POTPOURRI

70 TAHUN, BANYAK GAYA: BALADA LELAKI TUA YANG MASIH NAKAL (DAN PENUH AKAL)

Oleh IRZI Risfandi

“Rasanya Baru Kemarin…”: Lelucon yang Mengendap Seperti Kopi Tua

    “Rasanya baru kemarin…” — kalimat ini, kalau ditulis oleh seorang influencer muda yang sedang mengalami quarter-life crisis, mungkin akan diikuti dengan curhatan tentang kehilangan akses Netflix karena mantan putus langganan keluarga. Tapi di tangan A. Slamet Widodo, pembuka ini menjadi mantra meditatif, semacam koan khas lelaki senja yang sedang berdiri di depan kaca, mengelus perut, dan bergumam, “Lho, saya udah 70?”

    Kita seringkali menyamakan puisi dengan kesunyian, kesakralan, sesuatu yang mulia dan terlalu “seni” untuk disentuh dengan tangan kotor realitas. Tapi “Balada Lelaki Umur 70” menampar kita dengan rakus. Ia tidak mulia, ia murahan (secara disengaja dan cerdas), dan ia tidak meminta untuk dikasihani. Ia menyapa pembacanya seperti teman lama di warung kopi: pakai bahasa sehari-hari, dengan gaya bercanda yang nyeleneh, dan aroma nostalgia yang lebih mirip balsem Cap Tiga Gajah ketimbang Chanel No. 5.

    Dan di sinilah letak kejeniusan Slamet — ia menulis bukan untuk membuat kita kagum, melainkan agar kita terpingkal-pingkal, lalu diam-diam menangis di dalam hati.

    Puisi yang Tidak Puisi

    Bentuknya memang puisi — ada bait, ada pengulangan, dan ada jeda. Tapi dari segi semangat, ini lebih mirip naskah stand-up comedy. Kita bisa bayangkan Dedi “Miing” Gumelar atau Butet Kartaredjasa membawakan ini di panggung, dengan intonasi datar tapi punchline maut: “Kita sudah tidur dengan nenek-nenek…”

    Kalimat seperti itu membuat pembaca bergidik geli. Tapi bukankah inilah seni sejati? Bukan untuk memanjakan rasa, melainkan mengganggu logika. Slamet tidak mencoba bersajak demi bersajak; dia tidak malu menyisipkan istilah seperti “may be yes may be no”, “dipelihara tante-tante”, hingga “piknik ke puskesmas (pusat kesenangan mas-mas)”. Di tangan penyair lain, kalimat-kalimat itu bisa jatuh jadi kasar atau sarkas. Tapi di tangan Slamet, semuanya menjadi cermin jujur yang tidak sedang bersolek.

    “Balada Lelaki Umur 70” seperti memoar yang ditulis sambil menyetel lagu nostalgia, ditemani sebatang rokok kretek dan teh manis yang sudah keburu dingin. Ini bukan puisi untuk kontes, tapi untuk obrolan serius yang dibungkus tawa. Ia seperti Pak RT yang sedang curhat di pos ronda sambil sesekali menyisipkan petuah hidup.

    Melawan Romantisme Masa Tua

    Masyarakat kita sangat romantis terhadap masa tua — entah itu karena adat ketimuran atau karena propaganda produk asuransi. Tua harus bijak. Tua harus kalem. Tua harus seperti iklan susu untuk lansia: duduk manis di taman, menonton cucu bermain, dan minum susu tinggi kalsium.

    Tapi siapa bilang tua itu selalu damai?

    Puisi ini tidak mengizinkan ilusi itu hidup. Ia membuka pintu menuju lorong-lorong sempit realitas usia 70: kesepian, penyakit, rumah besar yang sepi, anak-anak yang sibuk sendiri, istri yang makin cerewet, prostat yang rewel, dan cucu yang tak mengerti bahwa kakeknya dulu pernah jadi singa.

    Dan ketika semua itu ditulis dengan gaya usil, centil, bahkan comical, kita justru merasa lebih terhubung. Slamet menyadari bahwa menua adalah tragedi perlahan, dan satu-satunya cara menghadapinya adalah dengan ketawa keras-keras sambil memegang tongkat.

    Lelaki, Maskulinitas, dan Krisis Usia

    Dalam banyak fragmen, kita bisa merasakan betapa lelaki yang menjadi narator dalam puisi ini sedang mencoba berdamai dengan gagalnya maskulinitas klasik. Dahulu ia kuat, perkasa, dicintai istri, disegani anak. Sekarang? Ia “melihat barang bening, mata nakal, pikiran binal” tapi “maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai.” Ini bukan sekadar lelucon cabul. Ini adalah pengakuan patah hati terhadap tubuh sendiri.

    Ia menulis prostat dengan gaya komik strip, tapi rasa frustasinya real. Ia menulis menopause istri bukan sebagai cercaan, tapi sebagai simetri dari penderitaannya sendiri. Ini puisi yang setara dalam derita — dan karena itu terasa begitu manusiawi.

    Melalui frasa-frasa komikal, Slamet secara tak langsung membongkar mitos lelaki super: bahwa menjadi lelaki sejati bukanlah tentang selalu bisa, tapi tentang selalu mencoba — meski dengan tubuh yang nyaris rongsok.

    Nada Balada, Tapi Nggak Galau

    Kata “balada” dalam judul seakan memberi janji akan kesedihan, petikan gitar, dan air mata yang jatuh ke atas foto usang. Tapi Slamet jelas sedang main-main. Ini bukan balada seperti lagu Ebiet G. Ade. Ini balada versi slapstick comedy — lebih dekat ke Project Pop daripada Kahlil Gibran.

    Namun justru karena itulah kita bisa melihat kepedihannya dengan lebih jelas. Tawa yang dipicu puisi ini bukan tawa kosong, tapi tawa yang tahu: “Ah, iya juga ya… gua nanti gini juga, nih.” Slamet tidak sedang membuat sindiran sosial, ia sedang menyusun survival kit usia senja — lengkap dengan sarkasme, sentilan, dan kadang, rayuan ngasal.

    Bahasa Sehari-Hari, Makna yang Tak Sepele

    Bait demi bait puisi ini dibangun dengan bahasa yang sangat “Indonesia sehari-hari”. Tidak ada metafora berat, tidak ada permainan diksi berlapis. Tapi itulah kekuatannya. Karena makna yang muncul bukan dari kemewahan bahasa, melainkan dari kesederhanaan jujur yang terasa.

    Contoh kecil: “Celakanya…. Saat muda mau makan enak duit tak ada. Saat tua duit ada makan enak tak bisa. Itu namanya apes.” — Ini kalimat yang bisa dilontarkan siapa saja di warung, tapi ketika ditaruh dalam konteks puisi, ia menjadi elegi kocak tentang keterlambatan hidup.

    Slamet berhasil menempatkan trivialitas dalam tempat yang agung — seperti bagaimana puisi bisa membuat hal receh jadi refleksi.

    Kritik Lembut Terbungkus Ketawa

    Dalam setiap tawa yang ditawarkan puisi ini, ada kritik sosial yang nyempil — dan kadang menyengat.

    Ada kritik terhadap sistem pendidikan (kuliah sambil kerja keras), terhadap peran gender (istri cerewet = dari sononya, ya terima saja), terhadap kapitalisme keluarga (warisan bisa jadi bencana), hingga terhadap ekspektasi orang tua terhadap anak.

    Tapi semua kritik itu tidak dilempar seperti batu, melainkan diselipkan seperti cabe rawit dalam nasi goreng. Kita terpingkal dulu, baru merasa pedas. Dan itulah gaya sastra yang jarang ditemui dalam puisi Indonesia kontemporer: komedi sebagai pelumas kesadaran.

    Jadi, puisi ini sebenarnya apa?

    Ia adalah semacam surat cinta dari masa depan — ditulis dengan tangan yang gemetar, tapi pikiran yang masih segar. Ia adalah pengingat bahwa menjadi tua bukan berarti berhenti jadi manusia. Bahkan mungkin, justru di usia 70-lah kita bisa jadi manusia seutuhnya: rapuh, rewel, komikal, tapi tetap penuh cinta.

    Dan seperti kata Slamet, “Manusia diciptakan berbeda. Justru itulah keindahan.”

    • Lelaki Tua, Cucu Lucu, dan Istri Menopause: Balada Libido yang Dikebiri Waktu

    “Bahagianya dekat cucu / karena dulu dengan anak kita tak dekat.”

    Boom. Dua baris pembuka dari fragmen #1 ini sudah cukup untuk membuat kita berhenti ngunyah camilan dan terdiam sejenak. Karena di tengah tawa dan gaya centil puisi ini, A. Slamet Widodo menaruh bom emosi yang meledak dalam diam. Dan seperti biasa, ia menyelipkannya dengan gaya sok santai, seolah semua itu bisa dibicarakan sambil garuk-garuk kepala.

    Cucu, Karma yang Lucu

    Fragmen ini membuka paradoks yang khas: saat muda, terlalu sibuk bekerja dan mengejar hidup, waktu untuk anak hampir tak ada. Tapi ketika sudah tua, cucu justru jadi sumber kebahagiaan. Kenapa? Karena kini waktu tersedia, beban berkurang, dan kita jadi bisa memainkan peran kakek yang “ramah dan penuh cinta” — peran yang dulu tak sempat dimiliki sebagai ayah.

    Puisi ini, meskipun ringan, menggambarkan dengan detail rasa bersalah tersembunyi para orang tua generasi lama — mereka yang membesarkan anak-anaknya lewat pengorbanan, tapi minim kehadiran. Kini, cucu adalah semacam kompensasi batin. Seperti dikatakan oleh para psikolog pop di media sosial: cucu adalah kesempatan kedua untuk mencintai tanpa distraksi cicilan.

    Tidur dengan Nenek-Nenek: Punchline Tanpa Sensor

    “Kita sudah tidur dengan nenek-nenek,” tulis Slamet, dengan gaya setenang orang menulis daftar belanja. Dan kita pun tertawa. Tapi tawa ini tidak polos. Ia tawa yang menggeliat dari kenyataan absurd: kita semua menua, termasuk pasangan kita.

    Baris ini bisa dianggap nyeleneh, atau bahkan ofensif, kalau dibaca dengan cara yang kaku. Tapi Slamet bukan misoginis. Ia tidak sedang mengejek perempuan lansia — ia sedang memotret relasi yang berubah oleh waktu. Dulu pasangan kita adalah gadis muda, kini sama-sama sudah ubanan. Dulu ranjang adalah tempat gairah, kini tempat tidur adalah panggung kompromi biologis.

    Dan di situlah letak komedinya: bukan pada fisik yang berubah, tapi pada kesadaran bahwa nafsu tidak pensiun — ia hanya tak punya tempat parkir yang layak.

