Pak Agus Suprapto: Kala Guru Senantiasa Mengantar Muridnya Berpulang
JAKARTA–Akhir pekan lalu, sebuah pesan WA masuk ke gadget ‘jadul’ saya. Isinya memberitakan seorang teman seangkatan di SMP tutup usia. Tergolong mendadak, almarhum hanya menderita sakit dan segera dibawa ke rumah sakit sehari sebelumnya. Barangkali karena kelelahan, karena sepekan sebelumnya kami masih melihatnya di laman Facebook tengah berada di Tanah Suci Mekkah-Madinah, menunaikan ibadah umrah.
Namun bukan kematian itu benar yang menyentuh kalbu saya. Di grup WA SMP angkatan saya, sebuah foto baru saja datang terpampang. Foto guru kami, Pak Agus Suprapto, di samping jenazah yang tertutup kain sinjang, atau jarik dalam boso Jowo. Beliau telah menjadi orang pertama di antara kami yang berada di samping almarhum Iji Samaji, teman kami yang siap menemui Allah Rabbul Izzati.
Seketika saya terpikir sesuatu yang selama ini saya anggap kecil. Pak Agus, selalu bisa digaransi berada di antara keluarga kawan seangkatan, junior apalagi senior kami yang berpulang. Pada awal Oktober lalu, Pak Agus juga terlihat berada di samping jenazah senior kami almarhumah Rini Bardiniati, lulusan SMP kami tahun 1984.
Lalu memori di kepala saya seolah bersicepat membual keluar. Pak Agus juga yang saya ingat mengambil jenazah seorang teman kami satu angkatan dari rumah sakit daerah dengan mobil angkutan perdesaan, karena pengurusan ambulan dan mobil jenazah ternyata berbelit. Menurut teman-teman yang menceritakan hal itu kepada saya, kisah pengambilan jenazah itu pun terbilang dramatis. Salah satunya karena hujan saat itu mengguyur Kadipaten dengan lebatnya. Pak Agus, sepanjang yang saya ingat, selalu ada di rumah duka manakala anak-anak didiknya mendahuluinya berpulang.
Perkenalan dengan Pak Agus datang di hari pertama saya masuk SMP. Saat bahkan sebelum acara ‘Masa Orientasi dan Pengenalan Program Studi’ (saya masih ingat kependekannya: Masinal Prostudi) SMP Negeri Kadipaten 1983 itu dimulai. Saya tengah diminta, setengah dirayu kakak kelas saya waktu itu, Meita Purnamasari, untuk menjadi jenderal, sementara Yanti Listiani yang berbeda asal SD diminta menjadi jenderil (apa pula itu?), mewakili sekitar 350-an teman-teman siswa baru.
“Tentu mau, doong,” kata Pak Agus yang menyelinap di antara sekelompok panitia yang tengah meminta saya. Beliau menjawabkan pertanyaan yang diajukan kepada saya dan Yanti. Saya agak terkejut. Saat datang ke sekolah pagi harinya, saya yang sempat berpapasan dengannya menyangka orang yang menjawabkan pertanyaan itu seorang penjaga, atau tukang kebun sekolah. Pakaian yang dikenakannya jauh berbeda dibanding guru-guru kami lainnya yang saat itu rata-rata bersafari biru muda. Pak Agus lebih kerap mengenakan celama jins belel, dengan kemeja digulung di atas siku, yang tak jarang dihiasi satu dua titik lepotan cat. Baru siang itu saya tahu, ia guru kami.
Hubungan saya dengan beliau kian akrab manakala saya terpilih menjadi ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Bisa dibilang, Pak Aguslah pembina OSIS tak resmi di kepengurusan saya. Waktu itu salah satu program kami adalah penghijauan di sekolah. Sekolah mendukung OSIS dengan mewajibkan semua murid membawa tanaman hias ke sekolah. Siapa yang mengatur penanaman atau penempatan potnya? Kami pengurus OSIS, dengan komando langsung Pak Agus.
