Pertemuan Fujian: Suap China Agar ASEAN Diam dengan Segala Tingkah Cina di Laut Cina Selatan?
Pada Senin (29/3) lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menegaskan dukungannya terhadap Filipina setelah Manila mengatakan akan mengerahkan pesawat ke Whitsun Reef di Kepulauan Spratly untuk memantau sekitar 200 kapal China yang telah berkumpul di perairan yang disengketakan tersebut
JERNIH—Upaya Menteri Luar Negeri China Wang Yi untuk bertemu dengan mitranya dari Asia Tenggara minggu ini, tidak hanya merupakan cara Beijing untuk kian terlibat dengan kawasan itu, tetapi juga untuk melawan berbagai kritik yang berkembang atas kegiatannya di Laut China Selatan.
Sebuah sumber mengatakan, selain bertemu dengan empat menteri luar negeri Asia Tenggara, Wang juga akan melakukan pembicaraan dengan mitranya dari Korea Selatan di Provinsi Fujian.
South China Morning Post menulis, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying, mengatakan, Vivian Balakrishnan dari Singapura, Retno Marsudi dari Indonesia, dan Teddy Locsin dari Filipina mengunjungi Cina dari Rabu (31/3) hingga Jumat (2/4). Sedangkan kunjungan Hishammuddin Hussein Malaysia dijadwalkan dari Kamis (1/4) hingga Sabtu (3/4).
Pernyataan Kementerian Luar Negeri Singapura menyatakan, Balakrishnan akan mengunjungi Fujian pada Selasa (30/3) dan Rabu (31/3). Kunjungan itu akan “menegaskan kembali hubungan lama dan substantif antara Singapura dan China, karena kedua negara bekerja sama untuk memperkuat pemulihan ekonomi setelah pandemi COVID-19,” katanya, sebagaimana dikutip South China Morning Post.
Presiden China Xi Jinping mengakhiri perjalanan empat hari ke Fujian pekan lalu, yang pertama setelah badan legislatif tertinggi China menyetujui rencana lima tahun berikutnya di negara itu, yang bagian intinya adalah swasembada teknologi. Xi mengunjungi Nanping, Sanming, dan Fuzhou.
Sementara itu, AS telah berupaya untuk mengumpulkan sekutunya dan Washington telah bergabung dengan Jepang, Indonesia, dan Filipina untuk menyuarakan aktivitas China di Laut China Selatan.
Aaron Jed Rabena, peneliti di Asia-Pacific Pathways to Progress, wadah pemikir yang berbasis di Manila, mengatakan pertemuan yang direncanakan itu bisa menjadi upaya China “untuk melibatkan dan meyakinkan negara-negara kawasan di tengah koordinasi politik dan diplomatik yang lebih besar antara Quad dan negara Barat.”
Awal bulan ini, Presiden AS Joe Biden menjadi tuan rumah pertemuan virtual dengan para pemimpin anggota Quad lainnya (Jepang, India dan Australia) pertemuan pertama dari jenisnya.
Pada Senin (29/3) lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menegaskan dukungannya terhadap Filipina setelah Manila mengatakan akan mengerahkan pesawat ke Whitsun Reef di Kepulauan Spratly untuk memantau sekitar 200 kapal China yang telah berkumpul di perairan yang disengketakan tersebut.
Manila dan Washington mengklaim kapal-kapal itu sebagai bagian dari “milisi maritim” China, tetapi Beijing bersikeras mereka adalah kapal penangkap ikan.
Sehari sebelumnya, menteri pertahanan Jepang dan Indonesia sepakat untuk mengirimkan pesan bahwa kedua negara mereka akan sangat menentang setiap tindakan China yang dapat meningkatkan ketegangan di perairan yang diperebutkan. Menurut Menteri Pertahanan Jepang Nobuo Kishi, ini termasuk latihan bersama di Laut China Selatan.
