Pada bulan Mei, aku melihat kehancuran besar-besaran yang dialami rakyat Palestina di Gaza dan Tepi Barat sebagaimana digambarkan dalam Laporan Amnesty Internasional. Rumah-rumah dibom dan dilindas buldoser, mobil-mobil ambulans yang mengangkut para pasien dalam kondisi kritis ditembaki, sekolah-sekolah dibom. Pada saat aku berad di sana, hampir 40 wanita hamil harus melahirkan di pos-pos pemeriksaan Israel, karena jalan menuju rumah sakit diblokir. Hasilnya, beberapa ibu dan bayi meninggal.
JERNIH—Dr Ang Swee Chai, yang lahir di Penang, Malaysia, dan dibesarkan di Singapura, pada tahun 1987 dianugerahi ‘Star of Palestine’, bintang kehormatan tertinggi bagi pengabdian kepada rakyat Palestina, oleh Pemimpin Palestine Liberation Organization (PLO), Yasser Arafat.
Bersama suaminya, Francis Khoo, Dr Ang Swee Chai mendirikan Medical Aids for Palestinians (MAP), lembaga kemanusiaan yang menyokong pengobatan, penyembuhan dan pemeliharaan kesehatan rakyat Palestina, sejak pembantaian keji sekitar 3.500 pengungsi di Kamp Sabra-Shatila, 1982.
Tumbuhnya keinginan untuk membantu hingga terbangunnya pengabdian Dr Ang tidak hadir dalam semalam. Sejatinya, awalnya ia seorang pengagum Israel dan pembenci Palestina. Ada petikan menarik di akhir bukunya yang deras mengucurkan air mata warga dunia—tentu saja mereka yang berhati dan punya nurani—“Tears of Heaven” . Jernih mengutipkannya untuk pembaca.
…Bagi teman-teman dan keluarga mereka yang tertinggal di Gaza dan Tepi Barat dan hidup di bawah pendudukan Israel sejak 1967, Palestina merupakan sebuah gagasan yang takkan pernah mati. Mereka semua sangat sadar akan sejarah mereka yang menyakitkan dan panggilan untuk berkorban lebih banyak lagi demi Palestina yang merdeka dan damai. Sejak kanak-kanak, setiap orang Palestina dapat menceritakan ketidakadilan yang mereka terima—pembantaian, pengusiran,penyerbuan, pendudukan, kematian dan penghancuran.
Dua puluh tahun lalu—tulisan ini dibuat 2002, red Jernih—terjadi pembantaian Sabra-Shatila. Aku sedang bertugas di kamp, baru tiba sebulan sebelumnya sebagai sukarelawan dokter bedah untuk merawat para korban selama serangan pasukan Israel di Lebanon.
Pembantaian anak-anak, wanita, orang tua dan orang-orang lemah yang tak bersenjata sungguh menyentakkanku. Aku merasa sangat gusar karena harus menemukan kebenaran tentang orang-orang yang berani dan murah hati melalui kematian mereka.
Hingga saat itu, aku tak pernah tahu bahwa para pengungsi Palestina itu ada. Sebagai seorang Kristen fundamentali, dulu aku mendukung Israel, membenci orang-orang Arab, dan memandang PLO sebagai teroris yang harus dikutuk.
Pengalamanku di Sabra dan Shatila membuatnya sadar bahwa orang Palestina adalah manusia. Upaya pihak-pihak adikuasa yang berkonspirasi untuk menjelek-jelekkan mereka, pupus sudah. Bagaimana mungkin mereka orang yang jahat, jika mereka adalah korban ketidakadilan yang teramat besar? Seperti orang-orang lain, aku harus menghadapi kenyataan yang pahit, aku harus bertobat—kebodohan dan prasangkaku telah membutakan mata hatiku dari penderitaan bangsa Palestina.
Mereka yang selamat mendorongku untuk memberikan kesaksian di hadapan Komisi Penyelidikan Kahan bentukan Israel. Dan dalam perjalanan menuju melintasi perbatasan Lebanon menuju Jerusalem, aku sadar diriku tengah dalam perjalanan yang sangat-sangat diimpikan para pengungsi.
