KEMESTIAN REFORMASI BIROKRASI

Memerangi korupsi harus didukung reformasi birokrasi yang komprehensif, karena korupsi paleng marak berlangsung di ranah birokrasi. Korupsi menyebabkan peran bitiirasi menjadi lemab, dan birokrasi yang lemah akan menjadi batu sandungan lig Presiden, sekuat apapun Presidennya.
TEKS. Doddi Ahmad Fauji | FOTO. Djapar Sodik & Dok. Puskom Publik Kemenparekraf
PADA Mei 2014 ini, gerakan reformasi di Indonesia akan berusia 16 tahun. Banyak sudah perubahan yang terjadi. Namun perubahan itu belum juga dapat mensejahterakan rakyat sebanyak-banyaknya sesuai dengan amanat konstitusi NKRI. Salah satu faktor yang menyebabkan kesejahteraan belum merata, adalah korupsi yang terus saja menggejala di berbagai lini kekuasaan.
Lini kekuasaan di negara kita, menganut sistem Trias Politika yang membagi kekuasaan ke dalam tiga lembaga utama (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif), ditambah lembaga-lembaga atau instansi lain yang mendukung ketiga lembaga utama tadi, dan memiliki fungsi menjalankan kekuasaan juga, misalnya KPK, LIPI, BMG, BATAN, dan lain-lain.
Pada tiap lembaga itu, terdapat jajaran personalia yang bertugas menjadi pegawai untuk menjalankan fungsi administrasi dan pelayanan terhadap publik. Para personalia pelaksana administrasi ini digaji oleh negara, dan mereka dinamakan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Bila ada di antara PNS yang menduduki jabatan tertentu, mereka akan berstatus pejabat karier.
Lalu ada jajaran personalia yang bertugas menjadi pegawai pengambil kebijakan, dan mereka itu disebut Pejabat Publik (jabatan politis). Para Pejabat Publik ini dipilih dan diangkat oleh atasan yang memiliki kewenangan, misalnya para Menteri diangkat oleh Presiden. Ketua DPR atau DPD diangkat oleh musyawarah anggota DPR dan DPD.
Jajaran personalia yang bertugas melaksanakan kewajiban administrasi maupun pejabat publik pada lembaga negara itu akan dipukul rata dengan sebutan sebagai “birokrat”. Disebut birokrat karena mereka menduduki salah satu fungsi dalam birokrasi. Ada banyak pengertian birokrasi, baik ditinjau secara etimologi, maupun ditinjau dari sisi fungsi esensialnya. Tapi pada tulisan ini, birokrasi dimaknai sebagai “Struktur organisasi dan tata personalia pada lembaga negara”.

Nah, dari berita-berita yang muncul di media massa, korupsi itu banyak dilakukan oleh para birokrat, baik yang belum memiliki jabatan ataupun yang sudah memiliki jabatan karier, dan juga oleh pejabat politis Sekalipun sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi yang semakin memperlihatkan taringnya, namun tindak korupsi belum juga reda.
Tentu banyak faktor penyebab korupsi itu terus saja berlangsung di wilayah birokrasi, sekalipun sudah ada Badan Pemeriksa Keuangan, lembaga inspektorat internal, dan lain-lain. Di mana letak titik kesalahan dalam sistem dan struktur birokrasi? Bagaimana harus memerangi korupsi yang dilakukan para birokrat?
Pukul satu siang, Sabtu (22/2/2014), Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sapta Nirwandar, menerima kami (saya, Benny Benke, Gito Waluyo, dan Yul Adriansyah) di kantornya. Kami pun menggali informasi seputar birokrasi, administrasi, tatanegara, hingga langkah-langkah memerangi korupsi dari pakar Adminstrasi Negara dan birokrasi lulusan University Paris |-Sorbonne-Paris (S2), dan melanjutkan studi doktoral di bidang Administrasi Negara, Ecole Nationale d’Administration (ENA), di Unversity Paris IX-Dauphine-Paris yang diselesaikannya pada 1988. Bisa dikatakan, Sapta merupakan satu-
satunya birokrat Indonesia segenerasinya yang mengenyam pendidikan administrasi negara dari perguruan tinggi ternama dan terbaik di dunia itu.

