Membangun Kembali Martabat Sunan Kuning
Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang, hari ini (Jumat, 18 Oktober 2019), resmi menutup Lokalisasi Pelacuran Sunan Kuning (SK). Rehabilitasi nama Sunan Kuning, pemimpin pemberontak Tionghoa-Jawa bergelar Sunan Amangkurat V dan penyebar Islam, dimulai.
Selama lebih setengah abad Lokalisasi SK adalah bagian identitas kota Semarang, dan satu dari empat lokalisasi pelacuran terbesar di Pulau Jawa. Tiga lokalisasi lainnya; Kramat Tunggak (Jakarta), Saritem (Bandung), dan Gang Dolly (Surabaya).
Tiga lokalisasi di Jakarta, Bandung, dan Surabaya, ditutup lebih dulu. SK relatif tidak pernah menjadi pembicaraan akan ditutup sampai Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengeluarkan peraturan Pemkota dan Pemkab menutup tempat prostitusi maksimal hingga 2019.
Penutupan SK ditandai pembukaan tirai papan pengumuman bertulisan Wilayah Argorejo (SK) Kawasan Bebas Prostitusi. Suwandi ketua rukun warga (RW), membacakan ikrar meninggalkan bisnis prostitusi. Perwakilan wanita pekerja seks (WPS) menyatakan akan beralih profesi dan kembali ke desa masing-masing.
Sejenak melihat ke belakang, lokalisasi prostitusi bernama Sunan Kuning dimulai tahun 1966 atau ketika Pemkot Semarang secara resmi menggebah WPS yang biasa mangkal di sudut-sudut kota ke Argorejo.
Bambang Iss Wijaya, sejarawan dan penulis buku Ough! Sunan Kuning (1966-2019), mengatakan Argorejo saat itu adalah sebuah bukit dengan dua rumah. Letaknya berdekatan dengan petilasan Sunan Kuning, tokoh penting dalam Geger Pecinaan, pemimpin Pasukan Tionghoa-Jawa melawan Sunan Pakubuwana II dan VOC.
Semula, menurut Bambang, lokalisasi itu diberi nama Sri Kuncoro, desa kecil tak jauh dari lokalisasi. Warga Desa Sri Kuncoro protes. Pemkot Semarang menanggalkan nama itu. Sebagai gantinya, lokalisasi bernama Sunan Kuning.
Sampai beberapa tahun setelah tahun 1970-an tidak ada masyarakat Muslim yang protes penggunaan nama Sunan Kuning sebagai nama lokalisasi pelacuran. Seiring waktu, dan tumbuhnya kesadaran di kalangan ulama, muncul protes penggunaan nama Sunan Kuning.
Lokalisasi SK berganti nama menjadi Resosialisasi (Resos) Argorejo. Namun, masyaraka dalam dan luar Semarang terlanjut mengenal SK sebagai lokalisasi ketimbang Resos Argorejo.
Resos Argorejo atau SK sempat redup di awal 1980-an. Saat itu, beberapa rumah pelacuran di lokalisasi tutup, dan WPS menjajakan diri di Simpang Lima. Pemkot Semarang berusaha mempertahankan Resos Argorejo, dengan membawa kembali WPS yang keluar dari lokalisasi.
Kini, Resos Argorejo atau Sunan Kuning benar-benar tutup. Pemkot Semarang akan mengubahnya menjadi kawawan wisata reliji, meniru cara pemerintah DKI Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
Jika sebelumnya masyarakat Muslim Semarang sekedar protes atas penggunaan nama Sunan Kuning sebagai nama lokalisasi pelacuran, kini Pemkot Semarang seakan sedang berusaha mengembalikan martabat tokoh sejarah itu.
Raja Tionghoa-Jawa
Orang Jawa mengenalnya dengan nama Raden Mas Garendi. Orang Tionghoa memanggilnya Soen An Ing. Pada 6 April 1742, setahun setelah Pembantaian Tionghoa Batavia, Soen An Ing atau Raden Mas Garendi diangkat sebagai raja Kartasura bergelar Sunan Amangkurat V Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrohman Sayidin Panotagomo.
Penobatan, disaksikan pasukan Tionghoa dan Jawa, berlangsung di Kabupaten Pati. Saat itu sang raja berusia 16 tahun, informasi lain menyebutkan 12 tahun, memimpin pasukan melawan Sunan Pakubuwana II dan VOC.
Orang Jawa menyebut Amangkurat V sebagai Sunan Kuning. Sebagian sejarawan mengatakan Sunan Kuning adalah plesetan dari Soen An Ing. Lainnya mengatakan Sunan Kuning adalah sebutan raja Jawa yang memimpin orang Tionghoa.
Sunan Kuning sempat memasuki Kartasura, Juni 1742 dan menguasai istana. Pakubuwana II melarikan diri dan dievakuasi VOC menyeberang Sungai Bengawan Solo menuju Magetan.
Sunan Kuning tak lama berkuasa di Kartasura. VOC, dengan pasukan dalam jumlah besar, membebaskan Kartasura dari serdadu Tionghoa-Jawa dan mengejar Sunan Kuning dan pasukannya sampai ke Surabaya.
September 1743, setelah terdesak di selatan Surabaya dan terpisah dari pasukan pengawalnya, Sunan Kuning menyerahkan diri kepada Reinier de Klerk — komandan pasukan VOC. Dari Surabaya, Sunan Kuning dibawa ke Batavia, selanjutnya dibuang ke Sri Lanka.
Di Sri Lanka, Raden Mas Garendi menghabiskan seluruh usianya dengan berdakwah.