…Selama Intifada pertama aku bertugas di rumah sakit Al-Ahli di Gaza, sebagai konsultan dokter bedah PBB, dan tekah merawat banyak sekali yang terluka. Bangunan rumah sakutku sering sekali diserang dari udara oleh para tentara Israel yang memburu para pemuda Palestina, bangsal ibu-ibu hamil disernu para tentara Israel bersenjata lengkap—sebuah penghinaan kotor dan biadab terhadap ibu-ibu yang tengah melahirkan. Para pasien yang terbaring di meja operasiku diancam. Seorang kru TV BBC memfilmkan “Kehidupan di Bawah Pendudukan”, menampilkan beberapa orang dari kami yang sedang bertugas di bawah kondisi tak terperikan seperti itu. Para juru rawat pria harus menghabiskan waktu dua tahun di penjara, menyusul perekaman film itu.
Gerakan perlawanan menentang Israel pada 1982 di Lebanon mengilhami gerakan Intifada. Tanpa Sabra-Shatila, tak akan pernah ada simpati masyarakat internasional untuk Intifada. Singkat kata, Sabra-Shatila adalah pemicu dan katalisator bagi gerakan Intifada.
….
Pada Oktober 2000, gerakan provokatif Ariel Sharon di Masjid Al-Aqsa dengan mengerahkan 2000 personel tentara Israel menyulut Intifada kedua. –Ariel Sharon adalah menteri pertahanan Israel yang berada di balik pembantaian Sabra-Shatila, pernah menjadi PM, dan pada awal 2006 terserang stroke. Dia koma selama delapan tahun, dengan segala peralatan penyambung hidupnya. Tanpa pernah lagi bisa berkata, kecuali mengedipkan mata, Ariel Sharon direnggut Malakal-Maut ke alam baka pada 2014, red Jernih—. Penindasan datang lagi, bahkan lebih parah dibanding yang pertama.
Lebih banyak lagi kematian dan kehancuran, jumlahnya pun terus bertambah. Pada November 2002, Amnesty Internasional memublikasikan hasil-hasil penyelidikannya, dan menuduh Israel telah melakukan sekian banyak pembunuhan illegal, penyiksaan, serta menggunakan warga Palestina sebagai tameng manusia.
…
Tahun 2002 adalah peringatan ke-20 peristiwa Sabra-Shatila. Aku melakukan kunjungan ke Lebanon dan wilayah Palestina yang diduduki. Pada bulan Mei, aku melihat kehancuran besar-besaran yang dialami rakyat Palestina di Gaza dan Tepi Barat sebagaimana digambarkan dalam Laporan Amnesty Internasional. Rumah-rumah dibom dan dilindas buldoser, mobil-mobil ambulans yang mengangkut para pasien dalam kondisi kritis ditembaki, sekolah-sekolah dibom. Pada saat aku berad di sana, hampir 40 wanita hamil harus melahirkan di pos-pos pemeriksaan Israel, karena jalan menuju rumah sakit diblokir. Hasilnya, beberapa ibu dan bayi meninggal.
Baik Gaza maupun Tepi Barat dibagi menjadi wilayah-wilayah kecil yang dikepung tank-tank, jam-jam malam diberlakukan. Meski begitu rakyat Palestina tetap tabah.
…
Walaupun demikian, sekali lagi Beirut membuatku bangkit kembali. Dalam dunia mereka yang terlantar, dalam kamp Shatila yang hanya berisikan tumpukan puing, aku bertemu pemuda-pemuda yang lahir setelah pembantaian. Sebuah generasi baru telah tumbuh dewasa. Anak-anak yang selamat dari pembantaian Sabra-Shatila kini telah mempunyai anak-anak mereka sendiri. Para orang tua kini teah menjadi kakek-nenek. Orang-orang Palestina buangan ini kini telah terpisah dari Tanah Air mereka selama empat generasi, namun anak-anak mereka yang masih kecil dapat mendengar cerita yang sama dari orang tua mereka tentang tempat-tempat seperti Ramallah, Hebron, Akka,Haifa, Gaza, Al-Quds.
Banyak dari mereka pernah pergi ke Lebanon selatan untuk memandang perbatasan yang menuju Galilee, tempat kakek-nenek mereka atau bahkan lebih tua lagi,dipaksa keluar Palestina pada 1948. Meskipun tidak ada kepastian akan masa depan, mereka tahu, suatu saat mereka akan kembali. Jauh di lubuk hatiku, aku berdoa bersama mereka…
[dari : “Tears of Heaven”—Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan di Kamp Pengungsian Palestina]