Setetes Embun: Epiphania- Universalitas Kristus
Epiphania merupakan cara Gereja untuk mengakui dan mewartakan bahwa Yesus tidak hanya diutus untuk orang Yahudi saja melainkan untuk semua bangsa atau umat manusia. Kristus tidak dilahirkan hanya bagi kelompok manusia tertentu melainkan bagi seluruh umat manusia.
Penulis: P. Kimy Ndelo CSsR
JERNIH-Hari Minggu ini merupakan Hari Raya EPIPHANIA. Akar kata Yunani ini berarti “penampakan atau manifestasi”. Aslinya istilah ini digunakan ketika seorang raja berkunjung ke sebuah wilayah kerajaannya. Ketika dia datang semua orang berseru: Epiphania!
Dalam khazanah iman kristiani istilah ini dimengerti dan dipraktekkan secara berbeda oleh dua Gereja yang mempunyai tradisi liturgi tertua di dunia.
Yang pertama Gereja Katolik Roma atau dikenal juga sebagai Gereja Barat. Di gereja ini Epiphania merupakan perayaan penampakan Yesus kepada orang-orang Kafir (gentiles), hal mana diwakili oleh ketiga Majus atau dikenal sebagai para ahli bintang dari bagian timur Palestina yani Persia.
Yang kedua, Gereja Ortodox atau dikenal sebagai Gereja Timur. Di Gereja ini yang dirayakan justru Pembaptisan Yesus di sungai Yordan. Mereka beranggapan bahwa pada saat pembaptisan itulah Yesus menyatakan diri-Nya kepada dunia, dimana Dia diperkenalkan oleh Yohanes Pembaptis dan dinyatakan sendiri oleh Allah; Inilah Anak-Ku yang Kukasihi.
Konsekwensi dari perayaan Gereja Timur ini lalu berdampak pada perayaan Natal. Bagi mereka perayaan Natal mengenangkan Penampakan Yesus kepada Tiga Majus, dan biasanya terjadi pada tanggal 6 Januari.
Terlepas dari perbedaan penafsiran akan arti “epiphania”, pada dasarnya Epiphania merupakan cara Gereja untuk mengakui dan mewartakan bahwa Yesus tidak hanya diutus untuk orang Yahudi saja melainkan untuk semua bangsa atau umat manusia. Kristus tidak dilahirkan hanya bagi kelompok manusia tertentu melainkan bagi seluruh umat manusia.
Di Gereja Kelahiran Yesus di Betlehem ada lukisan ketiga Majus, yang datang membawa persembahan untuk Yesus. Yang pertama, Balthasar yang digambarkan sebagai raja Arab atau Etiopia. Yang kedua, Melchior yang digambarkan sebagai raja Persia. Yang ketiga, Gaspar sebagai raja India.
Sifat universalitas ini senada dengan lagu pujian para malaikat pada malam kelahiran Yesus:
“Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.” (Luk 2,14).
Dan Maria adalah pribadi yang pertama kali mengungkapkan sifat universalitas pribadi dan kelahiran Yesus:
“Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia” (Luk 1,48b). Istilah “segala keturunan” tentu merujuk pada umat manusia yang datang sesudah peristiwa kelahiran Yesus.
Hal ini kemudian dirumuskan dengan lebih konkrit oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus:
“…bahwa orang-orang bukan Yahudi, karena Berita Injil, turut menjadi ahli-ahli waris dan anggota-anggota tubuh dan peserta dalam janji yang diberikan dalam Kristus Yesus” (Ef 3,6).
Istilah “Gereja Katolik” merupakan penghayatan nyata dari sifat dan peran universalitas Yesus Kristus bagi dunia, bukan sebaliknya membatasi diri pada Gereja tertentu yang dipimpin oleh Paus di Roma.
Simak bagaimana istilah “katolik” pertama kali digunakan oleh Ignasius dari Antiokhia ketika menulis surat kepada jemaat di Smyrna pada tahun 107:
“Dimanapun uskup nampak, hendaknya demikian juga sejumlah besar orang harus ada; sepertinya halnya dimana pun Yesus Kristus ada, disitu ada Gereja Katolik”.
Pesta Epiphania mengingatkan kita akan tiga jenis manusia yang merespon berbeda berita kelahiran Yesus. Para ahli kitab atau Imam yang masa bodoh, Herodes yang penuh kebencian dan cemburu, serta para Majus yang datang menunjukkan penghormatan kepada Yesus, Sang Raja. Para Majus adalah kita yang berziarah menuju Yesus, menjumpai Dia dan menunjukkan rasa hormat kepadanya.
**
Seorang seniman besar pernah melukis sebuah gambar di mana sesosok manusia terlihat sedang mendayung perahu kecil melintasi perairan gelap sebuah danau yang sepi. Angin kencang bertiup di atas air menyebabkan gelombang-gelombang berbuih putih mengamuk di sekitar perahu kecil. Saat ia mendayung, mata tukang perahu tertuju pada satu-satunya bintang yang bersinar menembus kegelapan.
Di bawah gambar, sang seniman menuliskan kata-kata berikut: “Jika saya kehilangan itu, saya tersesat.”
Seperti halnya tukang perahu yang tak kenal takut itu, misi kita adalah menjaga pandangan kita tetap tertuju pada bintang tertentu saat kita melakukan perjalanan sepanjang hidup.
Hari ini juga, kita bergabung dengan Orang-Orang Majus dari Timur ketika Bintang Betlehem membimbing kita sepanjang jalan menuju tempat kelahiran Juruselamat. Namun, setelah memberi penghormatan kepada Bayi yang baru lahir, mata kita harus tetap tertuju pada bintang Yesus. Agar Yesus dapat memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang mengasihi Dia dan mau melaksanakan pekerjaan-Nya, kita harus mengikuti bintang-Nya sampai ke kaki salib. (SETETES EMBUN, by P. Kimy Ndelo CSsR; ditulis di Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris Weetebula, Sumba tanpa Wa).