Di saat-saat itulah, saya dan beberapa di antara pengurus OSIS saat itu kerap tidur di sekolah. Pak Agus tentu saja bukan hanya ikut, beliau yang masih lajang memang lebih sering tidur di sekolah Bersama penjaga sekolah waktu itu, Pak Epeng. Seringkali kami menggelar karpet kasar, meletakkan matras-matras yang biasa kami pakai dalam pelajaran olahraga di lapangan basket, untuk alas kami tidur. Sambil menikmati kopi yang dijerang Pak Epeng, biasanya Pak Agus banyak bercerita. Lingkupnya tak berbatas. Mulai dari urusan Bahasa Inggris yang menjadi pelajaran yang diampunya, urusan politik dalam dan luar negeri—yang dengan gagap kami ikuti, hingga kadang mengajak Pak Epeng untuk bercerita soal hantu di sekolah, untuk menakut-nakuti kami. Saat itulah, mau tak mau hubungan antara saya dengan beliau, juga dengan banyak pengurus OSIS saat itu seperti Edi Rubandi, Entoy Toyibatulillah, Doni Sutardiana, Rudi Setiadi, Pujono Adhi, Wiwit Duwitasanti, Vita Ruviana, Linna Yuliawati, Lilis Supriyantini, Teti Hastuti dan yang lain, menjadi kian akrab.
Pak Agus pula yang mengenalkan kami kepada buku-buku sastra dunia. “Sia kudu boga wawasan lega. Carana, maca buku saloba-lobanya,” kata Pak Agus pada saya kala itu, dengan bahasa Sunda loma atau akrab. “Kau harus punya wassan luas. Bacalah buku sebanyak kau bisa.” Saat itu Pustaka Jaya, penerbit yang dikomandani Ajip Rosidi, memang tengah gencar-gencarnya menerbitkan buku-buku sastra kelas dunia. Dari Pak Aguslah saat itu kami–anak-anak kelas dua SMP, mulai mengenal Alexander Dumas senior dan junior, Leo Tolstoy, Jaroslav Hasek, Boris Pasternak, Ryunosuke Akutagawa, Nikolai Gogol, Fyodor Dostoyevski, Jean-Paul Sartre, John Steinbeck, Emile Zola, Ernest Hemingway, Kahlil Gibran, Yasunari Kawabata, dan banyak pengarang lainnya.
Pak Agus yang masih melajang saat itu memang membagi dua gaji yang diterimanya setiap bulan. Untuk keperluannya, dan untuk membeli buku-buku, terutama buku sastra. Buku-buku itulah yang ia sebar di antara kami, anak-anak didiknya. Biasanya setiap kami punya waktu tiga hari untuk menamatkan sebuah buku sebelum menyebarkannya kepada kawan yang lain. Saat bertemu Pak Agus kami akan melaporkan posisi buku-buku tersebut.
Saya ingat, karena tak mungkin menamatkan ‘Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah’, tulisan Michael Hart yang diterjemahkan alm Mahbub Djunaidi dalam tiga hari, saya beberapa kali berbohong tentang posisi terakhir buku itu kepada Pak Agus.
Tetapi ada sedikit hubungan mutualisme di antara kami. Pada saat itu, dengan latar belakang sebelumnya sebagai bartender, Pak Agus masih mengalami ketergantungan kuat kepada alkohol. Yang saya pikir dalam kepala made in kampung sebagai teh yang kerap diminum beliau waktu itu, ternyata bir atau sejenisnya.
Pas saat kami kelas dua, Pak Agus bertekad lepas sepenuhnya dari alkohol. Bukan sesuatu yang mudah. Pada saat tubuhnya ‘menagih’, sering ia menggigil dengan hidung mengeluarkan semacam lendir. Teman-temanlah saat itu yang kerap mengguyur Pak Agus dengan air berember-ember yang ditimba bergantian dari sumur belakang sekolah, sebagaimana yang beliau minta. Alhamdulillah, dengan kuatnya tekad untuk lepas, saat kami mulai menginjak kelas tiga, Pak Agus bisa sepenuhnya bebas dari alcohol.