    Menopause, Prostat, dan Libido yang Tak Sinkron

    “Istri juga mulai malas melayani kita / kalau melayani setengah terpaksa / menopause bikin susah menikmatinya.”
    “Akibatnya kita kena prostat…”

    Ah, dialog internal ini terasa seperti rekaman curhat para pensiunan di warung kopi. Apa yang kita hadapi di sini adalah potret realistis dari cinta lansia: tidak ada lagi musik violin, tidak ada lagi lilin-lilin romantis, yang ada hanya dua tubuh renta yang saling mengerti — kadang saling jengkel.

    Menopause digambarkan dengan ringan, bahkan jenaka. Tapi jelas sekali ini bukan puisi yang mempermainkan penderitaan perempuan. Ini justru bentuk penerimaan: bahwa relasi seksual dalam pernikahan bukan hanya soal “bisa atau tidak”, tapi soal “saling memahami”. Dan ini tidak hanya terjadi pada istri — sang lelaki pun kena tulahnya: prostatnya rewel, gairahnya lebih banyak mengendap di kepala ketimbang berlanjut di tubuh.

    Barangkali inilah puisi erotis paling jujur yang ditulis oleh penyair Indonesia dalam dua dekade terakhir.

    Barang Bening, Mata Nakal, Pikiran Binal

    Tapi, meskipun tubuh melambat, imajinasi tidak. Slamet menggambarkan bagaimana mata lelaki tetap “nakal”, dan pikiran “binal”. Tapi semua itu hanya berhenti di batas fantasi. “Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai.”

    Kalimat ini, selain menjadi referensi langsung pada pepatah lama, juga menjadi metafora menyentuh dari realitas lansia: banyak yang masih ingin, tapi tak lagi mampu. Keinginan menjadi hantu lucu — ia berkeliaran di kepala, tapi tak punya rumah untuk pulang.

    Namun, penting dicatat bahwa Slamet tidak menjadikan ini sebagai ratapan. Ia menertawakan dirinya sendiri — dan mengajak kita ikut tertawa. Karena kadang, satu-satunya cara menyelamatkan harga diri adalah dengan membuatnya jadi lelucon yang kita kuasai duluan.

    Dari Macho ke Mesem

    Dahulu, lelaki adalah pemangsa dunia. Ia perkasa, ia punya tenaga, ia jadi kepala keluarga dan pahlawan ekonomi. Tapi kini, semua itu menguap pelan-pelan. Tubuh melemah, otot lunglai, sorot mata tidak lagi tajam. Dan ketika pasangan juga sudah enggan melayani — bukan karena tak cinta, tapi karena sama lelahnya — maka relasi berubah. Cinta tidak lagi tentang aksi, tapi tentang akomodasi.

    Dan di sinilah puisi ini menyentuh titik emasnya. Ia tidak memaksakan narasi maskulinitas tua yang masih sangar. Ia justru menerima kenyataan bahwa menjadi lelaki tua adalah tentang kehilangan dan keterbatasan — tapi juga tentang kebijaksanaan baru.

    Macho sudah mati. Tapi mesem — senyum sabar dan nakal — masih bisa jadi senjata terakhir.

    Cinta yang Bertahan Karena Humor

    Apa yang membuat pasangan lansia tetap bisa bertahan dalam pernikahan selama 40-50 tahun? Jawabannya bukan romansa. Bukan bunga atau cokelat. Tapi humor.

    Dan puisi ini membuktikannya. Dalam kejujuran tentang seks yang tidak semeriah dulu, tentang istri yang mulai “bawel” dan lelaki yang mulai “impoten pikiran” — semua itu ditulis dengan tawa. Tawa yang bukan menyembunyikan luka, tapi membuat luka itu bisa dihadapi.

    Seperti dua orang tua yang rebutan remote TV: bukan karena filmnya penting, tapi karena rebutan itulah yang membuat rumah tidak sunyi.

    Perspektif Feminis? Justru Iya.

    Mungkin ada yang bertanya-tanya: apa puisi ini tidak terlalu menertawakan perempuan lansia? Apakah ada kesan seksis?

    Jawabannya: tidak.

    Justru puisi ini memperlihatkan bagaimana perempuan lansia tetap punya otonomi tubuh — mereka boleh lelah, boleh malas melayani, dan itu tidak dijadikan aib. Istri dalam puisi ini bukan objek, tapi partner yang setara: bisa menolak, bisa marah, bisa mengeluh. Bahkan dibilang makin cerewet, makin cemburuan — dan si lelaki tidak mengeluh, cuma mesem.

    Dan bukankah itu cinta? Menerima pasangan bukan sebagai ideal, tapi sebagai manusia seutuhnya — lengkap dengan mood swing, fluktuasi hormon, dan menu makanan yang makin aneh tiap hari.

    Lelaki Tua yang Tidak Malu

    Hal paling berani dari puisi ini adalah keberanian untuk tidak malu.

    Tidak malu mengakui bahwa dulu tidak punya waktu untuk anak.
    Tidak malu mengatakan bahwa hasrat masih ada tapi kemampuan menipis.
    Tidak malu mencatat bahwa tidur kini adalah prestasi terbesar.
    Dan yang paling penting: tidak malu menjadi tua.

    Dalam budaya yang terobsesi pada awet muda, botox, gym, dan gaya hidup “forever 39”, puisi ini berdiri seperti patung perunggu di tengah taman — karatan tapi kokoh. Ia menunjukkan bahwa ada kebanggaan menjadi tua, kalau kita tahu bagaimana menertawakannya dengan elegan.

    Akhirnya: Inilah Lelaki 70-an yang Sebenarnya

    Bukan lelaki yang menyembunyikan keriput dengan serum wajah.
    Bukan yang menyamarkan uban dengan cat rambut murah.
    Bukan yang menutupi prostat bengkak dengan cerita bohong tentang “masih aktif”.

    Tapi lelaki yang mengatakan: “Ya, saya tua. Saya sudah tidur dengan nenek-nenek. Saya masih suka lihat barang bening. Dan ya, saya tidak bisa memeluk gunung lagi.”

    Lelaki yang kalah dari waktu, tapi menang dalam kejujuran.

    Dulu Melarat, Kini Sarjana: Universitas Kehidupan, Fakultas Bertahan Hidup

    “Ya ya dulu banyak di antara kita
    Orang tua kita melarat”

    Kata “melarat” di bait awal fragmen ketiga ini disajikan dengan nada seperti menyebut “ya ampun, waktu itu kita belum punya AC ya.” Padahal kenyataan yang disinggung bukan sekadar kekurangan materi, tapi kondisi struktural: kemiskinan yang sistemik, diolah jadi lelucon dengan gaya khas bapak-bapak pensiunan—senyum getir yang ditutup tawa receh.

    A. Slamet Widodo kembali menulis dengan gaya “serius tapi santai”, bercerita seperti seorang narator usil di tenda reuni SMA yang tak pernah kehilangan daya nyindir. Bedanya, kali ini topik yang diangkat bukan tentang libido, bukan cucu lucu, tapi tentang akar kerasnya kehidupan.

    Moto Orang Tua Dulu: Banyak Anak, Banyak Rezeki

    Kita bisa bayangkan ekspresi si narator saat menyebut moto ini: seperti seseorang yang sedang membongkar pepatah dengan mimik satir. Kalimat ini ditaruh di tengah bait seolah hanya cuplikan nostalgia, tapi sebenarnya itu sebuah pukulan lambat. Sebuah kritik pada warisan ideologi yang menjadikan anak sebagai investasi ekonomi, padahal yang dihasilkan kadang justru “hidup berat dan melarat”.

    Ini bukan sekadar protes terhadap pola pikir generasi sebelumnya, tetapi juga refleksi intergenerasional. Dengan satu kalimat, Slamet mengangkat perdebatan klasik antara nasib dan pilihan — bahwa menjadi miskin bukan hanya karena takdir, tapi kadang karena filosofi yang salah arah.

    Namun, penyair ini tidak menyalahkan. Ia hanya mengingatkan. Dengan nada seperti kakek yang bilang, “Dulu sih kita kira begitu… sekarang mah udah nggak relevan.”

    Kuliah Sambil Nguli: Sarjana Bertulang Baja

    “Kita bisa kuliah di universitas / Itu sebuah keberuntungan
    Kebanyakan kita kuliah / Dengan biaya sendiri”

    Barangkali inilah bagian puisi yang paling menyentuh dan merangkum semangat generasi pasca-revolusi. Ini bukan tentang prestise gelar sarjana, tapi tentang cara mendapatkannya: sambil mengajar, sambil nyopir taksi, sambil jual celana beli nasi.

    Slamet memetakan lanskap ekonomi mahasiswa zaman dulu — tidak mengenal privilege, tidak punya beasiswa startup, apalagi orang tua yang bisa membayarkan uang pangkal. Mereka menghidupi kuliah dari kerja, dan hidup dari kuliah itu sendiri.

    Lalu muncullah bait legendaris ini:

    “Bahkan ada yang dipelihara tante-tante.”

    Boom. Satu baris ini menjungkirbalikkan segala romantisme tentang perjuangan mahasiswa. Jujur, gamblang, dan ya — sangat satir. Slamet tidak sedang mengolok, tapi membuka fakta yang sering disembunyikan: bahwa kelulusan kadang lahir dari keterpaksaan, kelicikan, bahkan kompromi moral. Tapi ia menyebutnya dengan gaya “kita semua tahu ini ada” — tanpa menghakimi, tanpa mengkultuskan.

    Bait ini mengandung kebijaksanaan usil: kalau hidup adalah soal bertahan, maka cara apa pun yang tidak melukai orang lain adalah valid. Bahkan kalau harus di-sponsor tante.

    Sarjana yang Merangkak: Dari Kereta Api ke Kereta Hidup

    “Kita merangkak dari bawah
    Berjuang menjadi kepala kereta api
    Menggeret gerbong keluarga”

    Perumpamaan kereta ini sangat indah sekaligus jenaka. Si narator bukan lagi kepala keluarga, tapi kepala kereta keluarga — yang artinya: bukan hanya memimpin, tapi juga menarik beban berat, terus-menerus, dengan tenaga sendiri. “Gerbong keluarga” bukan sekadar istri dan anak, tapi juga saudara, orang tua, bahkan mungkin tetangga.

    Kita bisa bayangkan lelaki 70-an yang dulu pernah menjadi tumpuan seluruh ekosistem hidup: gajinya jadi tiang ekonomi, tenaganya jadi pelumas keluarga besar. Tapi mereka tidak mengeluh. Dalam puisi ini, pengorbanan diucap dengan ringan, seperti menyebut “ya begitulah hidup dulu” sambil menyeruput kopi pahit.

    Bahkan kalimat “kita tak mengeluh dan mengaduh” tak terdengar sebagai kalimat pahlawan. Itu lebih terdengar seperti lirih bapak-bapak yang sudah terlalu sering mengurut punggung sendiri. Ada rasa bangga di sana, tapi juga kelelahan yang tidak pernah sempat istirahat.

