Spiritus

Abu Hurairah, Sang Penyambung Lidah Nabi SAW

“Tuhanku, ampunilah Amirul Mu’minin,”kata Abu Hurairah. Setelah itu Umar memintanya untuk menjadi gubernur sekali lagi namun ia menolaknya. Umar bertanya mengapa, dan dijawab olehnya: “Agar kehormatanku terjaga, hartaku tak terampas, dan punggungku bebas dari tali cambuk.”

Oleh  :  Watung Arif Budiman

JERNIH—“An Abi Hurairata radhiyallahu anhu, qal: ‘Qala Rasulullahi, salallahu alaihi wa salam…” Melalui kalimat seperti inilah, jutaan Muslim di seluruh dunia, dari dulu hingga kini, mengenal nama Abu Hurairah. Melalui ceramah-ceramah, baik itu pada khotbah Jumat atau berbagai perhelatan lainnya, juga di buku-buku, tentang hadits dan sirah, fikih maupun ibadah, nama Abu Hurairah senantiasa disebut-sebut.

“Dari Abu Hurairah r.a., berkata Rasulullah salallahu alaihi wassalaam…”

Melalui usahanya yang luar biasalah, ratusan hadits Rasulullah SAW disebarkan dan diteruskan kepada generasi-generasi berikutnya. Nama beliau adalah yang paling terkemuka dari sekian banyak perawi hadits. Setelah beliau, ada nama para sahabat yang lain seperti Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Aisyah (Ummul Mu’minin), Jabir bin Abdullah dan Abu Said Al-Khudri yang kesemuanya merawikan lebih dari seribu hadits Rasululllah SAW.

Abu Hurairah adalah anggota dari Suku Daus, dan beliau menjadi Muslim melalui tangan Tufail bin Amr, kepala Suku Daus kala itu. Suku Daus hidup di sebuah wilayah bernama Tihamah yang membentang di sepanjang Laut Merah, selatan Jazirah Arab. Sepulang Tufail dari perjumpaannya dengan Rasulullah SAW dan menjadi seorang Muslim di tahun-tahun awal tugasnya, Abu Hurairah adalah orang pertama yang mengikuti jejaknya – tidak seperti orang-orang Suku Daus lain yang tetap bersikeras pada keyakinan lamanya.

Tatkala Tufail berkunjung ke Mekkah untuk kesekian kalinya, Abu Hurairah menemaninya. Sungguh sebuah keberuntungan baginya bisa bertemu Rasul yang mulia yang kala itu bertanya langsung kepadanya, “Siapa namamu?”

“Abdu-Syams–hamba Matahari,” jawab Abu Hurairah.

“Namamu Abdur-Rahman saja-– hamba Yang Maha Pengasih,” ujar Nabi.

“Baik, Rasulullah. Abdur-Rahman,” jawabnya.

Meski demikian, ia tetap dikenal sebagai Abu Hurairah, yang secara harfiah berarti “ayah dari kucing kecil” karena, seperti halnya Rasulullah, ia penyuka kucing dan sejak kecil senantiasa bermain-main dengan kucing.

Abu Hurairah tinggal di Tihamah selama beberapa tahun dan hanya pada awal tahun ketujuh Hijriah, ia bersama orang-orang dari sukunya datang ke Madinah. Rasulullah kala itu sudah berangkat menuju Khaybar. Sebagai orang yang tak berpunya, Abu Hurairah kerap kali tinggal di masjid bersama orang-orang dari Ahlus Suffah. Ia seorang bujangan, tanpa anak dan istri. Bersamanya, adalah ibunya yang masih dalam kemusyrikan. Ia senantiasa memohon dan berharap agar ibunya menjadi seorang Muslim, meski ibunya tetap teguh pada pendiriannya.

Suatu hari, ia undang kembali ibunya kepada Islam, iman pada Allah semata dan menjadi seorang pengikut Rasulullah SAW. Namun ibunya menjawab dengan kata-kata tentang Nabi yang membuatnya amat sedih. Dengan isak tangis di matanya, ia pergi menghadap Rasulullah:

“Apa yang membuatmu sedih, wahai Abu Hurairah?”

