Myanmar, Negeri Krisis yang Dilanda Aneka Pemberontakan Separatis
Konflik internal Myanmar sudah dan akan lebih lagi bergantung kepada sikap Cina
JAKARTA— Tepat di awal Desember 2019, manakala pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi berada di De Hague, Negeri Belanda, untuk membela kepentingan militer Myanmar (Tatmadaw) atas tuduhan genosida terhadap Muslim Rohingya, perang meledak di Arakan. Itulah provinsi tempat komunitas Muslim yang diusir keluar dengan perkosaan, pembunuhan dan aneka cara berada.
Bukan komunitas Muslim yang mengangkat senjata, melainkan kelompok Arakan Army (AA) kembali mengalami revitalisasi. Tahun 2019 memang bisa disebut sebagai kembalinya Arakan Army kepada kekuatan sejatinya, sekaligus tahun mengalirnya para pengungsi Myanmar ke berbagai arah, kota dan bahkan negara . Tahun itu dimulai dengan serangan Arakan Army ke berbagai pos polisi di Rakhine utara, pada 4 Januari. Asal tahu saja, itu adalah hari kemerdekaan Myanmar.
Serangan ‘tutup tahun’ dilakukan sebagaimana disebutkan di atas–saat Suu-Kyi yang sempat disangka pejuang kemanusiaan itu tengah membela para pemegang senjata, jenderal-jenderal Myanmar yang haus darah orang-orang Rohingya.
Myanmar, dari dulu memang penuh pertikaian bersenjata. Konflik dan perang etnis senantiasa terjadi, dan pada akhirnya terus melemahkan negara miskin ini. Sempat sementara waktu tenanng. Mungkin ketenangan itu yang kemudian membuat Tatmadaw alias tentara gatal, dan mencari persoalan dengan menguyak-uyak Muslim Rohingya di Arakan.
Kini, gayung bersambut. Setelah sekian lama menderita penindasan puluhan bahkan ratusan tahun, kaum Muslim Arakan pada 2016 mulai bangkit. Mereka pun mendirikan The Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), kelompok yang sebelumnya menyebut diri sebagai Harakah al-Yaqin. LSM yang fokus membedah berbagai kelompok keras Isalm di seluruh dunia, International Crisis Group (ICG), menyebutkan bahwa kelompok ini dipimpin Ataullah Abu Ammar Jununi, seorang Rohingya yang lahir di Karachi dan besar di Mekkah, Saudi.
Didukung suasana anti-teror yang tengah mendunia, Myanmar’s Anti-Terrorism Central Committee (MACC) pada 25 Agustus 2017 segera menyatakan ARSA sebagai sebuah kelompok teroris. Hanya tiga hari kemudian ARSA menjawab hal itu dengan menyangkal semua tuduhan MACC dan menegaskan tujuannya yang semata mempertahankan hak-hak kemanusian komunitas Muslim Rohingya.
Kini tak hanya ARSA yang jelas-jelas siap menghadapi Tatmadaw. 2019 menjadi tahun penanda akan kembalinya Myanmar ke era-era genting akibat aneka perlawanan bersenjata. Tahun lalu itu, letusan senjata, penyebaran pamflet dan hasutan untuk memberontak begitu kuat berdengung di Rakhine. Arakan Army, kelompok klasik yang merupakan bagian dari kelompok Kachin Independence Army (KIA) yang telah lama menuntut kemerdekaan suku Kachin, sejak negara itu masih bernama Burma.
Sejak berdiri pada 2009 lalu, Arakan Army terlibat dalam konflik Kachin, bertempur bersama Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA) melawan Tatmadaw. Kebanyakan personel Arakan Army pada awalnya dilatih di kamp pelatihan KIA. Namun, Arakan Army kemudian memiliki kamp pelatihan tambahan di Negara Bagian Rakhine. Menurut Myanmar Peace Monitor, Arakan Army memiliki lebih dari 1.500 personel militer pada tahun 2014, termasuk personel yang ditempatkan di Negara Bagian Rakhine, dekat perbatasan Myanmar dengan Bangladesh.
Pada September 2015, The Irrawaddy menyatakan, Arakan Army memiliki 2.500 personel pasukan dan 10 ribu personel pendukung. Pada November 2019, jumlah personel Arakan Army diperkirakan meningkat menjadi sekitar 20.000 orang.
Bagi Cina, yang berkepentingan untuk mengegoalkan tujuan mereka membangun jaringan transportasi antarnegara dengan Cina sebagai focus dalam inisiatif ekonomi One Belt One Road (OBOR), bangkitnya perlawanan dua etnis di Rakhine itu pasti kurang menguntungkan. Permusuhan dan kontak senjata kini sudah menjamah beberapa pelabuhan laut dalam yang diproyeksikan dan zona ekonomi khusus di Kyaukphyu, yang merupakan komponen penting OBOR Cina.
Asia Times melaporkan, operasi bersenjata yang dilakukan pemberontak Arakan Army pada akhir tahun ke berbagai kota terpisah, tak pelak menegaskan bahwa Tatmadaw sedang menghadapi tantangan pemberontakan yang paling serius dalam beberapa dekade politik Myanmar. Persoalannya, tidak seperti perang yang selalu hidup mati terjadi di Myanmar utara, konflik Rakhine hampir tidak menawarkan prospek gencatan senjata sedikit pun.
Pertikaian yang berkelanjutan itu tahun lalu saja menimbulkan kerugian besar di kedua pihak. Asia Times mencatat, konflik bersenjata yang terjadi telah memaksa hampir 100 ribu warga sipil di Rakhine dan negara bagian tetangga, Chin—di kota Paletwa, tempat berulangnya bentrokan bersenjata, orang-orang sudah mulai mengungsi.