    Narasi Heroik Tanpa Heroisme

    Yang menarik dari fragmen ini adalah: meski jelas menggambarkan perjuangan yang heroik, Slamet tidak menulisnya dalam nada kemenangan. Tidak ada glorifikasi. Tidak ada “kita adalah generasi emas yang paling tangguh”.

    Justru sebaliknya. Ia menulis seperti seseorang yang heran: “Loh, kok bisa ya dulu begitu? Gila juga sih.”

    Dan dalam cara itu, puisinya menjadi dokumenter sosial — tentang bagaimana sarjana-sarjana generasi 70-an lahir bukan dari kenyamanan, tapi dari kompromi, keculasan kecil, kerja ekstra, dan kadang, keberuntungan.

    Dengan nada jenaka dan nada “ngeles elegan”, Slamet menyelamatkan puisi ini dari jebakan nostalgia.

    Realitas Sosial Ekonomi yang Disisipkan Ringan

    Coba kita bayangkan puisi ini dibaca dalam forum diskusi ekonomi — mungkin akan dianggap terlalu remeh. Tapi di balik lelucon “jual celana beli nasi” dan “dipelihara tante-tante”, ada gambaran serius tentang ketimpangan pendidikan, hilangnya dukungan sosial, dan kegagalan negara menciptakan sistem yang adil.

    Slamet tidak menyebut pemerintah. Tidak menyalahkan sistem. Tapi dalam bait-baitnya, kita tahu bahwa struktur sosial yang timpang sedang ditertawakan. Dengan cara yang halus. Dengan cara yang membuat pembaca meringis: “Iya juga ya… Dulu kita survive gitu amat.”

    Puisi Sebagai Bukti Lulus Kehidupan

    “Alkhamdulillah lulus”

    Dua kata ini mengakhiri satu bagian puisi dengan tenang — nyaris seperti gumaman di pengajian kecil. Tapi kalimat ini, ditaruh setelah rentetan perjuangan luar biasa, menjadi lebih dari sekadar syukur.

    Ia adalah pengakuan bahwa kadang, kita tidak tahu bagaimana kita sampai di sini. Tidak ada strategi besar. Tidak ada rencana jangka panjang. Hanya kerja, kerja, kerja… dan berdoa semoga cukup.

    Dan karena itu, puisi ini lebih jujur daripada buku motivasi mana pun.

    Balada Melarat yang Tak Pernah Meratap

    Mungkin kekuatan terbesar dari bagian ini adalah: tidak ada ratapan. Padahal isinya adalah kehidupan keras, sistem timpang, nasib yang acak, dan realitas ekonomi yang tidak adil.

    Tapi si penyair tidak minta kasihan.

    Dia cuma bilang: “Dulu kita kerja sambil kuliah, kita bisa lulus, bisa hidup, bisa membiayai saudara, bisa menyekolahkan anak, bisa makan enak… ya, meskipun kadang lewat tangan tante.”

    Inilah puisi yang tidak mendongeng, tidak menggurui, tidak menjilat masa lalu. Ia hanya bercerita, dan membiarkan pembacanya tertawa dulu, baru berpikir.

    Lelaki 70-an Adalah Simbol Generasi Tangguh

    Ada satu hal yang harus kita akui dari bagian ini: bahwa lelaki-lelaki 70-an, dalam segala kekurangan dan keusilan mereka, adalah generasi paling tangguh yang pernah dimiliki negeri ini. Mereka adalah saksi hidup dari transformasi Indonesia — dari masa melarat, ke zaman kapitalisme canggih, dan kini memasuki dunia digital yang nyaris tak ramah bagi mereka.

    Dan mereka semua melalui itu dengan senjata yang paling sederhana: tekad. Dan kadang… humor.

    Mereka mungkin tak tahu NFT, tidak punya akun TikTok, dan masih menyebut laptop sebagai “komputer kecil”. Tapi mereka tahu cara hidup. Dan puisi ini adalah bukti sahihnya.

    Bos Nyontekan dan Rezeki yang Main Petak Umpet

    “Yang pinter jadi peneliti atau dosen
    Yang malas dan nyontekan jadi bos”

    Kalimat pembuka fragmen keempat ini langsung bikin kita terbatuk, bukan karena salah telan kopi, tapi karena kena batunya. Dalam dua baris, A. Slamet Widodo menampar struktur sosial modern — khususnya di Indonesia — dengan gaya anak tongkrongan: cuek tapi telak.

    Ini bukan sekadar sindiran. Ini adalah pengakuan bahwa meritokrasi kita memang penuh ilusi. Bukan soal siapa yang paling pintar, paling rajin, atau paling etis. Tapi siapa yang paling lihai membaca peluang, paling tebal muka, dan punya kenalan “orang dalam”.

    Kalimat itu seharusnya dijadikan kutipan di kaus reuni alumni universitas. Sebab semua orang tahu, hanya sedikit dari yang pintar jadi pemimpin. Sisanya? Dapat nasib nyungsep, atau kerja sama bos yang IPK-nya diragukan.

    Dari Sarjana ke Dunia Nyata: Antiklimaks Besar-Besaran

    Puisi ini masuk ke fase pasca kelulusan — di mana realitas kerja menampar lebih keras daripada skripsi yang revisinya lima kali. Dunia kerja bukan tentang kecerdasan, tapi nyali. Bukan tentang prestasi, tapi impresi.

    “Yang jadi wira swasta
    Mentalnya harus jadi orang kaya
    Modalnya nyali dan doa”

    Bait ini bisa dijadikan brosur seminar motivasi. Tapi karena ditulis dengan ironi, ia berubah menjadi kritik gaya hidup hustling yang mewabah: kerja keras tanpa henti demi “kelihatan sukses”.

    Bahkan saat menyebut “nggak ada waktu buat anak-istri”, narator tidak menampik — ia justru menyuguhkan fakta pahit ini dengan nada getir: sukses kadang menuntut biaya sosial yang mahal.

    Sukses itu, kalaupun datang, sering kali bukan karena “usaha keras” semata, tapi karena kombinasi timing, koneksi, dan sedikit keberuntungan. Maka tak heran kalau Slamet menulis:

    “Rejeki tak bisa dikejar
    Kalau waktunya tiba
    Rejeki datang sendiri”

    Logika Jaya-Jatuh yang Absurd, Tapi Relatable

    “Jatuh bangun lagi
    Jatuh bangkit lagi”

    Di sinilah kekuatan puitik Slamet terasa: ia memotret siklus usaha dengan irama pop, seperti penggalan lagu dangdut. “Jatuh bangun” bukan sekadar kondisi ekonomis, tapi mentalitas hidup generasi 70-an: sabar, ulet, tahan banting.

    Dalam dunia hari ini yang serba cepat, para pekerja muda terbiasa mengganti pekerjaan setiap dua tahun. Tapi generasi si penyair ini tumbuh dengan kesetiaan pada proses, bukan hasil. Dan dalam puisi ini, mereka tidak merasa kalah. Hanya sedikit lelah — dan itu pun ditertawakan sendiri.

    Ketika hidup akhirnya “mapan” (rumah ada, mobil ada, piknik luar negeri sudah), narator tidak bersorak. Ia malah melempar punchline:

    “Piknik ke puskesmas
    (pusat kesenangan mas-mas)”

    Coba baca itu keras-keras. Rasanya seperti lelucon Pakde yang terlalu pintar untuk jadi serius, dan terlalu tua untuk ditolak.

    Puskesmas Jadi Destinasi Wisata

    Bagian ini adalah mahakarya satire. Puisi yang semula bicara tentang perjuangan hidup, ujung-ujungnya menertawakan betapa ironi kehidupan modern: setelah kerja keras puluhan tahun demi bisa piknik ke luar negeri, akhirnya yang paling sering dikunjungi adalah… Puskesmas.

    Dan, dengan gaya khas penyair-parodi, Puskesmas dijabarkan bukan sebagai pusat kesehatan, tapi sebagai “pusat kesenangan mas-mas”.

    Kita tahu ini main kata. Tapi lebih dari itu, ini juga main makna. Bahwa puncak pencapaian generasi ini bukan hanya stabilitas ekonomi, tapi ketahanan mental menerima kenyataan: tubuh tak bisa diajak kompromi, walau dompet sudah cukup tebal.

    Humor Kesehatan: Satir yang Menenangkan

    Dalam kebudayaan kita, membicarakan penyakit sering dianggap tabu atau beban. Tapi Slamet justru menulisnya seperti menceritakan menu makan siang.

    Dengan santai ia menyebut kunjungan ke Puskesmas sebagai aktivitas rutin. Tidak ada nada kasihan. Tidak ada penggalangan simpati. Hanya ada fakta yang dibalut guyon: makin tua, makin sering ke dokter. Dan itu… biasa saja.

    Barangkali ini pelajaran penting dari puisi ini: bahwa umur bukan untuk diratapi, tapi untuk diterima dengan tawa. Bahwa kalau tubuh sudah tidak bisa lari, paling tidak pikiran masih bisa joget-joget.

    Orang Sukses Tidak Selalu Bahagia

    Fragmen ini juga menelanjangi ilusi “sukses = bahagia”. Narator telah mencapai banyak hal: punya harta, keluarga, pendidikan. Tapi tetap saja, yang diceritakan adalah kekosongan kecil di antara kepadatan pencapaian.

    Ada rumah, tapi sepi. Ada uang, tapi waktu habis. Ada anak, tapi relasi renggang. Semua ini diceritakan tanpa drama. Hanya dengan satu aliran cerita ringan, seolah-olah sedang menyusun laporan kas bulanan.

    Dan dari sinilah, puisi ini menjadi relevan lintas generasi. Sebab kegelisahan narator adalah kegelisahan universal: bahwa apa pun pencapaian kita, selalu ada rasa “kok tetap kurang ya?”

    Slamet tidak menawarkan solusi. Tapi ia menawarkan ketenangan: minimal kita bisa menertawakan absurditas hidup ini. Itu saja sudah cukup jadi bekal hari tua.

    Moralitas yang Tidak Menggurui

    Biasanya, kalau sudah membahas sukses dan rezeki, penyair atau penulis langsung terdorong menjadi filsuf dadakan: menceramahi tentang keikhlasan, kebajikan, dan tawakal. Tapi Slamet justru menolak jadi ustaz.

    Ia lebih suka membiarkan nasihat muncul sebagai bagian dari lelucon:

    “Rejeki tak bisa dikejar
    Kalau waktunya tiba
    Rejeki datang sendiri
    Tapi kalau tanpa usaha
    Mana mungkin menghampiri”

    Lihat bagaimana ia menyisipkan logika spiritual sekaligus logika praktis dalam satu napas. Tak ada dogma, tak ada ancaman, hanya pengingat bahwa hidup adalah simbiosis antara kerja keras dan pasrah. Dan, tentu saja, diselipi dengan gaya “ya udahlah, jalanin aja”.