“Aku tak pernah menyerah meminta ibuku masuk Islam meski ia senantiasa menolakku. Hari ini, aku memintanya lagi, namun ada kata-kata dari mulutnya yang tak aku sukai. Mohonkan permintaan kepada Allah agar menjadikan hati ibunda Abu Hurairah untuk menerima Islam.”

Rasulullah pun menerima permintaan Abu Hurairah dan berdoa untuk ibunya. Lalu Abu Hurairah menceritakan, “Selepas itu, aku pun pulang dan mendapati pintu rumah tertutup. Aku mendengar kecipak air dari dalam dan ketika aku hendak masuk, ibuku berkata: “Tetaplah di situ, Abu Hurairah!” Setelah mengenakan pakaiannya, ibuku berkata, “Kini, masuklah!” Maka aku pun masuk, dan ibuku berujar, “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

“Aku kembali menemui Nabi SAW, kini dengan tangis kebahagian, persis satu jam setelah sebelumnya aku datang dengan tangis kesedihan. Aku berkata, ‘Kabar baik, ya Rasulullah. Allah telah mengabulkan permohonanmu dan menuntun ibunda Abu Hurairah kepada Islam!'”

Abu Hurairah demikian mencintai Rasulullah dan senantiasa berada di dekatnya. Tak lepas ia pandangi wajah Rasulullah yang baginya tampak seperti pendaran Matahari, tak kenal bosan ia mendengarkan ucapan-ucapannya. Sering ia haturkan pujian kepada Allah SWT lantaran nasib baik yang dirasakannya ini, “Segala puji bagi Allah yang telah menuntun Abu Hurairah kepada Islam. Segala puji bagi Allah yang telah mengajari Abu Hurairah Al-Quran.”

“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Abu Hurairah sebagai sahabat Muhammad SAW.”

Ketika di Madinah, Abu Hurairah menetapkan dalam hatinya untuk berjuang mencari ilmu. Zaid bin Tsabit, salah seorang sahabat Rasulullah yang terpandang, menuturkan, “Tatkala Abu Hurairah, aku dan seorang kawanku yang lain berada di Masjid untuk berdoa dan berdzikir, Rasulullah tiba-tiba muncul. Beliau SAW mendekati kami dan duduk bersama kami. Kami pun terdiam, hingga Nabi berkata: “Teruskan doamu.”

“Maka aku dan temanku pun berdoa sebelum Abu Hurairah, dan Nabi mulai mengaminkan doa kami.”

“Lalu giliran Abu Hurairah berdoa, “Ya Tuhanku, aku memohon kepadamu apa-apa yang diminta oleh kedua sahabatku ini, dan aku memohon kepadamu ilmu yang tak akan dilupakan.”

“Rasulullah SAW mengucapkan: “Aamiin”. Lalu kami berkata, “Dan kami memohon kepada Allah ilmu yang tak akan dilupakan”, Nabi pun berkata: “Anak muda dari suku Daus ini telah memintanya sebelummu.”

Dengan daya ingatnya yang luar biasa, selama empat tahun bersama Rasulullah SAW, Abu Hurairah merekam untaian-untaian hikmah yang diperolehnya dari mulut Sang Nabi. Ia menyadari bahwa ia telah beroleh anugerah yang luar biasa, dan ia berjanji akan memanfaatkan sepenuhnya untuk kemaslahatan Agama Islam.

Abu Hurairah punya banyak waktu longgar. Karena tidak seperti kebanyakan Kaum Muhajirin, ia tidak pergi ke pasar untuk berniaga. Juga tidak seperti Kaum Anshar, ia tak punya tanah dan ladang untuk bercocok tanam. Ia tinggal dekat dengan Rasulullah di Madinah, pergi bersamanya di berbagai perjalanan dan ekspedisi.

Banyak sahabat yang kagum akan kemampuannya mengingat sebegitu banyak hadits, bahkan sering bertanya kapan ia mendengar hadits-hadits tertentu dan dalam situasi apa.

