Imam Abu Hanifah: Memilih Penjara Daripada Jadi Pejabat Rezim Jahat [3]

Sesudah itu Imam dilemparkan ke dalam penjara yang gelap pada 146 H. Di sana ia diracuni. Dalam keracunan itu ia sujud sembahyang, dan wafatlah ia. Berita kematian ini segera tersebar ke seantero Baghdad. Seluruh rakyat keluar memberi penghormatan terakhir kepada Imam mereka yang terbesar. Lebih dari 50.000 orang ambil bagian pada sembahyang pemakamannya pertama.
JERNIH– Imam menggantungkan harapan indah kepada Khalifah Abbasiyah. Pada waktu penobatan as-Safah, Khalifah Abbasiyah pertama, ia kembali ke kota aslinya, Kufa, dari Hejaz. Tetapi ia segera kecewa terhadap kaum Abbasiyah. Mereka ternyata sama saja jahatnya, kalau tidak lebih jahat terhadap dia.
Dalam pemindahan ibu kotanya dari Hasymiah ke Baghdad, Mansur, Khalifah ke-2 Abbasiyah, menawarkannya jabatan Qadi Agung. Imam serta merta menolak sambil berkata bahwa ia tidak sesuai untuk itu. Khalifah berteriak dengan murkanya: “Engkau adalah pembohong!”
Imam membalas: “Tuan telah menyokong pendirianku. Seorang pembohong tidak cocok untuk jabatan seorang qadi.”
Khalifah menjadi malu, dan bersumpah bahwa Imam harus menerima jabatan Qadi Agung. Imam juga bersumpah tidak akan menerimanya.
Seluruh balairung takjub akan keberanian Imam. Rabi, seorang pembesar istana menjelaskan, “Abu Hanifa, Anda sudah bersumpah setia ke pada Amirul Mukminin.” Imam menjawab tegas: “Lebih mudah lagi bagi Khalifah untuk mengubah sumpahnya.”
Sesudah itu Imam dilemparkan ke dalam penjara yang gelap pada 146 H. Di sana ia diracuni. Dalam keracunan itu ia sujud sembahyang, dan wafatlah ia. Berita kematian ini segera tersebar ke seantero Baghdad. Seluruh rakyat keluar memberi penghormatan terakhir kepada Imam mereka yang terbesar. Lebih dari 50.000 orang ambil bagian pada sembahyang pemakamannya pertama. Salat pemakaman dilakukan enam kali. Menurut ahli sejarah, Khatib, salat pemakamannya masih dilakukan selama 20 hari sesudah pemakamannya. Dalam ulasan terhadap wafatnya, Syiba bin Hajjaj berkata, “Malam telah turun di atas Kufa.”
Makamnya untuk waktu yang lama menjadi tempat berziarah kaum Muslimin. Sultan Alp Arsalan Suljuki membangun sebuah cungkup pada makam tersebut, juga sebuah sekolah untuk mengenang dia. Ibn Batuta, penjelajah Asia termasyhur itu sempat mengunjungi sekolah ini, ketika ia berada di Baghdad, dan sangat terkesan mengenai kepengurusannya maupun mengenai asramanya.
Imam Abu Hanifa dihormati sebagai sarjana ahli hukum agama yang paling tinggi. Para murid dan pengikutnya meliputi bagian terbesar dunia Islam. Beliau meninggalkan tiga karya, yaitu “Fiqh Akbar”, “Al-Alim wal Mutaam”, “Musnad Fiqh Akbar”, sebuah majalah ringkasan yang sangat terkenal.
Ia membentuk sebuah badan terdiri dari para orang berpendidikan, dan ia menjadi ketuanya. Badan ini berfungsi memusyawarahkan dan menetapkan ajaran Islam dalam tulisan, dan mengalihkan Syariat Islam ke dalam bentuk undang-undang. Menurut Khawarizmi: “Jumlah bagian hukum Islam yang disusunnya lebih dari 83.000, di antaranya 38.000 yang mengenai urusan agama, dan 45.000 mengenai urusan dunia.”
Meskipun Imam tidak mewariskan kumpulan Hadits, beliau menempati kedudukan tinggi sebagai seorang Muhaddis. Imam Malik adalah penulis “Muwaffa”, sebuah kitab tentang Hadis yang terkenal di dunia Islam. Imam Ahmad bin Hanbal juga Muhaddis yang terkenal pada masanya.
Ahli-ahli Hadis (Muhaddis) terbagi atas dua kelompok. Mereka yang menghimpunkan Hadis (ucapan-ucapan Nabi) dari berbagai sumber, dan yang menyelidiki secara seksama keaslian sumber-sumber ini kemudian menafsirkannya menurut pengetahuan mereka. Kelompok kedua ialah mereka yang disebut Mujtahid, dan Imam Abu Hanifa termasuk kelompok ini.