    Kemenangan Tanpa Sorak-Sorai

    Akhir bagian ini terasa seperti puncak kecil yang diucapkan pelan:

    “Sejak umur empat puluhan
    Kita banyak yang sudah mulai terjaga
    Rumah mobil tanah sudah ada
    Piknik keluar negeri mengalaminya
    Makan mahal dan nginap di hotel mewah
    Kita sudah menikmatinya”

    Tapi semuanya dikembalikan ke konteks tubuh: “piknik ke puskesmas”. Sebab sukses materi hanyalah satu dimensi. Dimensi lainnya adalah kesehatan, cinta, dan — yang paling penting — keberanian tertawa saat semua tak lagi semegah yang dibayangkan.

    Di sinilah kita melihat konsistensi A. Slamet Widodo sebagai penyair: ia tidak pernah membuat puisinya naik panggung. Puisinya selalu di trotoar — berjalan kaki bersama pembacanya, ngobrol santai, sesekali nyeletuk usil.

    Dan karena itu, puisinya terasa begitu akrab.

    Kita Semua Akan ke Sana (Kalau Beruntung)

    Kalau ada satu pelajaran yang bisa diambil dari fragmen ini, barangkali adalah: sukses itu tidak ada rumusnya. Yang ada hanya kesadaran bahwa hidup adalah percampuran antara keberanian, usaha, dan ketidaksengajaan.

    Dan di usia 70, satu-satunya pencapaian yang benar-benar penting adalah: kita masih bisa tertawa tentang semuanya.

    Simpan Duit, Jual Rumah, Masuk Panti: Pensiun adalah Seni Melepaskan (Dengan Gaya)

    “Waktunya menjaga harta yang kita dapatkan
    Dan melepas perlahan sesuai kebutuhan”

    Lelaki yang dulu gagah menarik gerbong keluarga, kini menjadi manajer harta pribadi. Tidak ada lagi target tahunan, tidak ada deadline proyek, tidak ada bos cerewet — tinggal ada daftar pengeluaran, harga obat terbaru, dan obrolan mingguan soal harga minyak goreng dan inflasi.

    Ini adalah fragmen tentang realitas finansial lansia, ditulis bukan dengan bahasa bank atau seminar perencanaan keuangan, melainkan dengan gaya satire kasual: seperti ngobrol di teras rumah sambil ngupas salak dan mencatat biaya listrik bulan ini yang “aneh banget padahal AC jarang nyala.”

    Ketika Pensiun Tak Lagi Glamor

    Bayangan pensiun sering dijual dengan visual: laki-laki paruh baya mengenakan topi fedora, berdiri di atas dek kapal pesiar sambil minum kopi organik. Tapi dalam puisi ini, kenyataan pensiun justru ditulis sebagai fase merapikan, mengarsipkan, dan… melepas.

    Slamet tidak menyodorkan mimpi. Ia menyodorkan excel sheet kehidupan: tabungan, aset, kebutuhan bulanan, cadangan darurat, bahkan ancaman penyakit yang “biayanya seperti mobil tua”.

    Kalimat seperti ini:

    “Taruh dana di deposito
    Pilih bank meyakinkan
    Walau kecil bunganya tapi aman”

    …lebih mirip nasihat Pakde-Pakde di forum WAG keluarga, tapi ditulis dengan liris. Dan inilah uniknya puisi ini: ia bisa menyulap dunia financial planning yang kering jadi bahan bacaan yang renyah.

    Rumah Impian, Kini Terlalu Sepi

    “Rumah kita yang besar dan luas
    Kalau terpaksa kita lepas”

    Ah, ini dia. Momen haru kecil dari kehidupan urban kelas menengah: rumah besar yang dulu dibangun sebagai simbol pencapaian, kini menjadi monumen kesunyian.

    Anak-anak sudah keluar rumah. Istri dan suami hanya tinggal berdua — kadang bahkan bukan berdua secara emosional, tapi hanya fisik: satu nonton drama Korea, satu nonton berita kriminal. Rumah menjadi kosong, ruang tamu jadi museum, dan dapur hanya hidup separuh waktu.

    Puisi ini dengan berani menyentil satu mitos masyarakat modern: bahwa rumah besar adalah tujuan. Tapi begitu sampai sana, ternyata terlalu luas untuk dua orang yang mulai lupa di mana mereka menyimpan kacamata sendiri.

    Dan akhirnya muncul tawaran pahit-manis: pindah ke apartemen. Atau…

    Panti Jompo, Bukan Tempat Buangan Tapi Upgrade Hidup?

    “Kita harus bersiap tinggal di panti jompo
    Tidak perlu gengsi, tidak perlu malu”

    Ini adalah kalimat revolusioner — terutama dalam budaya kita yang menganggap panti jompo sebagai tempat terakhir, tempat “anak durhaka menitipkan orang tuanya.” Tapi Slamet membalik perspektif itu.

    Panti jompo digambarkan bukan sebagai neraka sunyi, tapi sebagai tempat dengan fasilitas lengkap, suster siap siaga, dokter langganan, makanan sehat, dan — mari kita jujur — tak perlu bayar PLN.

    Lebih dari sekadar pilihan, puisi ini menawarkan panti jompo sebagai strategi: solusi hidup realistis saat tubuh sudah malas naik tangga dan pengeluaran rumah tangga makin tak efisien.

    Dan kalimat ini menyentuh:

    “Anak-anak kita
    Belum tentu punya waktu mengurus kita
    Seperti kita mengurus mereka”

    Boom. Tanpa drama. Hanya fakta. Disampaikan dengan tenang, tanpa menyalahkan anak-anak, hanya menyadari batasan generasi baru.

    Biaya Rumah vs. Biaya Hidup: Kalkulasi yang Mengubah Hati

    “Rumah kita membebani
    Biaya listrik, air, dan iuran sarana… besar”

    Slamet mengajak kita berhitung — tapi bukan dalam suasana panik. Ia mengajak kita menyadari bahwa romantisme rumah tinggal, mimpi punya “rumah seluas istana”, tidak selamanya relevan.

    Dalam puisi ini, rumah yang besar justru terasa seperti kutukan: butuh pembantu, butuh sopir, butuh biaya. Sementara tubuh makin letih. Dan kalau kita tidak berani melepas, kita malah “memelihara museum pribadi” yang menelan energi dan uang.

    Maka, dalam bait-bait yang terasa seperti stand-up comedy keuangan, muncul kata-kata bijak:

    “Kalau terpaksa kita lepas
    Kita beli rumah yang kita butuhkan
    Bukan yang kita impikan”

    Cerdas. Dan ini adalah bentuk kedewasaan finansial paling tinggi: bukan soal menambah aset, tapi memilih apa yang perlu dipertahankan.

    Empat L: Lu Lagi Lu Lagi

    “Anak-anak sudah meninggalkan rumah
    Kita sudah empat L: lu lagi… lu lagi”

    Kalimat ini lucu, sederhana, dan… menyayat.

    Empat L bukan sekadar gurauan bapak-bapak pensiun. Itu adalah distilasi realitas rumah tangga lansia: bahwa setelah anak-anak tumbuh dan pergi, hanya tersisa dua sosok yang harus saling menatap — dan saling sabar.

    Slamet menggambarkan relasi ini bukan dengan romansa manis ala novel percintaan, tapi dengan gaya warung kopi: saling cemberut, nonton acara beda, tapi tetap sekamar. Dan itu, menurut puisi ini, cukup.

    Karena di usia 70, cinta bukan lagi tentang bunga dan pujian. Tapi tentang siapa yang tahu obat kita sudah diminum atau belum.

    Ketika Kesehatan Jadi Ukuran Kekayaan

    “Ya ya ternyata makin tua
    Kita makin kaya
    Makin kaya penyakit… betul?”

    Kalimat ini terdengar seperti punchline dari acara lawak, tapi begitu dibaca ulang, ia menghantam dengan keras. Karena, ya, kita tahu: tabungan medis, asuransi, obat rutin, check-up — semua menguras.

    Lalu muncullah definisi kesehatan versi puisi ini:

    “Tidur nyenyak
    Makan enak
    Dan lancar berak… betul?”

    Ini, para pembaca sekalian, adalah bait paling jujur dalam sejarah puisi lansia. Kesehatan di usia tua bukan tentang lari 10K atau diet keto. Tapi soal peristiwa-peristiwa biologis sederhana yang — kalau terjadi tanpa drama — sudah cukup membuat hidup bahagia.

    Tidur nyenyak, makan tanpa mulas, dan buang air besar tanpa drama. Itulah emas sesungguhnya.

    Humor sebagai Alat Bertahan Hidup

    Membaca bagian ini seperti mendengarkan suara seorang lelaki tua yang tidak pernah kehilangan selera humor. Seperti mendengarkan tetangga sebelah yang baru saja selesai mengukur tekanan darah, lalu bilang, “Lumayan, cuma 160, masih hidup.”

    Slamet mengajarkan satu prinsip: kalau hidup tidak bisa dikendalikan, paling tidak bisa diketawain. Maka, puisi ini bukan sekadar nasihat keuangan. Ia adalah panduan spiritual survival — ditulis dengan format lirik, dibungkus kelakar, dan disajikan dengan santun.

    Menjadi Tua, Menjadi Ringan

    Di tengah obsesi dunia terhadap akumulasi (uang, rumah, prestasi, pengaruh), puisi ini mengajak kita berlatih satu hal: melepas.

    Bukan sebagai tanda menyerah, tapi sebagai tanda cukup.

    Melepas rumah besar. Melepas ekspektasi anak. Melepas mimpi-mimpi yang sudah tidak perlu dibawa tidur. Bahkan mungkin, melepas gengsi masuk panti — kalau itu lebih baik.

    Dan dalam semuanya, si narator tidak meminta dikasihani. Ia hanya menyuguhkan kenyataan, dan sesekali mengangkat alis sambil tersenyum.

    Anak-Anak Galak, Cucunya Apalagi: Orang Tua Zaman Old dan Beban yang Tak Mau Pensiun

    “Celakanya…
    Saat muda mau makan enak duit tak ada
    Saat tua duit ada makan enak tak bisa”

    Kalimat ini seperti tweet viral yang menyentuh hati siapa pun yang pernah duduk termenung di restoran mahal sambil nunggu tekanan darah turun dulu sebelum makan gulai. Bait ini adalah ironi hidup yang dibungkus humor tragis: betapa hidup seperti lelucon raksasa yang mencandai manusia dengan komposisi tak adil — saat kita punya keinginan, kita tak punya daya; saat kita punya daya, keinginan sudah lewat masa berlaku.

    A. Slamet Widodo menuliskannya tanpa banyak efek puitik. Ia tidak perlu metafora. Ia cuma perlu realitas. Dan realitas yang jujur memang tak butuh banyak hiasan.