Suatu kali Marwan bin Al-Hakam ingin menguji daya ingat Abu Hurairah. Marwan duduk bersamanya di sebuah kamar. Lalu, tanpa sepengetahuan Abu Hurairah, ia menyuruh sekretarisnya untuk menuliskan apa saja yang diucapkan oleh Abu Hurairah dari balik dinding. Setelah satu tahun berlalu, Marwan memanggil Abu Hurairah dan memintanya untuk menyebutkan kembali hadits yang dulu pernah dicatat oleh sekretarisnya. Ternyata, tak satu kata pun dilupakannya.

Abu Hurairah begitu peduli dengan pengajaran dan penyebaran hadits-hadits yang diingatnya, juga ilmu tentang Islam secara umum. Diceritakan bahwa pada suatu hari, ia masuk ke sebuah pasar di Madinah dan tentu saja ia melihat orang-orang sibuk berjual-beli.

“Bodoh sekali kalian, wahai orang-orang Madinah!”

“Kebodohan apa yang engkau lihat pada kami, Abu Hurairah?” tanya mereka.

“Peninggalan Rasulullah SAW sedang dibagi-bagikan sementara kalian masih di sini! Apakah kalian tidak menginginkannya?”

“Di mana itu, Abu Hurairah?” tanya mereka lagi.

“Di Masjid,” jawabnya.

Mereka pun segera meninggalkan tempat itu. Abu Hurairah lalu menunggu sampai mereka kembali. Ketika mereka mendapati Abu Hurairah lagi, mereka berkata, “Wahai Abu Hurairah, kami pergi dan masuk ke Masjid tapi kami tidak melihat apa-apa yang sedang dibagikan.”

“Kalian tidak melihat seorang pun di Masjid?” tanyanya.

“Oh ya, kami melihat orang-orang sedang shalat, beberapa membaca Al-Quran, sementara yang lain sedang berdiskusi tentang apa yang halal dan apa yang haram.”

“Celakalah kalian,” jawab Abu Hurairah, “Itulah peninggalan Rasulullah SAW.”

Abu Hurairah mengalami banyak kesulitan hidup lantaran usahanya yang keras dalam mengejar ilmu. Sering ia mengalami kelaparan dan kemelaratan. Ia pernah bercerita: “Ketika aku merasa kelaparan, aku biasa mendatangi salah seorang sahabat Rasulullah dan menanyakan tentang ayat-ayat Al-Quran hanya agar kemudian ia mengajakku ke rumahnya dan memberiku makan.”

“Suatu hari, rasa laparku begitu berat sehingga kuikatkan sebongkah batu di perutku. Aku duduk di pinggir jalan yang biasa dilewati para sahabat. Ketika Abu Bakar lewat, aku tanyakan padanya tentang sebuah ayat dari Kitabullah supaya ia mengajakku ke rumahnya. Namun ia tidak mengajakku.”

“Lalu Umar bin Khattab pun lewat dan aku menanyakan sebuah ayat, namun ia juga tidak mengajakku. Beberapa saat kemudian, Rasulullah SAW lewat dan menyadari bahwa aku sedang kelaparan, ia memanggilku: “Abu Hurairah!”

“Saya datang, ya Rasulullah,” jawabku sambil mengikutinya sampai kami masuk ke dalam rumahnya. Rasulullah mendapati semangkuk susu dan bertanya kepada keluarganya: “Darimana kalian memperolehnya?”

“Seseorang mengirimkannya untukmu,” jawab mereka.

Rasulullah pun berkata kepadaku, “Wahai Abu Hurairah, pergilah kepada Ahlus Suffah dan undanglah mereka.” Abu Hurairah segera pergi memanggil mereka dan mereka pun bersama-sama meminum susu itu.

Ada masanya, tentu saja, ketika Kaum Muslim memperoleh anugerah berupa harta benda yang sangat banyak. Tak terkecuali Abu Hurairah. Ia mendapat rumah yang nyaman, seorang istri dan anak. Namun semua kemewahan ini tak mengubah kepribadiannya, dan tak menjadikannya lupa akan masa-masa sulit yang dideritanya dulu.

