Charlie Watts, Rocker Gaek Yang Tak Rock n Roll
Meski slogan seks, drugs and rock n roll begitu populer, dia menyatakan : “Saya tidak benar-benar seperti itu. Saya tak pernah benar-benar melihat Rolling Stones sebagai apapun.”
JERNIH- Kebanyakan orang, mungkin mengira bahwa Charlie Watss, penabuh drum Rolling Stones adalah seorang rocker sejati. Bahkan sebagai musisi yang sudah meletakkan pondasi band dengan pukulan drumnya hingga membawa Mick Jagger dan Keith Richards sebagai legenda hidup musik dunia, sama sekali tak mengamalkan pameo ‘seks, drugs and rock n roll’.
Charlie yang meninggal di usia 80 tahun, merupakan penggila Jazz yang bersaing ketat dengan Bill Wyman, pemain bass Rolling Stones, untuk mendapat gelar sebagai anggota band paling tak menonjol. Dia, memang menghindari perhatian dan jarang sekali muncul di media melayani wawancara wartawan.
Bernama lengkap Charles Robert Watts, lahir di Rumah Sakit Universitas College di London, pada 2 Juni 1941 dan dibesarkan di Kingsbury yang sekarang menjadi bagian dari London Borough of Brent. Ayahnya, hanya seorang supir truk.
Sejak kecil, Charlie memang sudah jatuh cinta pada Jazz dan Jelly Roll Morton serta Charlie Parker, adalah dua nama musisi Jazz yang sangat dia gandrungi.
Di sekolah, dia mengembangkan bakatnya pada seni dan melanjutkan pendidikan di Harrow Art School, hingga akhirnya mendapat pekerjaan sebagai perancang grafis di sebuah biro iklan setempat.
Kecintaannya pada musik memang menjadi kekuatan yang mendominasi hidupnya. Terlebih, ketika orang tuanya memberikan satu set drum di usianya yang ke 13 tahun. Dia melatih kemampuannya dengan bermain bersama rekaman Jazz di piringan hitam koleksinya.
Sejak itu, Charlie muda pun mulai bermain di klub dan pub lokal hingga akhirnya pada 1961, permainannya didengar Alexis Korner yang menawarkannya bekerja pada band Blues Incorporated guna menjadi pelengkap dalam warna musik rock Inggris.
Pada band itu, ada juga Brian Jones seorang gitaris yang mengenalkan Charlie pada Rolling Stones muda. Waktu itu, Tony Chapman baru saja keluar dari Stones. Hasilnya, Watts resmi bergabung sebagai penabuh drum di band itu.
Bagi Watts, momen itu merupakan empat dekade dia menjumpai Mick yang luntang-lantung berlarian di hadapannya. Bersama Bill Wyman, Richard Keith, dan Brian Jones, mereka mengiringi Mick Jagger sampai tahun 1969.
Konser-konser awal Rolling Stones memang sering berubah menjadi kekacauan saat penggemar perempuan dengan semangatnya memanjat panggung hanya untuk memeluk anggota band. Meski begitu, Watts tetap mempertahankan irama walaupun para gadis bergelantungan di lengannya.
Pengalamannya sebagai desainer grafis, rupanya tak hilang begitu saja. Watts memberi gagasan pada cover album Between the Buttons yang rilis di Inggris pada 20 Januari 1967 dan menciptakan set panggung sebagai bagian penting dari tour band. Kemudian, pada promo tour di Amerika Serikat tahun 1975, dia menggagas ide berupa band yang memainkan lagu Brown Sugar di atas truk yang melaju di jalanan Manhattan.
Tentu saja, ide promo tour itu diadopsi dari sebuah band Jazz asal New Orleans yang menggunakan teknik serupa, kemudian ditiru AC/DC dan U2, termasuk Rolling Stones sendiri.
Sebagai seorang rocker, gaya hidup Charlie sangat kontras dengan anggota band lainnya. Dia sangat terkenal kerap menolak pesona gerombolan gorupies yang dianggap mengganggu band di semua tur musik. Watts begitu setia pada Shirley yang dia nikahi pada 1964.
Selama krisis paruh baya di tahun 1980-an, Watts keluar dari jalur hidupnya yang tak mengamalkan pameo seks, drugs and rock n roll. Dia mulai menyentuh alkohol dan heroin hingga kecanduan.
“Saat itu buruk sekali, bahkan Keith, terberkatilah dia, mengatakan pada saya untuk melaluinya bersama-sama,” kata Watts seperti diulas BBC News.
Di saat yang sama, Shirley istrinya juga tengah berjuang melawan kecanduan alkohol dan Seraphina anaknya, dikeluarkan dari sekolah Millfield akibat menghisap ganja. Hubungannya dengan Mick juga renggang.
Di sebuah hotel di Kota Amsterdam, pada 1984, Jagger yang tengah mabuk membangunkan Watts dengan berteriak di telepon.
“Di mana drummer saya?” kata Mick di sambungan telepon kepada Watts sambil berteriak.
Tentu, Charlie tak terima dengan perkataan itu dan segera menghampiri kamar Mck. Begitu pintu dibuka, tanpa basa-basi bogem mentah dia layangkan dengan tangan kirinya ke rahang Jagger.
“Jangan pernah panggil saya ‘drummer-mu’ lagi, penyanyiku sialan,” kata Watts.
Insiden itu, digambarkan dalam buku berjudul Life sebagai otobiografi Keith Richard dan terbit pada 2010. Begitu juga dalam buku Under their Thumb yang ditulis Bill German, editor fanzine Rolling Stone yang mengikuti kemana saja band itu pergi selama dua dekade.
Masa suram Watts, berlangsung selama dua tahun hingga mereka memutuskan menetap di sebuah peternakan di Devan dan beternak kuda Arab. Meski tak bisa menyetir, Watts mengoleksi banyak mobil tua, perhiasan perak antik dan banyak hal dari memorabilia perang saudara Amerika.
Di sela kesibukannya sebagai penabuh drum Rolling Stones, Watts tetap memanjakan kecintaanya pada Jazz. Sebab dia bilang, Jazz memberinya semacam lebih banyak kebebasan untuk bergerak.
Dia juga menyelesaikan sebuah otobiografi pemain saksofon Jazz Charlie Parker berjudul Ode To a High Flying Bird. Kemudian, pada 1990, dia menggunakan buku itu sebagai penghormatan kepada pemain saksofon yang dipanggil Bird atau burung di album Charlie Watts Quintet.
Pada album itu, Watts melibatkan sejumlah temannya di bidang Jazz termasuk pemain saksofon Pete King. Dia bermain dan merekam dengan beragam inkarnasi band besar. Pada sebuah pertunjukkan di Ronnie Scott, dia tampil bersama 25 orang termasuk tiga drummer.
Sebagai seorang rocker yang selalu tampil mempesona, Watts tetap rendah hati sepanjang karirnya dengan salah satu band paling abadi di dunia. Meski slogan seks, drugs and rock n roll begitu populer, dia menyatakan : “Saya tidak benar-benar seperti itu. Saya tak pernah benar-benar melihat Rolling Stones sebagai apapun.”[]