“Saya pikir Wang Yi akan meyakinkan (para menteri luar negeri) dalam pertemuan tersebut bahwa penerapan undang-undang barunya tidak menargetkan negara mana pun dan tidak dimaksudkan untuk memprovokasi konflik. Saya pikir dia juga akan menegaskan posisi China yang konsisten di Laut China Selatan: mengesampingkan perselisihan dan mengejar pembangunan bersama,”ujar Yu Zhirong, wakil sekretaris jenderal Pacific Society of China, kepada South China Morning Post.
“Dia akan meminta negara-negara di kawasan untuk tidak terpengaruh oleh negara-negara di luar kawasan dan mendorong kerja sama Jalur Sutra Maritim”.
Jepang dan AS juga menyatakan keprihatinan serius tentang undang-undang penjaga pantai ketika Blinken mengunjungi Tokyo pada pertengahan Maret, menambahkan mereka keberatan dengan klaim “tidak sah” Beijing di Laut China Selatan.
South China Morning Post menulis, Vannarith Chheang, peneliti tamu di ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapura berpendapat pertemuan para menteri luar negeri kemungkinan akan membahas topik-topik seperti kerja sama dalam COVID-19 dan pemulihan pasca-pandemi, krisis politik yang sedang berlangsung di Myanmar, dan konflik di semenanjung Korea setelah peluncuran rudal Korea Utara baru-baru ini.
Pemerintahan Biden telah berupaya untuk membangun front bersama dengan sekutunya melawan Beijing dan pekan lalu menerapkan sanksi terkoordinasi dari AS, Kanada, Inggris dan Uni Eropa terhadap pejabat China yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang.
Collin Koh, peneliti dari S.Rajaratnam School of International Studies di Singapura, mengatakan kepada South China Morning Post, sementara Gedung Putih berusaha untuk menghidupkan kembali aliansi AS, negara-negara Asia Tenggara akan tetap waspadaagar tidak tersedot ke dalam pusaran persaingan China-AS dan mencoba untuk tidak terlalu dekat ke kedua sisi.
“Meskipun kepastian Biden baru-baru ini dapat diterima secara positif di masing-masing ibu kota di Asia Tenggara, dan yang pasti, kehadiran militer, ekonomi, dan diplomatik AS akan disambut sebagai penyeimbang terhadap China, terutama di Laut China Selatan, masih ada batasan yang jelas dalam sistem aliansi. Jelas Filipina, dengan mempertahankan aliansinya dengan AS sebagai ‘kartu as’, tidak hanya mengandalkan itu,”ujar dia, merujuk pada upaya Manila untuk meningkatkan hubungan dengan Beijing.
“Negara-negara kawasan seperti Indonesia juga mewaspadai kompleksitas tersebut dan karenanya kami melihat terbangunnya hubungan keamanan yang lebih erat dengan negara lain seperti Jepang,” katanya.
Namun, Koh mengatakan, itu bukan situasi yang nyaman bagi Beijing, menambahkan: “Masuknya kekuatan eksternal lainnya, yang memiliki hubungan keamanan dekat dengan AS, berkontribusi pada sejumlah pendekatan bilateral melawan China.”
Fujian memiliki hubungan yang erat dengan beberapa negara Asia Tenggara sebagai sumber utama migran ke komunitas Tionghoa perantauan.
Meskipun sejumlah besar orang Tionghoa mulai beremigrasi ke Asia Tenggara untuk mencari peluang dan mata pencaharian yang lebih baik sejak akhir 1700-an, kebanyakan dari mereka yang menetap di Asia Tenggara pergi pada pertengahan abad ke-19.
Gelombang imigran Fujian lainnya ke Asia Tenggara menyusul setelah kelaparan dan banjir pada 1910, dan kemudian selama Perang Dunia II dan hari-hari awal pemerintahan Komunis yang dimulai pada 1949.
Dalam beberapa dekade terakhir, banyak keturunan Fujian di wilayah tersebut tidak hanya menyumbangkan dana untuk membantu masyarakat setempat membangun sekolah dan tempat beribadah, mereka juga kembali ke Fujian untuk mencari kerabat yang masih tinggal di sana dan menelusuri garis keturunan leluhur mereka. [South China Morning Post]