Pengaruh Pak Agus tak bisa lepas bahkan setelah saya menjejakkan kaki di Bandung sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi UNPAD. Pak Agus yang ketika itu pindah mengajar ke Bandung dan mengambil kredit rumah di Perumahan Margahayu Raya yang kala itu baru saja dibangun, memungkinkan hubungan murid-guru di antara kami tak putus. Yang memungkinkan kami kerap bertemu terutama adalah sumbangan beliau untuk saya : beras bagian pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 25 kg setiap bulan! Kualitas beras itu memang rendah menurut orang Sunda yang suka makan nasi pulen. Beras pembagian dari pemerintah itu jenisnya pera.
“Cokot we Wan. Lumayan, rek dijual, nya jual,” kata beliau. “Ambil saja Wan. Lumayan, kalau pun mau dijual.” Jadilah saya biasanya datang dengan sepeda pinjaman teman saya Solahuddin, saat itu mahasiswa Matematika ITB, pulang-pergi Dago-Margahayu Raya yang letaknya di ujung selatan Kota Bandung. Beras itu tak pernah sampai Masjid Unpad, tempat saya sehari-hari menginap di Kawasan Dago. Selalu beras itu berbelok di Pasar Cihapit, ke Warung Ma Eha yang hingga kini masih tegak bahkan makin dikenal masyarakat. Untuk 25 kilo itu kalau tak salah saya bisa dapat sekitar Rp 15 ribu. Cukup untuk bertahan hidup beberapa hari sebagai mahasiswa kere.
Bahkan setelah saya tamat kuliah, dan anak-anak saya sudah ada yang menginjak bangku SMP, hubungan saya dengan Pak Agus tak pernah putus. Sejelek-jeleknya setiap tahun, manakala Lebaran kami bertemu. Pak Agus sering kali berlebaran di Majalengka. Atau bila tidak, ia akan sengaja datang pada tanggal 3 Syawal, tanggal keramat yang telah puluhan tahun kami—angkatan 86 SMP, patok sebagai saat pertemuan tahunan, menemui kami semua.
Betapa ia tak pernah lupa akan saya—di antara banyak sekali muridnya yang ia ingat, bapak saya yang kala itu senang membudidayakan tanaman bercerita tentang kedatangan Pak Agus. Ia datang saat hujan lebat. Tak mau masuk dengan alasan hujan, dan tak bisa pula dipaksa untuk mau masuk rumah. Waktu itu Pak Agus membawakan bapak tumbuhan Kantung Semar dan beberapa jenis tanaman hutan langka lainnya. Jauh-jauh ia membawakan semua itu buat bapak. Kami bahkan tak diberinya kesempatan untuk menyeduhkan kopi atau teh panas karena ia segera kembali berangkat.
Saat saya menceritakan hal itu kepada sesama teman seangkatan, di grup seorang kawan, Rini Supartini, menulis.
“Beliau sangat baik menjaga silaturahmi. Jangankan kalian yang ada di Pulau Jawa, kami di luar Jawa pun sempat beliau sambangi.”
Sekelebat saya teringat hari kelahiran yang nanti akan mulai menapak angka lima puluhan. Teman-teman lain bahkan banyak yang sudah melewati usia setengah abad itu. Lalu tiba-tiba dada saya pekat dengan perasaan huzun. Ada pertanyaan yang wajar datang setelah beberapa teman seangkatan telah lebih dulu berpulang. Entah di samping jenazah Pak Agus kami akan duduk mendoakan, atau justru kembali, Pak Agus yang akan duduk bersimpuh di samping jenazah kami, nanti. [dsy]