Ia berkata, “Aku dibesarkan sebagai yatim, lalu hijrah sebagai fakir miskin. Aku mendapat upah makanan sekedar untuk mengisi perut dari Busrah binti Ghazwan. Aku melayani orang-orang sepulang dari perjalanan mereka, lalu memberi makan unta-unta ketika mereka hendak berangkat. Lalu Allah menakdirkanku menikah dengannya (Busrah). Segala puji Allah yang telah mengokohkan Agama-Nya dan menjadikan Abu Hurairah seorang imam.” (Kalimat terakhirnya merujuk saat di mana ia menjadi gubernur Madinah).

Banyak waktu dihabiskan Abu Hurairah untuk berdzikir dan bermunajah kepada Allah. Qiyamul Lail, atau menghidupkan malam dengan ibadah dan dzikir, sangat biasa dilakukannya, juga oleh istri dan anak perempuannya. Ia habiskan sepertiga malam, lalu istrinya sepertiga malam yang lain, dan anaknya pun sepertiga malam. Dengan demikian, di dalam keluarganya, tak ada sesaat pun malam hari dihabiskan tanpa ibadah, dzikir dan sholat.

Di masa Khalifah Umar, Umar menunjuknya sebagai Gubernur Bahrain. Umar adalah sosok yang sangat berhati-hati menunjuk siapa-siapa yang dipilihnya sebagai gurbernur. Ia mengharapkan agar para gubernurnya hidup sederhana dan tidak mengambil banyak harta meskipun itu diperoleh dengan cara yang benar.

Sebagai Gubernur Bahrain, Abu Hurairah menjadi orang yang kaya raya. Umar mendengarnya, lalu dipanggilnya Abu Hurairah ke Madinah. Umar menyangka ia memperoleh harta dengan cara yang tidak benar dan menanyakan bagaimana dan dari mana ia memperoleh harta-harta itu. Abu Hurairah menjawab, “Dari beternak kuda dan hadiah-hadiah yang diperolehnya.”

“Serahkan kepada Baitul Mal,” perintah Umar.

Abu Hurairah pun melakukan apa yang diperintahkan, lalu mengangkat kedua tangannya dan berdoa: “Tuhanku, ampunilah Amirul Mu’minin.” Setelah itu, Umar memintanya untuk menjadi gubernur sekali lagi namun ia menolaknya. Umar bertanya mengapa, dan dijawab olehnya: “Agar kehormatanku terjaga, hartaku tak terampas, dan punggungku bebas dari tali cambuk.”

Ia menambahkan, “Dan aku takut bertindak tanpa ilmu dan berbicara tanpa hikmah.”

Selama hidupnya, Abu Hurairah tetap hormat dan santun kepada ibunya. Setiap hendak keluar rumah, ia berdiri di depan kamar ibunya dan berkata: “Assalaamu’alaikum, wahai Ibu, wa rahmatullahi wa barakatuh.” Dan ibunya senantiasa menjawab, “Wa alaikum salaam, wahai anakku, wa rahmatullahi wa barakatuh.” Juga kerap ia berkata, “Semoga Allah menyayangimu sebagaimana engkau menyayangiku di saat kecil,” dan ibunya menjawab, “Semoga Allah menyayangimu yang telah menghindarkanku dari kekeliruan di masa tua.” Abu Hurairah juga senantiasa mengajak orang lain untuk bersikap baik kepada orang tua.

Suatu hari, ia melihat dua orang berjalan beriringan, yang satu lebih tua dari yang lain. Ia bertanya kepada yang lebih muda: “Siapa orang di sampingmu ini?”

“Ayahku,” jawab orang itu.

“Jangan panggil ia dengan namanya. Jangan berjalan di depannya, dan jangan duduk sebelum ia duduk,” nasihat Abu Hurairah.

Kaum Muslim berhutang budi kepada Abu Hurairah yang telah membantu memelihara dan menyebarkan warisan Rasulullah yang tak ternilai harganya, radhiyallahu anhu, semoga Allah ridha kepadanya. Ia meninggal pada tahun 59 Hijriah di usia 78 tahun.[ ]

(Adaptasi dan terjemahan dari Companions of The Prophet, Vol.1, karya Abdul Wahid Hamid)

Link asal : https://www.qudusiyah.org/id/blog/2017/07/26/kisah-sahabat-abu-hurairah/

Back to top button