    Polisi Keluarga: Istri dan Anak yang Galak

    “Polisinya istri dan anak
    Mereka galak semua
    Ini dilarang itu dilarang”

    Nah, ini dia: generasi sandwich level akhir. Dulu, orang tua menjadi otoritas, pemberi aturan, pembuat keputusan. Sekarang? Mereka jadi “objek kontrol” — didikte, disuapi saran kesehatan, dan diawasi kadar garamnya.

    Lucunya, Slamet tidak protes. Ia menertawakannya. Ia memposisikan diri sebagai “tahanan rumah yang diawasi karena terlalu sering jajan nasi padang.”

    Istri dan anak jadi polisi. Tapi bukan polisi lalu lintas. Mereka polisi gizi, polisi gaya hidup, polisi aktivitas. Dan lebih repot lagi, mereka semua merasa benar.

    Tapi apakah sang narator sakit hati? Tidak juga. Ia cuma bergumam lucu: “Dulu saya yang larang-larang mereka. Sekarang gantian saya yang dilarang.”

    Balas dendam keluarga memang lucu kalau dibaca dalam puisi. Tapi kalau sedang dijalani, rasanya seperti mengunyah sayur rebus pakai air mata.

    Ketika Tubuh Lemes, Hati Dibilang Kurang Gizi

    “Ketika lemes, pusing dan sakit-sakitan
    Dibilang dokter kurang gizi… Alamak!”

    Ini salah satu punchline terbaik dalam puisi ini.

    Slamet berhasil memotret absurditas lansia modern: gizi yang dianalisis, tensi yang dipantau, gula darah yang lebih sering dicek daripada saldo rekening. Tapi di balik semua itu, tubuh tetap punya kendali sendiri — dan ia suka bikin ulah.

    Menjadi tua itu seperti punya mobil bekas dengan kilometer tinggi: kita tahu mesin ini punya sejarah, tapi kita juga tahu dia bisa mogok kapan saja — meski baru diganti oli.

    Dan ketika semua sudah dilakukan: makanan sehat, minum vitamin, bahkan yoga di YouTube… tubuh tetap menjawab dengan satu kalimat: “Lemes, Bro.”

    Maka narator kita tertawa. Karena ya, apa lagi yang bisa dilakukan?

    Mikirin Anak Cucu: Tanggung Jawab Tanpa Ujung

    “Celaka kita masih memikirkan
    Masa depan anak kita
    Bahkan cucu kita”

    Kalimat ini, walau ringan di lidah, sebenarnya mencerminkan salah satu krisis mental paling umum pada lansia: guilt-driven responsibility. Dorongan tak putus untuk tetap merasa bertanggung jawab, bahkan saat seharusnya sudah boleh istirahat.

    Puisi ini seperti berbicara pada banyak ayah-ayah yang diam-diam masih menanggung tagihan kuliah anak, atau tiba-tiba memberi DP rumah cucunya, atau diam-diam transfer uang untuk biaya hidup menantu — semua tanpa diminta.

    Ini bukan tentang royalti. Ini tentang kegagalan melepaskan peran “penopang hidup”. Dan Slamet mengatakannya dengan sangat jujur: “kita bisa stroke… malah malah bisa check out.”

    Kalimat itu lucu — tapi juga gelap. Karena banyak orang tua memang akhirnya “tumbang” bukan karena usia, tapi karena beban psikologis yang tak mereka izinkan untuk dibagi.

    Protektif yang Menjadi Racun

    “Punya rejeki masing-masing
    Kita tidak boleh terlalu protektif
    Bisa-bisa mereka tidak mandiri”

    Inilah nasihat paling kontemporer dari seorang lelaki 70-an yang, secara mengejutkan, sangat sadar diri.

    Fragmen ini menjadi titik transisi: dari orang tua yang ingin terus membantu, menjadi orang tua yang belajar mundur. Ini bukan ego, ini keikhlasan. Karena cinta tidak selamanya ditunjukkan lewat memberi. Kadang, cinta yang matang adalah tahu kapan berhenti memberi.

    Dan di usia senja, pelajaran paling sulit adalah ini: melepaskan tanpa merasa ditinggalkan.

    Orang Tua Bukan Cuma ATM

    “Tugas kita sebagai orang tua adalah
    Mengenalkan anak ke Sang Pencipta
    Memberi panutan dan tuntunan
    Mengajarkan moral dan budi pekerti”

    Puisi ini tidak menolak peran orang tua. Tapi ia memurnikannya.

    Slamet tidak berkata bahwa orang tua tidak perlu membantu. Tapi ia menekankan bahwa tugas inti orang tua bukanlah terus-terusan membiayai. Tapi menanamkan nilai — yang jauh lebih awet daripada deposito.

    Dan dengan menyebut hal-hal seperti “menjadi sarjana, membiayai perkawinan, memberi uang muka rumah sederhana” — ia memberikan batas realistis. Setelah itu? Biarkan mereka berdiri sendiri.

    Ini adalah peta navigasi emosional bagi para orang tua yang masih merasa bersalah kalau anaknya kesusahan. Bahwa tidak semua kesusahan itu harus kita selesaikan. Kadang, justru itu cara mereka belajar.

    Kasih Sayang yang Tertunda: Waktu, Perhatian, dan Cinta

    “Yang terpenting
    Memberi waktu, perhatian, dan cinta”

    Nah, ini baru klimaks emosional. Setelah semua pembahasan tentang uang, rumah, dan biaya sekolah, akhirnya sang narator mengakui: kasih sayang bukanlah nominal. Tapi kehadiran.

    Dan ini relevan untuk semua umur. Sebab terlalu banyak dari kita (terutama ayah) merasa bahwa bekerja keras adalah bentuk tertinggi cinta. Padahal, anak tidak butuh uang sebanyak itu. Mereka butuh tatapan, pelukan, dan… ya, satu atau dua kali diajak main layangan.

    Puisi ini menyuarakan penyesalan kolektif: karena terlalu lama mengejar rezeki, kita lupa menjadi hadir. Dan kini, saat rezeki tersedia, anak-anak justru sibuk mengejar rezeki mereka sendiri.

    Ironis. Dan inilah yang membuat puisi ini bukan sekadar lucu. Tapi juga nyesek.

    Kapan Orang Tua Boleh Hidup untuk Diri Sendiri?

    Mungkin ini pertanyaan yang menggantung setelah membaca fragmen ini: kapan orang tua boleh hidup bukan sebagai orang tua?

    Jawabannya, tersirat di seluruh bait. Bahwa ketika anak sudah bisa berdiri, kita harus mundur. Bukan sebagai pengkhianatan cinta, tapi justru sebagai bentuk kepercayaan.

    Mundur bukan berarti putus hubungan. Tapi memberi ruang.

    Dan seperti Slamet tulis: “Saatnya kita memperhatikan diri.” Karena hidup bukan tentang terus memberi sampai kosong, tapi tahu kapan kita juga butuh diisi.

    Antara Tertawa dan Terhenyak

    Fragmen 8 dan 9 membawa kita ke jantung krisis lansia: peran yang tak selesai, cinta yang tak terbendung, dan tubuh yang terus melemah. Tapi semua itu dibungkus dalam humor, kejujuran, dan — paling penting — cinta yang tidak menuntut tepuk tangan.

    A. Slamet Widodo tidak sedang membuat kita kagum. Ia sedang mengajak kita mengangguk. Lalu tertawa. Lalu menghela napas panjang.

    Sebab pada akhirnya, menjadi orang tua bukan soal siapa paling banyak memberi. Tapi siapa yang paling bisa menerima: bahwa cinta yang dewasa tahu kapan harus berhenti mengatur.

    Dan kalau sudah begitu, kita pun bisa berkata: “Ya ya, ternyata sudah 70 tahun umur kita. Tapi setidaknya, kita masih bisa bercanda tentangnya.”

    Rumah Besar, Sunyi & Perang TV: Pernikahan Lansia dan Lelucon dalam Diam

    “Dirumah tinggal berdua
    Rumah besar yang kita mimpi
    Sudah ada dan nyata tapi sunyi”

    Tak ada yang lebih ironis dari rumah besar yang akhirnya hanya berisi dua orang yang saling menghindar diam-diam. Rumah yang dulunya penuh suara anak, teriakan rebutan remote, aroma masakan istri, kini hanya diisi dua pasang sandal, dua gelas kopi, dua napas yang makin berat, dan dua kanal TV yang tak pernah bertemu.

    Inilah tahap yang paling sunyi dalam hidup: ketika semua impian material sudah tercapai, tapi kehangatan yang dulu dibayangkan tidak ikut datang.

    Rumah: Simbol Prestasi yang Kosong

    Rumah besar dalam puisi ini bukan sekadar properti. Ia adalah lambang prestasi. Rumah besar adalah mimpi kolektif generasi 70-an: punya tanah luas, pagar kokoh, garasi cukup untuk dua mobil.

    Tapi ketika anak-anak tumbuh dan pergi, rumah ini berubah fungsi. Ia bukan lagi tempat berlindung, melainkan monumen dari masa lalu — semacam “museum keluarga” yang memamerkan kenangan, tapi tidak lagi hidup.

    Dan Slamet menyentil ini tanpa amarah. Hanya lewat satu kata sederhana: “sunyi.”

    Sunyi. Bukan sepi. Sunyi adalah kesepian yang kita rasakan bahkan saat seseorang ada di sebelah kita.

    Teman Canda, Teman Perang

    “Ya ya dirumah ada isteri
    Teman bercanda berbagi rasa
    Teman dalam untung dan malang
    Partner berbincang juga partner perang”

    Nah, ini dia. Setelah mengakui bahwa rumah telah kehilangan keramaiannya, si narator buru-buru memberi catatan: istri masih ada. Dan ia bukan sekadar “penghuni bersama”, tapi mitra hidup — dalam suka, duka, bahkan konflik.

    Slamet menulis relasi ini seperti orang yang sedang membolak-balik foto album lama: kadang tertawa, kadang manyun, tapi tak pernah ingin membuangnya.

    Hubungan pernikahan dalam puisi ini sangat jujur: bukan tentang cinta yang bersemi, tapi cinta yang bertahan. Bukan soal romantisme bunga dan pelukan, tapi soal siapa yang tahu di mana letak obat maag.

    Dan kita diberi gambaran lucu namun autentik:

    “Bisa perang mulut atau perang bisu
    Kata orang itu buahnya pernikahan”

    Bayangkan: dua lansia dalam satu rumah besar, tidak bicara karena rebutan hal sepele — entah itu posisi handuk, selera makanan, atau siaran TV. Tapi malamnya, tetap saling menyiapkan air hangat untuk mandi.

    Cinta dalam usia senja adalah tentang habit, bukan puisi.

    Istri: Bawel, Cemburuan, dan… Itu Dari Sononya

    “Isteri tambah tua
    Tambah pula bawelnya
    Tambah pula bobotnya
    Tambah banyak cemburunya
    Itu dari sononya… terima saja”

    Kalimat ini, kalau keluar dari mulut suami muda, bisa berujung cancel culture. Tapi dari mulut lelaki 70 tahun yang menulis puisi, justru terdengar seperti lelucon mesra — semacam “komplain manja” yang lebih mirip pujian terselubung.