Imam adalah ahli hukum Islam terbesar yang meletakkan dasar Induk kepada Fiqh. Imam Abu Hanifa dan Imam Malik telah meletakkan syarat-syarat yang sama untuk penilaian keaslian Hadis. Dikatakan bahwa “Muwatta”, karya masyhur Imam Malik, aslinya berisikan lebih dari 10.000 Hadis, tetapi jumlah Hadis ini disaring menjadi 700 saja setelah kitab itu ditinjau kembali oleh Imam Malik.
Suatu kali, Imam Syaff’i berkata: “Sayyidina Abu Bakar melaporkan hanya 17 Hadis dari Nabi, Umar sekitar 50, Usman, dan malah Sayyidina Ali yang begitu rapat berkaum dengan Nabi hanya sedikit sekali.”
Hadis yang bertentangan dengan pikiran wajar tidak harus diterima. Inilah syarat yang diikuti oleh Imam Yozi pada abad ke-6 H untuk membedakan antara Hadis asli dan yang tidak asli. Di masa Imam Abu Hanifa, disesalkan terlalu banyak kepercayaan pada cara berpikir wajar untuk membahas Hadis yang asli dan yang tidak asli. Tetapi, Imam mengikuti pendirian ini terlalu meluas, dan selama berabad-abad kemudian pendiriannya ini diterima di seluruh dunia.
Imam Abu Hanifa mewariskan serentetan ungkapan kebijaksanaan, beberapa di antaranya sebagai berikut:
(1) Tidak seorang pun menderita kerugian lebih besar selain mereka yang ilmunya tidak dapat mencegah dia dari menyerahkan diri pada jepitan.
(2) Seseorang yang berbicara tentang agama, dan tidak berpikir bahwa akan dinilai untuk apa yang dikatakannya, sesungguhnya tidak tahu apa artinya agama dan hati nuraninya.
(3) Seandainya orang-orang alim bukan sahabat Allah, maka Tuhan pun tidak mempunyai sahabat di dunia ini.
(4) Seorang yang mendapat ilmu pengetahuan untuk kebaikan di dunia, ilmu pengetahuannya itu tidaklah berakar di hatinya.
(5) Mempelajari pembahasan dengan seseorang yang tidak mempunyai rasa tentang ilmu pengetahuan, akan menjemukan diri sendiri dengan tidak ada perlunya.
Sumbangan terbesar Imam Abu Hanifa ialah Fiqh atau ilmu hukum Islam. Ia adalah ahli ilmu hukum Islam yang paling terkemuka, di mana fiqh Hanafi diikuti sebagian terbesar kaum Muslimin di dunia, termasuk di Turki, Mesir, Turkistan, Afghanistan, dan anak benua India-Pakistan.
Ia menolak sebagian besar Hadis, dan hanya bertumpu kepada Quran. Dengan kesimpulan analog, ia mencoba agar ayat-ayat Quran dapat disesuaikan pada tiap ragam suasana. Dalam menulis “The Spirit of Islam”, sejarawan Ameer Ali yang terkenal mengatakan, “Ia merupakan ahli hukum teoretis, dan kedua muridnya, Abu Yusuf, yang menjadi Qadi Kepala Baghdad di bawah Harun al-Rasyid dan Muhammad AshSyaiban menetapkan buah pikiran Abu Hanifa di atas dasar yang teratur.”
Imam menduduki tempat yang sama dalam Fiqh sebagaimana Aristoteles dalam Logika. Sebenarnyalah ia merumuskan ilmu hukum agama Islam dengan secara ilmiah. Syah Waliullah dari Delhi telah menulis sebuah karangan yang bagus, yang melukiskan sejarah Fiqh. Menurut dia, sahabat sahabat Nabi tidak pernah menanyakan kepada beliau tindakan-tindakannya. Ibnu Abbas mengatakan, para sahabat Nabi tidak pernah menanyakan lebih dari 13 ajaran Nabi selama hidupnya.
Sahabat-sahabat Nabi mengikutinya dengan seksama dan setia. Sesudah Nabi wafat, kemenangan-kemenangan bangsa Arab meluas di tiga benua, dan persoalan-persoalan agama pun bermunculan. Ini harus dipecahkan dengan cara berpikir wajar oleh kaum Muslimin yang terpelajar.
Karena sangat liberal dan praktis, Fiqh Hanafi segera diikuti oleh umat Islam. Ia juga menerima perlindungan dari kaum Abbasiyah, Saljuki, dan dinasti Muslim lainnya yang memerintah. Murid-murid Imam yang menduduki jabatan-jabatan penting sebagai Qadi semasa Khalifah Abbasiyah juga memberi sumbangan luar biasa bagi penyebarluasan ajaran ini.
Selain dari pada itu ada faktor-faktor yang tidak dapat dipisahkan, yang membuat Fiqh Hanafi begitu populer di antara kaum Muslimin maupun cerdik pandai. Rahasia popularitasnya terletak pada keadaannya yang lebih rasional, dapat dipahami, liberalis, dan dapat dipakai secara universal. [ ]
Dari : “Hundred Great Muslims” oleh Jamil Ahmad, Ferozsons Ltd, Lahore, Pakistan 1984