Bang Iwan, sapaan akrab keluarganya, adalah birokrat tulen yang mengalami kenaikan jabatan (tour of the duty) secara bertahap namun cepat. Sebagai birokrat, karier Sapta amatlah cemerlang. la dipercaya menduduki Jabatan Eselon | pada usia 45 tahun. Amat jarang birokrat di Indonesia dapat menduduki jabatan pamuncak pada usia semuda itu. Selain kenaikan jabatan yang begitu cepat, Sapta juga mengalami perputaran departemental yang diembannya, yang membuatnya kaya akan aneka ragam bidang dan pengalaman (tour of area).
Beberapa stafnya ikut ngantor ketika PNS lain libur di hari Sabtu. Dari situ dapat dibaca, Sapta adalah pekerja keras. Apa yang dituturkan Sapta, ditambah dengan riset data yang dilakukan Lukman Asya, kami rangkum dalam bentuk tuturan di bawah ini.
HAMPIR seluruh negara di dunia menganut sistem “trias politika” yang dirumuskan terutama oleh Montesquieu, menutup mata, masih adanya rekrutmen ‘titipan’ dan suap-menyuap. Orang yang menyuap, begitu berhasil, lantas yang terpikir dalam otaknya adalah bagaimana mengembalikan modal. Rekrutmen PNS sekarang makin kompleks, karena sebagian diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Bagaimana pun, rekrutmen calon birokrat harus semakin berbasis profesionalisme dan terukur mental serta attitude-nya, karena hal tersebut merupakan basis dari moralitas SDM.
Kemudian juga harus dilihat dukungan terhadap pegawai menyangkut gajinya, kariernya, pelaksanaan reward and punishment, serta ekspektasi untuk pensiun nantinya. Ada pejabat yang mau pensiun, karena gajinya kecil, dan katakanlah ia belum memiliki tabungan yang cukup di hari tuanya, sangat mungkin ia akan memanfaatkan jabatannya untuk mengumpulkan tabungan. Kalau gaji yang diperolehnya selama bekerja cukup untuk ditabung, maka minat untuk korupsi tentu akan berkurang.
Terkait dengan itu, idealnya perlu seorang pemimpin tertinggi _katakanlah pemimpin birokrasi itu Presiden, atau minimalnya Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN) — maka jelas seorang Presiden harus memiliki pikiran-pikiran jauh ke depan, harus punya pikiran ke arah sana. Menteri PAN harus mampu berpikir lebih komprehensif dalam membangun sistem birokrasi dan penataan SDM-nya. Kita tahu bahawa sebentar lagi akan terjadi pergantian kepemimpinan nasional, tentu Menteri PAN ini sangat vital peranannya dalam mereformasi birokrasi. Tentu yang menjadi menteri PAN nanti haruslah seorang yang expert di bidangnya, sekalipun Menteri itu adalah jabatan politis. Masa sih tidak ada politikus yang expert dalam bidang PAN?
Untuk memberantas penyakit korupsi ini, salah satunya memang harus dilakukan reformasi birokrasi, dan yang menjadi menteri PAN harus benar-benar expert secara teoretis maupun pengalaman di lapangan. Pepatah mengatakan, tunggulah kehancuran suatu urusan bila urusan itu diserahkan bukan kepada orang yang ahlinya. Bule bilang, “the right man on the right place”.
Secara evolusi dan kelembagaan, kementerian yang menangani reformasi birokrasi atau pendayagunaan aparatur negara itu sudah ada sejak lama. Tentu saja “reformasi birokrasi” itu barang yang tidak mudah, tapi juga sangat fundamental dan esensial. Mengapa? Tidak mungkin pemerintahan suatu negara bisa maju dan berjalan efektif, bila sistem birokrasinya belum benar.
Mengapa? Karena birokrasi itu memiliki banyak fungsi dan peranan dalam melangsungkan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Fungsi yang paling utama dari birokrasi adalah sebagai regulator (pembuat aturan). Kemudian, dalam sistem pemerintahan presidensial seperti di negara kita ini, birokrasi-nya harus benar-benar kuat. Birokrasi yang kuat itu maksudnya adalah BIROKRASI yang mampu melayani publik dengan cepat dan efektif, bukannya birokrasi yang menghambat kepentingan publik.
