2 April 1482, Berdirinya Kesultanan Cirebon yang Berdaulat
Sepulangnya dari Banten pada tahun 1479 M, Syarif Hidayatulllah dinobatkan sebagai tumenggung oleh Pangeran Cakrabuana. Gelar yang disandangnya ialah Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah. Para wali tanah jawa menyambut gembira penobatan itu dan turut memberi gelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid zaman Khalifatur Rasulullah SAW.
Pada tanggal 12 Sukla Cetramasa 1404 Saka atau 12 Puasa 1404 Saka yang bertepatan dengan 2 April 1482 M, Syarif Hidayatullah sebagai Tumenggung Cirebon menyatakan berdirinya kesultanan Cirebon. Deklarasi tersebut menegaskan bahwa Cirebon telah berdaulat penuh, lepas dari pengaruh Kerajaan Pajajaran. Pengiriman pajak terasi yang biasanya dilakukan setiap tahun melalui Adipati Palimanan segera dihentikan.
Merdekanya Cirebon dari kekuasaan Pajajaran tak dapat dilepaskan dari kiprah Pangeran Cakrabuana yang mendirikan Cirebon tahun 1445 M. Dari sebuah tegal alang-alang, putra Prabu Siliwangi dari Nay Subanglarang ini selama 37 tahun telah mengembangkan Cirebon dari wilayah setingkat desa menjadi negri yang berdaulat.
Dengan berdaulatnya Cirebon maka di pulau Jawa terdapat dua kerajaan Islam, yakni Demak dan Cirebon. Demak dipimpin oleh Raden Patah dengan gelar Amirul Mukminin dan irebon oleh Syarif Hidayatulah yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dua kerajaan Islam ini dalam sepak terjangnya saling bekerjasama, terutama dalam menghadapi kekuatan portugis dan konflik peperangan dengan kerajaan Pajajaran yang diwakili oleh Kerajaan Galuh.
Sunan Gunung Jati sebagai kepala pemerintahan melakukan berbagai pembangunan untuk menjalankan roda pemerintahannya. Tahun 1480 M Sunan Gunung Jati memplopori pembangunan Mesjid Sang Cipta Rasa. Pembangunan mesjid tersebut dibantu oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, sedangkan arsiteknya adalah Raden Sepat dari Majapahit.
Pada tahun 1483 Sunan Gunung Jati memperluas keraton Dalem Agung Pakungwati yang merupakan kediaman Pangeran Cakrabuana. Keraton lama itu diberi tembok setinggi 2,5 meter dan lebar 80 cm mengelilingi area seluas 20 hektar. Masyarakat Cirebon menyebutnya kuta kosod. Tembok pelindung kota juga dibangun di area lebih luas lagi yaitu 50 hektar. Salah satu gerbangnya bernama Lawang Gada.
Di tepi Kali Kriyan dibangun dermaga perahu lengkap dengan gerbangnya yang disebut lawang sanga. Bangunan-banggunan lainnya didirikan seperti istal kuda, bengkel pembuatan perahu, maupun pos-pos penjagaan. Di Pelabuhan Muara Jati, bangunan-bangunan yang dulu didirikan oleh Ki Ageng Tapa dengan bantuan orang Cina diperbaiki dan disempurnakan, termasuk membuat bengkel untuk perahu besar dengan mempekerjakan orang Cina yang ahli membuat jung.
Jalan besar dan alun-alun keraton dibangun saat mendirikan tembok keliling kota. Di sektor keamanan, Sunan Gunung Jati membentuk pasukan-pasukan Jagabaya. Untuk mendanai pembangunan-pembangunan itu, Sunan Gunung Jati menerapkan pajak yang jumlah dan jenisnya di sederhanakan, sehingga tidak membebani rakyat.
Selama Sunan Gunung Jati memimpin Cirebon terjadi beberapa pertempuran besar. Pertempuran pertama terjadi tahun 1526 M, Cirebon dibantu Demak melawan Portugis untuk merebut Sunda Kalapa. 1527 M Sunda Kalapa berhasil di kuasai dan berganti nama menjadi Jayakarta. Di tahun yang sama tentara Islam Gabungan Demak dan Cirebon berhasil mengusir Armada Portugis dari pelabuhan Sunda Kalapa.
Pada Tahun 1529 M terjadi perang Cirebon dibantu Demak melawan balatentara Kerajaan Galuh yang dipimpin Prabu Jayadiningrat alias Cakraningrat di Palimanan. Pasukan Galuh mundur Ke Talaga. Pertempuran kedua berlangsung di Talaga yang dikuasai Rangga Mantri. Tahun 1530 M Talaga akhirnya dapat dikuasai. Maka sejak itu wilayah Galuh dibawah kekuasaan Cirebon.
Wilayah kekuasaan Cirebon sampai tahun 1530 M, meliputi separuh dari Jawa Barat, termasuk Banten. Jumlah penduduknya mencapai 600,000 orang yang sebagia besar adalah non muslim. Cirebon juga menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di pesisir utara Jawa Barat. Tahun 1552 M, Sunan Gunung Jati meningkatkan status Banten dari Kadipaten menjadi Kesultanan Banten yang mandiri, wilayahnya meliputi Lebak, Pandeglang, Tanggerang, Serang dan Sunda Kalapa.
Sunan Gunung Jati lantas mengangkat putranya yaitu Pangeran Adipati Hasanudin sebagai Sultan Banten pertama. Menjadikan Banten sebagai kesultanan yang merdeka merupakan politik Sunan Gunung Jati dalam desentralisasi kerajaan pesisir yang menempatkan pelabuhan sebagai bagian yang penting dan wilayah pedalaman sebagai pendukung. Akhirnya dua wilayah pelabuhan besar di tatar sunda berada dalam dua kekuatan Islam, yaitu Muara Jati dan Sunda Kalapa.
Sarana-sarana kota yang dibangun Sunan Gunung Jati menciptakan pemerintahan yang tertib dan teratur. Wilayah kekuasaannya yang luas terkontrol dengan baik. Dengan kondisi demikian, misi dakwah untuk menyebarkan Islam di wilayah pedalaman dapat dilakukan dengan baik. Daerah-daerah di tatar Sunda yang diislamkan Sunan Gunung Jati yaitu Kuningan, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga, Galuh, Tasikmalaya, Sumedang, Cangkuang, Tatar Ukur, Batu Layang, Timbanganten dan Cianjur.
Sejak tahun 1528 M, Sunan Gunung Jati lebih memusatkan perhatian kepada penyebaran Islam. Sedangkan yang menjalankan pemerintahan Cirebon adalah putranya yaitu Pangeran Pasarean. Selama 18 Tahun Pangeran Pasarean menjalankan Pemerintahan di Cirebon, namun ia tidak sampai menjadi Sultan karena wafat di Demak pada 1546 M. Maka pemerintahan selanjutnya diwakilkan kepada menantunya yaitu Fadhilah Khan.
Pada Tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan di Astana Gunung Sembung. Sayangnya, calon kuat penerus Kesultanan Cirebon yaitu Pangeran Dipati Carbon, putra Pangeran Pasarean wafat lebih dulu tahun 1565 M. Maka untk sementara kekuasan di Cirebon dipegang kembali oleh Fadhilah Khan sampai wafat tahun 1570 M. Selepas Fadhilah Khan wafat, putra Dipati Carbon yaitu Pangeran Emas menjadi penguasa Cirebon. Ia kemudian bergelar Panembahan Ratu I yang berkuasa selama 79 tahun (1570-1649 M).