    Kita tidak membaca ini sebagai hinaan. Justru ini adalah bentuk penerimaan. Narator tidak menyuruh mengubah. Ia hanya berkata: “begitulah dia… dan saya tidak kemana-mana.”

    Dan ini penting: puisi ini menunjukkan cinta bukan sebagai sesuatu yang “indah-indah”, tapi justru sebagai kebiasaan saling menerima. Termasuk ketika pasangan jadi rewel, sensitif, dan berat badannya naik — itu semua bagian dari paket “pernikahan bertahan panjang”.

    Kalau anak muda bilang, “cinta itu menerima kekurangan.” Tapi bagi pasangan lansia? Itu sudah bukan slogan — itu rutinitas.

    Saling Marah, Saling Ngutang

    “Gampang tersinggung
    Gampang marah
    Merasa mau menang
    Padahal kurang memberi uang
    Malah kadang ngutang”

    Nah, ini punchline terbaik tentang suami lansia. Slamet menciptakan sosok yang lengkap: bukan hanya korban dari cerewet istri, tapi juga sumber masalah — suka ngambek, ngutang, dan ngatur-ngatur tanpa kontribusi.

    Ia menertawakan dirinya sendiri sebagai suami yang cerewet, keras kepala, tapi pelit. Dan dalam ketawa itu, ada kejujuran yang sulit ditemukan dalam literatur pernikahan.

    Pernikahan lansia adalah soal “saling salah”, tapi tetap “saling sedia”.

    Kalau dalam pernikahan muda masih banyak drama, pernikahan tua lebih banyak diam-diaman. Tapi cinta tetap berjalan, meski tidak bersuara. Kadang hanya dalam bentuk membenarkan letak bantal pasangan yang selalu berubah tengah malam.

    Sekamar, Dua Dunia: Action vs Drakor

    “Ya ya kita sekamar
    Tapi nonton TV-nya beda
    Kita suka film action
    Dia suka drama Korea”

    Satu rumah, satu kamar, satu kasur… tapi dua layar, dua selera, dua dunia.

    Ini bukan sekadar tentang hiburan. Ini adalah metafora dari perbedaan dalam hidup bersama: bahwa cinta bukan tentang kesamaan, tapi kompromi.

    Narator tidak mengeluh. Ia tidak menyuruh istri nonton film laga. Ia tidak memaksakan pilihannya. Ia hanya menyampaikan: “Kami beda, dan itu indah.”

    Dan muncullah kalimat paling bijak dalam puisi ini:

    “Manusia diciptakan berbeda
    Justru itulah keindahan
    Seperti pelangi di cakrawala
    Indah karena kombinasi berbagai warna”

    Inilah momen filosofis dalam puisi. Di tengah lelucon dan satire, penyair menyusupkan pencerahan: bahwa hidup bersama adalah seni menerima warna lain — bukan untuk diubah, tapi untuk dikagumi.

    Cinta bukan soal siapa yang menang debat. Tapi siapa yang tetap nyeduh teh, meski sempat berselisih soal siapa yang lupa bayar tagihan listrik.

    Cinta yang Bertahan dalam Kebiasaan

    Slamet tidak menulis puisi tentang cinta yang bergairah. Ia menulis tentang cinta yang sudah melewati semua badai, semua kelelahan, semua kehilangan gairah… tapi tetap ada.

    Pernikahan dalam usia senja bukan tentang perasaan. Tapi tentang kebersamaan yang terlanjur jadi kebutuhan. Dan ini bukan lemah. Justru ini versi paling kokoh dari cinta.

    Sebab kalau cinta anak muda adalah api, cinta lansia adalah bara. Tidak nyala terang, tapi bisa menghangatkan rumah selama bertahun-tahun.

    Perang TV Sebagai Ritual Damai

    Mari kita bicara tentang perang remote.

    Kalau dalam rumah tangga muda, ini bisa jadi bibit perceraian. Tapi dalam rumah tangga lansia, ini adalah bagian dari rutinitas. Suami nonton berita kriminal, istri nonton drama Korea, dan mereka duduk saling membelakangi. Tapi saat iklan, keduanya saling menawari: “Mau teh anget?”

    Dan puisi ini menangkap itu dengan sangat subtil.

    Bahwa perang-perang kecil tidak menghapus cinta. Justru menjadi bumbu yang memperpanjang usia hubungan. Bahkan dalam diam, ada cinta. Bahkan dalam debat kecil, ada tawa.

    Rumah yang Sunyi, Tapi Tidak Sepi

    Inilah ironi penutup fragmen ini: rumah yang sunyi, bukan berarti sepi. Dua lansia dalam rumah besar bisa saja jarang bicara, tapi mereka saling tahu cara mengisi kekosongan: dengan senyuman setengah malas, komentar receh soal aktor Korea, dan persetujuan diam-diam bahwa hidup ini memang absurd, tapi siapa lagi kalau bukan kita berdua yang bisa menjalaninya?

    Cinta Setelah 70 Tahun? Masih Ada. Tapi Bentuknya Berubah

    Fragmen ini bukan sekadar puisi rumah tangga. Ia adalah meditasi tentang cinta yang tidak memekik. Ia tidak memakai bunga, tidak memakai puitika murahan. Tapi memakai kebiasaan sehari-hari, konflik receh, dan kompromi panjang.

    Slamet menulisnya seperti orang yang sudah tidak mau tampil romantis, tapi diam-diam masih menyimpan album foto pernikahan di laci meja.

    Dan pada akhirnya, kita bisa menyimpulkan: rumah besar memang bisa sunyi. Tapi kalau ada tawa kecil, teh hangat, dan satu orang yang tahu cara menyapu halaman dengan benar — maka rumah itu masih punya cinta.

    Gandengan Tangan, Ziarah, dan Menambal Luka: Romantika Lansia dan Terapi Jiwa Lewat Aktivitas Ringan

    “Rasanya baru kemarin
    Ternyata sudah 70 tahun umur kita”

    Di usia 70, orang-orang tidak lagi menghitung waktu dalam hitungan tahun. Mereka menghitungnya dalam jeda napas, waktu tidur siang, dan tanggal kontrol ke dokter. Namun dalam puisi ini, A. Slamet Widodo menunjukkan bahwa usia 70 bukanlah akhir dari segalanya. Justru bisa jadi titik tolak untuk sesuatu yang lebih… mesra.

    Bukan mesra seperti anak SMA yang saling kirim pesan sampai pagi, tapi mesra yang sudah melewati ribuan pertengkaran, peluh, kompromi, dan akhirnya memilih untuk tetap menggandeng tangan. Mesra yang disaring dari waktu, bukan dari kata.

    Ziarah, Jalan-Jalan, dan Gandengan Tangan

    “Saat tua ada baiknya
    Banyak waktu kita bersama
    Berjalan bergandengan tangan
    Beribadat, ziarah, dan piknik bersama”

    Tiba-tiba saja, puisi ini berubah nuansa. Dari lelucon tentang prostat dan perang remote, kini masuk ke ranah spiritual yang tenang — tapi tidak kehilangan rasa humor.

    Slamet tidak menasihati, tidak berkhotbah. Ia hanya menyarankan kegiatan yang secara lembut menyembuhkan. Ziarah dan berjalan bersama bukan sekadar aktivitas. Ia adalah bentuk perbaikan batin. Kita tidak perlu menyebutnya “healing”, karena pasangan tua ini mungkin tak kenal istilah itu. Tapi mereka melakukannya juga: duduk tenang di makam orang tua, saling mengingat nama-nama yang sudah pergi, lalu pulang dan makan soto bareng di warung langganan.

    Ini bukan bentuk cinta yang ditulis di novel. Tapi ini cinta yang nyata. Cinta yang tetap hidup walau gigi sudah tanggal, dan lutut harus dilapisi koyo.

    Waktu Bersama: Kemewahan yang Dulu Tak Dimiliki

    “Waktu berdua terbatas karenanya
    Saat tua ada baiknya
    Banyak waktu kita bersama”

    Baris ini membawa kita kembali pada luka kolektif para pasangan pensiunan: bahwa sebagian besar hidup mereka dihabiskan untuk “bekerja demi anak”, dan bukan untuk saling mencintai secara sadar.

    Cinta mereka bukan hasil dari waktu berkualitas. Tapi dari daya tahan.

    Dan kini, di usia senja, saat dunia sudah tenang, mereka menemukan satu hal: waktu bersama ternyata adalah kemewahan. Kemewahan yang dulunya mereka tukar dengan lembur, proyek, seminar, dan kerja tambahan. Maka sekarang, ketika waktu itu hadir, mereka menikmatinya perlahan — seperti menyeruput teh tawar, dengan tangan gemetar.

    Saatnya Menambal Luka

    “Saatnya kita menambal luka
    Saatnya kita mesra
    Saatnya berbagi suka”

    Kalimat ini terdengar seperti ajakan dalam surat cinta. Tapi ini lebih dalam: ini adalah permintaan maaf yang tak diucapkan secara langsung. Dan karena itu, lebih menyentuh.

    Slamet seolah sedang menyuarakan hati para lelaki tua yang merasa bersalah karena dulu “terlalu sibuk jadi kepala kereta keluarga”. Mereka tahu telah lalai, telah menyakiti — bukan karena niat buruk, tapi karena tuntutan zaman.

    Dan kini, mereka ingin menebusnya. Bukan lewat bunga. Bukan lewat permintaan maaf panjang. Tapi dengan kesediaan untuk menyeduh kopi, mengelap meja makan, dan menemani istri jalan kaki keliling komplek.

    Cinta di usia 70 tidak butuh grand gesture. Yang penting, ada tempat duduk berdua yang tidak terlalu keras dan angin sore yang tidak bikin masuk angin.

    Garwo: Sigaraning Nyowo

    “Istri adalah garwo
    Sigaraning nyowo
    Istri adalah pembawa rejeki kita”

    Bait ini adalah mahkota dari seluruh fragmen.

    Dalam dunia patriarki yang sering menganggap istri sebagai “pendamping”, Slamet menyatakan hal yang sebaliknya: istri adalah separuh nyawa.

    Frasa “sigaraning nyowo” adalah ungkapan Jawa yang punya bobot filosofis. Artinya: istri bukan hanya pasangan, tapi bagian tak terpisahkan dari keberadaan sang suami. Dan puisi ini menyuarakan kebenaran itu — dengan sederhana, tanpa perlu pidato feminis atau retorika akademik.

    Slamet tidak sedang menggurui. Ia sedang membisikkan pelajaran yang hanya bisa dipahami setelah puluhan tahun hidup bersama.

    Dan ia melanjutkan:

    “Istri adalah pembawa rejeki kita”

    Baris ini mengingatkan kita bahwa dalam banyak keluarga, keberuntungan bukan datang karena si suami hebat, tapi karena ada perempuan yang sabar di belakangnya. Yang diam-diam menyimpan uang belanja, yang rela mengenakan baju lama, yang tahu caranya menyulap tempe jadi lauk tiga hari.