Pelayanan publik itu sangat esensial. Kenapa? Kalau birokrasinya tidak punya kemampuan atau misalnya masih lelet-lelet, tidak melek IT, masih mengerjakan semua hal dengan cara-cara tradisional, ya tidak mungkin rakyat kita bisa berkompetisi dengan rakyat dari negara lain yang memiliki birokrasi sudah kuat. Jangan lupa, pemerintahan juga berkompetisi dengan pemerintahan-pemerintahan dari negara lain, atau negara ini berkompetisi dengan negara lain. Nah, reformasi birokrasi ini salah satu harus direfleksikan dalam bentuk perijinan, pelayanan, dan regulasi-regulasi lain yang benar-benar mendukung kepentingan publik, sebab bentuk negara kita adalah Republik.
Siapapun yang jadi Presiden, bila birokrasinya lemah dan bobrok, pemerintahan itu akan berjalan tidak efektif dan cenderung koruptif. Jadi, sekali lagi, pejabat Menteri PAN dalam kabinet presidensial itu, harus benar-benar ahli secara empirik, teoretik, maupun akademik.
Reformasi birokrasi ini harus menyangkut sistem dan SDM-nya. Nah, khusus untuk penempatan jabatan tinggi di birokrasi, yaitu Eselon I, maka harus mulai dilakukan pemilihan Eselon I itu dari kalangan personal yang telah mengalami ‘tour of duty’ dan ‘tour of area’. Dalam rangka tour of duty, Pejabat Eselon I yang akan direkrut, harus memiliki rekam jejak yang bagus dalam kerja. Eselon I tidak semestinya dilakukan secara “urut kacang’. Jika ada PNS yang lebih cemerlang integritasnya, kapasitasnya, kapabilitasnya, bisa saja diangkat jadi Eselon I sekalipun secara usia atau golongan belum memadai. Kenapa? Karena Pejabat Eselon I merupakan lokomotif yang membawa gerbong sangat besar. Bila lokomotifnya kurang bagus, maka gerbong-gerbong yang dibawanya akan
terseok-seok.
Eselon I juga sebaiknya dari orang yang memiliki rekam jejak tour of area. la telah mengalami rotasi ke berbagai bidang, sehingga pengalamannya menjadi lebih beragam, dan sudut pandangnya akan lebih luas. Kenapa Eselon I harus memiliki jejak rekam tour of area, karena Eselon I itu adalah jabatan semi politis. Dia adalah penengah antara pejabat karier dengan pejabat politis (menteri).
Ada kasus-kasus Menteri mengganti Pejabat Eselon I dari orang kepercayaannya yang ia bawa dari sektor lain, misalnya dari perguruan tinggi atau dari lembaga lain. Ini bisa dimaklumi karena menteri harus bisa bekerja dengan orang yang sudah memahami pola pikir dan pola kerjanya. Tetapi Pejabat Eselon I yang dibawanya itu, belum tentu dapat bekerja secara chemistry dengan bawahan-bawahannya (Eselon Il dan ke bawahnya lagi).
Ini juga tidak baik, sebab Pejabat Eselon I itu nantinya akan menjadi orang asing dalam sebuah gerbong, sekalipun ia menjadi lokomotifnya. Tetapi bila Pejabat itu pernah mengalami tour of area yang sangat luas, akan memiliki kualitas yang lebih baik dalam beradaptasi di lingkungan barunya, dibandingkan dengan Pejabat yang tidak pernah dirotasi ke mana-mana.
Dalam pemerintahan dan birokrasi sekarang ini, sistem yang dibangun sudah cukup memadai. Tetapi pelaksanaannya memang masih belum berjalan efektif dan efisien, dan ini bisa dianalisis, sistem tidak berjalan karena SDM yang menempati posisi-posisi tertentu, terutama posisi puncak, belum memadai, sehingga tidak bisa menjalankan tugas pokok dan fungsinya dengan maksimal.
Peranan pengawas juga harus lebih ketat dan tegas. Saat ini, peranan pengawas dari eksternal sebuah gerbong, sudah mulai terasa gigitannya. Misalnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan KPK sudah mulai dapat melacak kebocoran-kebocoran dan berhasil menyeret beberapa pelaku korupsi ke pengadilan. Malah sudah banyak pelaku korupsi yang diadili dan dijebloskan ke dalam tahanan. Nah sekarang perlu diupayakan untuk meningkatkan peranan pengawasan internal di sebuah gerbong dengan lebih baik dan ketat. Peranan Inspektorat Jenderal untuk internal memang harus dipicu lagi supaya efektifitas pengawasannya meningkat. {}
Catatan: Wawancara ini pernah dimuat di Majalah SituSeni No 01 – Th I Edisi Maret 2014