksa mampu menangani perkara macam ini.
“Kami sedang mengoptimalkan dan meningkatkan kapasitas, profesionalitas, kemampuan para Jaksa. Jaksa yang menangani tindak pidana anak itu harus punya sertifikasi atau ketetapan tentang perlindungan Jaksa anak. Tidak semua Jaksa bisa menangani perkara anak,” kata dia.
Memang, akhir-akhir ini tren kejahatan kekerasan seksual terutama pada anak meningkat. Di Padang, Sumatera Barat saja, dua orang gadis kecil berusia 5 dan 7 tahun, diperkosa kakek, paman, kakak kandung, sepupu dan tetangganya secara bergiliran. Akibatnya, alat vital korban rusak dan ketika buang air kecil mengeluarkan darah serta ulat.
Belum lagi kasus seorang guru bernama Herry Wirawan yang menggagahi belasan muridnya. Dikabarkan, para siswi tersebut sampai mengandung dan melahirkan. Lebih parahnya lagi, bayi-bayi merah hasil perbuatan bejad itu dipaksa mendulang rupiah dengan jalan disewakan untuk mengemis.
Bukan cuma belasan muridnya yang digagahi Herry. Sepupu istrinya pun diperlakukan serupa hingga hamil juga.
Pada persidangan di Pengadilan Negeri Bandung, Kamis (30/12/2021) lalu, terungkap fakta bahwa Herry mencuci otak para korbannya termasuk istrinya sendiri ketika melakukan aksinya. Menurut saksi ahli yang dihadirkan, ada dampak dirusaknya fungsi otak sehingga orang tak bisa membedakan mana benar dan salah.
Akibat cuci otak yang dilakukan Herry, ketika dia memperkosa para korbannya, sang istri tak berdaya. Bahkan istrinya sempat mendapati pelaku sedang menyetubuhi korban.
“Boro-boro melapor, istrinya pun tidak berdaya. Jadi dia disuruh, ibu tinggal di sini. Bahkan mohon maaf, ketika istri pelaku mendapati suaminya kemudian pada saat malam tidur malam naik ke atas dan mendapati pelaku melakukan perbuatan tidak senonoh pada korban, dia tidak bisa apa-apa,” kata Asep.
Asep pun menegaskan, bahwa Herry melakukan aksinya dengan terencana. Termasuk cuci otak lewat iming-iming memeberikan sesuatu pada korbannya itu.
“Iya, sesuai keterangan ahli by design (direncanakan). Jadi bukan perbuatan insidentil, perbuatan semata-mata serta merta orang itu melakukan,” katanya.
Hukuman Kebiri
Lantaran korbannya berjumlah belasan bahkan hingga melahirkan, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti menilai kalau Herry Wirawan sudah memenuhi syarat untuk dijatuhi hukuman kebiri selain pidana penjara.
“Kalau menurut kami gini, ini memenuhi, satu, korbannya lebih dari satu. Yang kedua ini dilakukan berulang-ulang. Itu membuat boleh dihukum tambahan. Kebiri itu namanya hukuman tambahan. Hukuman tambahan kebiri,” kata Retno di Jakarta beberapa waktu lalu.
Hukuman tersebut, baru bisa diberikan setelah Herry menjalani hukuman pokok. Misalnya, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara. Nah setelah 20 tahun itulah, kebiri bisa langsung dilakukan.
Hingga saat ini, hukuman kebiri memang belum dilakukan di Indonesia, meski vonis yang dijatuhkan pernah ada. Eksekusi belum dilaksanakan lantaran terpidana harus menjalani hukuman pokoknya terlebih dulu.
“Untuk kasus sebelumnya kaya Mojokerto kena 12 tahun kalau gak salah, berarti dia 12 tahun dulu baru kena hukuman tambahan,” ungkap Retno.
Di lain sisi, anggota Komisi III DPR RI Asrul Sani mengatakan, kalau hukum positif di Indonesia sudah mengatur tentang hukuman kebiri. Dia bilang, pihaknya mendukung jika hakim menjatuhkan vonis tersebut pada terdakwa.
Yang Ditunda-tunda
Melihat maraknya kasus pencabulan yang terjadi akhir-akhir ini, dorongan segera disahkannya RUU TPKS muncul dari banyak pihak. Tapi sejak tahun 2020, DPR masih terus menunda disahkannya Rancangan Undang-Undang tersebut.
Sebenarnya, sudah tak ada lagi alasan bagi DPR untuk tidak mengesahkan RUU TPKS. Sebab, angka kejadian sudah di atas 400 ribu kasus. Ini artinya, kondisi sudah masuk ke dalam kategori darurat.
Sekretaris Jenderal Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI) Luluk Nur Hamidah menilai, selama ini substansi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tak cukup memberi perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Makanya, RUU TPKS menjadi sangat penting lantaran bersifat khusus (lex specialis).
Yang memprihatinkan, pada tahun 2020, RUU TPKS justru dikeluarkan dari daftar Program Legislasi Nasional. Penyebabnya, akibat adanya perbedaan ideologi antar anggota DPR hingga menyulitkan pengesahan RUU tersebut.
RUU TPKS juga sering dijadikan alat menaikkan popularitas partai. Caranya, dengan melontarkan isyu-isyu tak benar terkait substansi RUU tersebut demi mendapat simpati masyarakat. Lebih repot lagi, upaya meraih simpati itu dilakukan dengan mengedepankan hal yang sifatnya berbau kebohongan.
Berbagai label, istilah dan frasa keagamaan dimainkan untuk tujuan mendongkrak popularitas semata. Akhirnya, para korban kekerasan seksual malah terlantar sebab DPR selalu bersikap entar-entar.
Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan, lembaga ini tengah mengupayakan agar RUU tersebut segera disahkan menjadi Undang-Undang. Dia bilang, hanya menyisakan persoalan teknis dan waktu saja.
Meski DPR sendiri banyak menuai kecaman lantaran dianggap lamban mengambil keputusan, Puan menjanjikan kalau di masa sidang mendatang, RUU ini segera disahkan sebagai RUU inisiatif DPR agar tahapannya menjadi Undang-Undang berjalan sesuai mekanisme yang ada.
Dia juga menjanjikan kalau RUU TPKS segera disahkan, agar korban kejahatan seksual lebih mendapat jaminan hukum dan memperoleh keadilan. Makanya, dia juga berharap pemerintah bisa segera memproses surat Presiden setelah RUU ini disahkan sebagai inisiatif DPR sehingga pembahasan berjalan lancar.
“Perbuatan mereka sangat tidak berperikemanusiaan dan harus dihukum seberat-beratnya,” kata Puan.[Dari berbagai sumber]