    Ini adalah puisi yang memberi kredit penuh kepada istri — bukan lewat pujian, tapi pengakuan.

    Rekreasi Hati: Menemukan Passion di Usia Tua

    Lanjut ke fragmen 12, suasana puisi sedikit bergeser. Dari relasi, kini masuk ke dunia pribadi sang lelaki tua: dunia passion, hobi, dan keinginan lama yang sempat tertunda.

    “Ketika berhenti kerja
    Saatnya bisa mengisi hari-hari kita
    Mencari passion kita”

    Kalimat ini bisa dengan mudah ditemukan di webinar motivasi masa kini. Tapi di sini, bunyinya lebih jujur. Bukan demi branding atau monetisasi. Tapi demi menjaga jiwa tetap hidup.

    Slamet menuliskan hobi-hobi ini dengan penuh kasih:

    “Yang hobi menulis… menulislah
    Yang hobi melukis… melukislah
    Yang hobi membaca… membacalah”

    Puisi ini mendukung para lansia untuk tetap aktif, bukan agar mereka “berguna”, tapi agar mereka merasakan hidup. Setelah sekian lama hidup ditentukan oleh “kewajiban”, kini waktunya untuk memilih berdasarkan “keinginan”.

    Dan itu menyegarkan.

    Kerja Ringan, Pikiran Jalan: Sepeda Sebagai Metafora Hidup

    “Boleh kerja, tapi yang ringan saja
    Raga kita harus aktif
    Pikiran kita harus dilatih
    Otak kita harus jalan
    Seperti naik sepeda
    Kalau berhenti jatuh”

    Barangkali ini adalah filosofi paling keren dalam puisi ini: hidup harus terus digowes. Bukan untuk ngebut. Tapi untuk tetap seimbang.

    Metafora sepeda ini sederhana tapi tepat. Di usia tua, bukan kecepatannya yang penting, tapi konsistensinya. Yang paling bahaya bukan gagal, tapi berhenti total.

    Dan Slamet seolah mengajak kita: menulislah, tanamlah bunga, bacalah puisi, ikut pengajian, ikut kursus keramik, pelihara ikan cupang, nulis blog, kirim pantun di WAG, bikin video TikTok sambil duduk — asal tetap bergerak.

    Karena hanya dengan bergerak, kita tahu bahwa kita masih hidup.

    Aktivitas Bukan Pelarian, Tapi Pemulihan

    Semua kegiatan yang disebutkan dalam puisi ini — dari membaca, melukis, hingga berkebun — bukan pelarian dari kenyataan. Justru sebaliknya. Itu adalah cara untuk berdamai dengan kenyataan.

    Setelah bertahun-tahun hidup dengan ritme “kerja-cari uang-urus keluarga”, kini saatnya kembali ke pusat diri. Bukan egois. Tapi sehat.

    Dan dalam bait-bait ini, kita merasakan ketenangan yang langka. Tidak ada ambisi. Tidak ada target. Hanya ada hidup yang mengalir — pelan, tapi penuh rasa.

    Seperti bonsai yang tumbuh lambat, tapi indah karena sabar.

    Cinta, Aktivitas, dan Rekonsiliasi di Senja Hari

    Fragmen 11–12 adalah fragmen perdamaian. Setelah semua lelucon tentang prostat, drama rumah besar, dan perdebatan remote TV, kini kita melihat pasangan lansia ini dalam bentuk terbaik mereka: saling menemani, saling memahami, dan… saling menyembuhkan.

    Mereka mungkin tak banyak bicara. Tapi mereka tahu: satu-satunya yang penting adalah tetap menggandeng tangan, dan mengisi hari dengan hal-hal yang membuat jiwa tetap menyala — meski tubuh mulai redup.

    Dan dari semua itu, kita belajar satu hal: menjadi tua tidak harus berarti menjadi pasif. Justru di usia inilah, kita punya kesempatan menulis ulang makna hidup — bukan untuk dunia, tapi untuk diri sendiri.

    Wasiyat, Warisan, dan War-War: Dari Wasiat ke Wasiat-Wasiatan

    “Teman-teman berguguran
    Kita antri menunggu panggilan”

    Begitu bait ini muncul, suasana puisi mendadak menjadi tenang—seolah penyair meletakkan cangkir kopinya, menatap langit senja, dan mengangguk pelan. Ini bukan kalimat sedih. Ini bukan kalimat dramatis. Ini kalimat orang yang sudah berdamai dengan giliran.

    A. Slamet Widodo membuka fragmen #13 seperti seorang kakek yang sedang ngobrol di teras masjid setelah salat Subuh. Tidak ada air mata, hanya kenyataan. Tidak ada ratapan, hanya daftar kepergian yang makin panjang.

    Dan dari sana, ia masuk ke topik paling tabuisasi dalam masyarakat kita: warisan.

    Antrean Panggilan: Tiket ke Akhirat Tanpa Tanggal

    “Kita antri menunggu panggilan
    Yang alim dan baik biasanya duluan”

    Ah, satire spiritual ini nyaris tak terdeteksi. Tapi jelas terasa: sering kali yang “baik-baik” dipanggil duluan. Yang masih banyak dosa? Entah kenapa panjang umur. Ini bukan keluhan. Ini pengamatan sosial berbalut tawa kecut. Bahwa hidup tidak selalu adil, bahkan dalam urusan “siapa dipanggil duluan.”

    Kalimat ini seolah menyodorkan kita pada dilema baru: kalau kita masih hidup, jangan GR. Bisa jadi… masih disuruh belajar lebih lama.

    Dan di sinilah letak kekuatan naratif puisi ini: ia membiarkan humor dan spiritualitas berpelukan tanpa malu-malu.

    Tobat, Dekat, dan Ibadat: Rukun Lansia Bahagia

    “Waktunya kita bertobat
    Waktunya belum terlambat
    Waktunya dengan Tuhan kita dekat
    Waktunya taat beribadat”

    Baris-baris ini membentuk semacam “rukun lansia” versi Slamet. Bukan dogmatis. Tidak menghakimi. Tidak menggiring kita ke arah khotbah. Justru ini seperti memo pribadi dari seseorang yang tahu bahwa waktu tidak lagi berlari, tapi berjalan pelan sambil menoleh ke belakang.

    Yang menarik adalah penekanan pada kata “belum terlambat.” Di usia 70, si narator masih membuka pintu maaf untuk diri sendiri. Masih percaya bahwa Tuhan tidak hanya menilai hasil akhir, tapi juga niat akhir.

    Dan kita pun merasa tenang. Sebab puisi ini mewakili suara batin banyak orang yang terlambat—tapi masih mau melangkah.

    Warisan: Hadiah atau Bom Waktu?

    “Waktunya kita membuat wasiat
    Membagi warisan untuk anak kita
    Supaya tidak menjadi bencana
    Bila terjadi sesuatu pada kita”

    Baris ini… wah. Ini adalah kelas menengah poetry 101. Sebab tidak ada yang lebih sensitif di meja makan keluarga dari topik “warisan.” Bahkan kata itu sering diganti kode: “Itu nanti aja dibicarain ya, setelah… ya kamu ngerti maksudnya.”

    Tapi Slamet langsung ke pokok perkara: lebih baik dibicarakan sekarang, supaya tidak menjadi perang saudara nanti.

    Karena, mari jujur: terlalu banyak keluarga yang hancur bukan karena kekurangan, tapi karena harta. Harta yang dibungkus cinta, tapi tidak diikat dengan aturan. Maka begitu salah satu orang tua “check out”, yang tersisa adalah interpretasi liar atas “niat baik orang tua.”

    Dan puisi ini menyadarkan kita bahwa menyusun warisan bukan tentang materi. Itu tentang merawat keharmonisan setelah kita pergi.

    Warisan: Mata Dua Sisi

    “Karena warisan itu bermata dua
    Bisa jadi hadiah
    Bisa jadi musibah”

    Ini bukan bait puisi. Ini hukum sosial. Dan ini salah satu baris paling brilian dari puisi A. Slamet Slamet.

    Karena banyak dari kita berpikir bahwa warisan itu otomatis membuat anak bahagia. Padahal, warisan bisa jadi bom waktu: rebutan rumah, tanah sengketa, sertifikat dobel, utang yang tidak pernah dibuka, bahkan warisan emosi yang tak pernah dituntaskan.

    Dan Slamet tidak menulisnya seperti pengacara. Ia menulisnya seperti ayah bijak yang sudah lelah melihat anak-anaknya saling diam di WhatsApp grup keluarga karena pembagian kavling.

    Maka, ia memberi solusi sederhana: wasiatkan sekarang. Jangan menunggu sampai semua sibuk mengira-ngira apa maksud surat yang terselip di dalam laci lemari.

    Tapi Jangan Dibagi Sekarang Juga, Ya

    “Setidaknya kita bisa mengantisipasi
    Tapi jangan dibagi ketika kita masih hidup”

    Ah, ini dia. Ajaran klasik Indonesia. Jangan langsung kasih semua. Karena kalau semuanya sudah dibagi, kadang… yang tersisa hanya pengabaian.

    Ini bukan sinis. Ini realistis.

    Slamet tahu betul bahwa cinta tidak selalu bertahan setelah harta diberi. Kadang, yang membuat anak-anak tetap peduli adalah karena masih ada “urusan belum selesai.” Sedih? Ya. Tapi nyata.

    Maka ia berkata: buat wasiat, bukan langsung bagi harta. Supaya niat baik tidak berubah jadi penyesalan.

    Tentang Kematian: Bukan Tabu, Tapi Keniscayaan

    Salah satu keberanian terbesar dari puisi ini adalah menjadikan kematian sebagai tema terbuka, bukan disembunyikan di balik doa.

    Dalam banyak budaya, kematian adalah kata yang “dimaniskan” — wafat, berpulang, mangkat, kembali ke haribaan, dan seterusnya. Tapi di sini, kematian disebut dengan ketenangan pragmatis.

    Kita tidak disuruh takut. Kita disuruh siap.

    Bukan hanya secara spiritual, tapi juga administratif.

    Karena ternyata, setelah 70 tahun hidup, kita tidak hanya harus siap menghadap Tuhan. Tapi juga menghadap notaris.

    Menulis Wasiat: Aktifitas Literasi Tingkat Tinggi

    Bayangkan: di usia 70, seorang lelaki duduk menulis surat wasiat. Ia memegang pulpen dengan tangan gemetar. Tapi pikirannya jernih. Ia tidak sedang berbagi harta. Ia sedang menulis kenangan terakhir yang bisa ia tinggalkan dalam bentuk tertulis.

    Maka wasiat bukan hanya tentang tanah dan tabungan. Tapi juga tentang niat, nilai, dan nasihat.