Walau Tatmadaw maupun Arakan Army tidak merilis angka korban, para analis di Yangon memperkirakan korban jiwa di pihak militer berkisar antara 800 hingga 1.000 personel.
Serangan-serangan ambisius Arakan Army itu segera direspons dengan reaksi agresif dari Tatmadaw. Militer Myanmar itu berusaha menegaskan kembali kendali mereka atas tanah datar dan desa-desa padat di utara-tengah Rakhine. Mereka juga mendesak pasukan AA kembali ke area perbukitan dan hutan-hutan. Untuk itu Tatmadaw segera mengerahkan kekuatan mereka besar-besaran dengan mengerahkan batalion infantri ringan, didukung artileri berat, kekuatan udara yang terus meningkat. Juga dukungan penuh Angkatan Laut yang turun melakukan penyerangan di sungai-sungai yang banyak terdapat di negara bagian tersebut.
Arakan Army juga tak lupa akan respons balik. Sejak awal musim hujan, Mei-Oktober, Arakan Army terus melakukan serangan sporadic ke berbagai daerah dan kota, memungkinkan perang sipil di Myanmar, yang berpeluang membesar tahun 2020 ini.
Mereka juga melakukan dua strategi. Pertama berupaya untuk membangun struktur pemerintah paralel guna mengeksploitasi runtuhnya administrasi sipil di banyak daerah. Hal itu dilakukan oleh sayap politik Arakan Army, United League of Arakan (ULA). Proses itu tanpa ragu telah memfasilitasi rekrutmen pasukan tempur baru, yang dipercepat dengan maraknya pengunduran diri para administrator desa dan lingkungan yang ditunjuk pemerintah di beberapa daerah. Sikap sewenang-wenang Tatmadaw membuat hal itu kian merebak.
Upaya Arakan Army untuk mengambil alih fungsi pemerintah telah tercermin sejak Oktober dalam penculikan berulang kali terhadap pegawai negeri dan personel keamanan yang sedang tidak bertugas. Bukan hal baru di Arakan, manakala para PNS dan tantara yang sedang naik transportasi umum di jalan dan sungai, manakala sedang ngopi-ngopi cantik di kedai kopi, tiba-tiba ditawan personel Arakan Army.
Mereka yang ditawan segera menghadapi penyaringan Arakan Army, selain investigasi pseudo-yudisial terhadap latar belakang mereka. Sebagian dibebaskan, tak kurang pula yang ditahan atau direkrut Arakan Army.
Asia Times melaporkan, Pemimpin Arakan Army Mayor Jenderal Tun Myat Naing, baru-baru ini telah mengumumkan rencana untuk memungut pajak atas bisnis yang beroperasi di negara bagian Rakhine. Bila itu terjadi, bisa dipastikan pundi-pundi Arakan Army akan kembali berisi dan membuat kelompok ini lebih digjaya lagi.
Pergeseran kedua, selama musim monsun (musim hujan deras) Arakan Army terus melakukan infiltrasi. Para personel Arakan Army dari kota-kota pertempuran di utara–Buthidaung, Rathedaung, Kyauktaw, Mrauk-U, Ponnagyun, serta Minbya, bergerak ke selatan, ke Myebon dan Ann. Akhir tahun lalu dilaporkan bahwa unit-unit Arakan Army telah bergerak ke selatan di sepanjang rentang Arakan Yoma, sejauh Toungup dan bahkan ke kota Tandwe.
Infiltrasi itu mencerminkan pola kegiatan serupa antara 2015-2017, ketika unit-unit Arakan Army pertama kali menyelinap masuk ke kota-kota Buthidaung, Rathedaung, dan Kyauktaw di Rakhine utara, dari pangkalan mereka di Paletwa. Terbukti, cara itu berhasil baik.
Memang, saat ini hanya ada sedikit laporan tentang bentrokan di selatan Rakhine. Tetapi bila dikaji serius, peledakan tiga peledak kecil di Pulau Munaung pada 19 Desember–beberapa jam sebelum kunjungan Aung San Suu Kyi ke sana, sebenarnya adalah pengingat betapa kini jangkauan Arakan Army kian melebar.
Dalam beberapa waktu ke depan tampaknya bukan tidak mungkin jangkauan itu akan berdampak pada proyeksi Koridor Ekonomi Cina-Myanmar (China-Myanmar Economic Coridor /CMEC) yang sangat diminati Beijing. Namun mengingat posisi Arakan Army yang juga banyak mendapatkan suplai Cina untuk urusan amunisi, mereka tak akan gegabah melakukan serangan langsung kepada infrastruktur CMEC. Pihak Arakan Army sendiri pada pertengahan 2019 lalu secara terbuka menyatakan dukungan mereka untuk investasi asing di negara bagian Rakhine. Mereka juga tidak akan mendapatkan apa-apa dengan melakukan serangan langsung pada infrastruktur terkait CMEC.
Bahkan jalur pipa kembar yang dimulai di Kyaukphyu, dan sudah membawa minyak dan gas alam melintasi Myanmar tengah, melalui wilayah rawan konflik ke Provinsi Yunnan di selatan Cina) tidak pernah menjadi sasaran pasukan pemberontak. Alasannya sederhana. “Memusuhi Cina itu tidak masuk akal, karena sebagian besar amunisi Arakan Army datang dari sana,”tulis Anthony Davis di Asia Times. [ ]