    Dan puisi ini menuntun kita ke sana: bahwa mungkin, yang paling penting dalam warisan bukan jumlah nol di belakang saldo. Tapi siapa yang akan mengingat kita dengan senyum, bukan dengan nyinyir.

    War-War, Warkop, dan Warisan

    Satu hal yang disinggung secara tidak langsung dalam puisi ini adalah potensi “war-war”—perang saudara karena warisan. Dan betapa menyedihkannya, bahwa di usia senja, seorang ayah harus menyiapkan dokumen agar anak-anaknya tidak bertengkar setelah dia tiada.

    Tapi inilah Indonesia. Banyak keluarga yang akur hanya karena belum ada masalah. Dan warisan adalah ujian karakter paling jitu.

    Dan di sini, Slamet menawarkan humor kecil sebagai pelindung: menertawakan warisan sebelum warisan itu menertawakan kita.

    Kalau tidak dibahas, warisan bisa jadi “warkop keluarga” — tempat ngumpul cuma pas Idul Fitri dan pas rebutan.

    Wasiat Bukan Tentang Mati, Tapi Hidup Lebih Ringan

    Puisi ini menutup fragmen dengan kesadaran bahwa menyusun warisan bukan soal “takut mati.” Tapi soal “ingin hidup lebih tenang.” Kita tidak lagi takut kehilangan. Kita sudah siap melepaskan.

    Dan dalam usia 70, itu adalah kemewahan. Bukan semua orang bisa.

    Banyak orang tua menunda, menolak, menahan. Padahal, dengan menuliskannya sekarang, kita tidak hanya menyelamatkan harta. Kita menyelamatkan cinta.

    Ketika Wasiat Jadi Akhir yang Lembut

    Fragmen ini adalah penutup hati dari perjalanan panjang. Dari awal puisi yang jenaka, kini kita tiba di babak sunyi. Tapi bukan sunyi yang menakutkan. Sunyi yang mengajak kita untuk menyusun diri, menata batin, dan menyelesaikan sisa hidup dengan rapi.

    A. Slamet Widodo tidak menuliskan warisan seperti ahli waris. Ia menuliskannya seperti ayah yang ingin memastikan anak-anaknya tidak kehilangan arah setelah ia pergi.

    Dan kalau kita harus merangkum pesan ini dalam satu baris: Berbagilah, sebelum hidup berakhir. Tapi jangan dulu bagi, sebelum semua siap.

    Anak Zaman Now & Ayah Zaman Old: Cinta yang Tak Perlu Dibalas

      “Anak-anak kita sekarang
      Bukan seperti kita dulu
      Nurut sama orang tua”

      Kalimat pembuka ini bukan keluhan. Ia bukan nostalgia yang menuntut atau sindiran dengan nada getir. Ini hanya pernyataan — tenang, datar, dan… pasrah. Seorang ayah yang sudah beranjak 70 tahun tak lagi mengharapkan anak-anaknya meniru dirinya. Ia hanya ingin dipahami.

      Di zaman yang makin cepat, makin pintar, makin nyinyir, dan makin kompleks, anak-anak bukan hanya memiliki gagasan sendiri. Mereka bahkan punya definisi keluarga sendiri. Mereka menulis ulang ulang peran ayah-ibu, tak lagi merasa perlu mencium tangan, dan kalau bicara kerap setara.

      Dan, A. Slamet Widodo tidak membantahnya. Ia justru membuka pintu lebar untuk perbedaan itu.

      Bukan Lagi Era “Pokoknya Kata Bapak”

      “Mereka punya pendapat sendiri
      Kadang kita tidak mengerti
      Kita tidak bisa memaksa
      Hanya bisa mengarahkan
      Dan memberikan nasihat”

      Inilah inti dari hubungan orang tua dan anak zaman sekarang: relasi horizontal yang tak bisa dikendalikan oleh pangkat “ayah” atau “ibu”. Dalam bait ini, kita melihat ayah yang sadar penuh bahwa perannya telah bergeser. Bukan lagi kepala keluarga yang diikuti mutlak, melainkan penasihat yang hanya diingat jika sempat.

      Dan ia tidak merasa kecil karenanya. Justru di situlah kebijaksanaan hadir. Ia tahu, jika memaksa, hasilnya hanya jarak. Jika terlalu mengatur, yang tersisa hanya diam.

      Maka, ia memilih mengarahkan. Bukan memerintah. Ia memilih menasihati. Bukan menghardik.

      Ini adalah bentuk cinta yang dewasa — yang tak lagi memaksa untuk dibalas.

      Warisan Usaha? Belum Tentu Diteruskan

      “Belum tentu anak kita
      Mau melanjutkan usaha kita
      Yang nyata sudah terbukti hasilnya”

      Kalimat ini menyentil banyak bapak pemilik toko, bengkel, restoran, warung sembako, bahkan yayasan — yang selama ini berharap bisnisnya menjadi warisan abadi. Tapi zaman berubah. Anak-anak punya mimpi lain. Mereka ingin menjadi content creator, arsitek, analis data, atau bahkan barista digital nomad.

      Dan ayah 70 tahun dalam puisi ini… hanya bisa manggut-manggut.

      Tidak ada amarah. Tidak ada “anak durhaka” seperti di sinetron. Hanya rasa heran yang bercampur harap: usaha yang dibangun dari nol, pakai peluh dan utang, akhirnya tak punya pewaris. Tapi si ayah tidak marah. Ia hanya… membiarkan.

      Karena, cinta yang besar adalah cinta yang melepaskan. Bahkan saat yang dilepas adalah karya hidup kita sendiri.

      Lelaki yang Kehilangan Anak Laki-Laki

      “Bila anak lelaki kita kawin
      Kita harus siap kehilangan”

      Kalimat ini terasa sederhana, tapi menyayat. Seorang ayah mengakui bahwa anak laki-lakinya, saat menikah, akan larut ke dalam keluarga baru — dan, perlahan, menjauh. Tidak karena benci. Tapi karena sistem sosial mengarahkan mereka ke sana.

      Dalam budaya kita, lelaki dewasa yang menikah sering menjadi “kepala keluarga” baru yang mandiri. Rumah ayah-ibu berubah status jadi tempat singgah lebaran, bukan lagi rumah pusat.

      Dan si ayah menyadari itu. Ia tahu, anak lelaki itu akan punya prioritas sendiri. Bahkan, bisa jadi tak lagi berkonsultasi seperti dulu. Dan semua itu… wajar.

      Slamet menulisnya tanpa nada duka. Hanya dengan pasrah yang puitis. Karena ia tahu: “anak yang baik bukan yang selalu tinggal, tapi yang pulang sesekali dengan cinta.”

      Anak Perempuan? Semoga Masih Bisa “Dimiliki”

      “Bila anak perempuan kita kawin
      Mudah-mudahan ia masih kita miliki”

      Ah, ini bagian yang centil sekaligus menyentuh. Ada harap lembut di sana — bukan posesif, tapi rindu. Dalam budaya kita, anak perempuan cenderung lebih “loyal” secara emosional. Bahkan setelah menikah, ia masih sering menelpon ibu, menyapa bapak, dan pulang untuk memastikan stok obat orang tuanya masih cukup.

      Dan si ayah berharap — bukan menuntut — semoga anak perempuannya tetap membawa potongan kenangan rumah lamanya, meski telah tinggal di rumah suami.

      Apakah ini patriarkis? Tidak juga. Karena dalam puisi ini, tidak ada superioritas. Hanya ada cinta yang mencoba bertahan di tengah perubahan zaman.

      Harta Berharga? Anak, Bukan Tanah

      “Harta berharga kita hanyalah anak
      Melihat mereka bahagia
      Kita ikut bahagia”

      Kalimat ini harusnya jadi tagar.

      Karena di dunia yang makin terobsesi dengan investasi, saham, logam mulia, dan tanah kavling, Slamet justru menutup puisi panjang ini dengan pengakuan paling polos: bahwa yang paling berharga bukanlah yang bisa diukur dengan rupiah. Tapi anak-anak yang bahagia, mandiri, dan bermoral.

      Dan ini bukan klise. Karena sebelumnya kita tahu, ayah dalam puisi ini sudah melalui semuanya: dari jual celana demi kuliah, kerja sampai lupa anak, piknik ke puskesmas, hingga menulis wasiat.

      Maka saat ia menyebut anak sebagai harta, kita percaya. Karena ia sudah mengorbankan segalanya untuk mereka.

      Dan, seperti biasa, ia tidak minta balasan.

      Semua Pencapaian Tidak Berarti Jika Anak Gagal

      “Semua pencapaian kita
      Akan tidak berarti
      Ketika anak kita gagal”

      Bait ini adalah klimaks emosi dari puisi ini. Setelah semua perjuangan, semua pencapaian, dan semua properti yang terkumpul, akhirnya ada satu pengakuan: bahwa semua itu hanya permukaan. Dan yang menentukan “kemenangan” seorang orang tua bukanlah jumlah properti, tapi kualitas hidup anak-anaknya.

      Tapi, lihat bagaimana Slamet menulisnya. Ia tidak berkata “jika anak jadi kaya.” Tapi “jika anak gagal.”

      Dan dalam konteks puisi ini, gagal bukan soal karier. Tapi soal nilai. Gagal jadi manusia yang baik. Gagal jadi pribadi yang tahu membalas cinta dengan cinta.

      Dan barangkali… bait ini ditulis bukan untuk anak-anak si ayah. Tapi untuk pembaca. Untuk kita.

      Dari Zaman Mesin Tikus ke Zaman Mesin AI

      Puisi ini ditulis oleh generasi 1950-an yang tumbuh dengan mesin tik, radio tabung, dan TV hitam putih. Tapi ia ditujukan pada anak-anak dan cucu-cucunya yang hidup dalam zaman TikTok, podcast, dan GPT.

      Bayangkan jaraknya.

      Namun yang mengejutkan, si ayah tidak mengecam teknologi. Tidak mengkritik gaya hidup baru. Ia hanya menyesuaikan. Ia berusaha masuk ke dunia mereka, meski hanya sebagai penonton diam di pinggir arena.

      Dan inilah cinta zaman old. Tidak mencoba ikut-ikutan. Tapi tetap hadir — diam-diam, dalam doa dan transfer kecil-kecilan setiap awal bulan.

      Cinta yang Tak Perlu Dibalas

      Kalau kita merangkum seluruh puisi Balada Lelaki Umur 70, maka pesan terakhir ini adalah intinya: orang tua mencintai bukan karena ingin dibalas. Tapi karena itu bagian dari hidupnya.

      Ayah dalam puisi ini tahu bahwa anak-anaknya akan tumbuh dengan nilai berbeda, selera berbeda, bahkan mungkin gaya hidup yang bertolak belakang. Tapi ia tetap mencintai. Tetap memberi. Tetap menasihati.

      Dan, saat waktunya tiba, ia hanya ingin dikenang dengan satu kalimat: “Ayah dulu kerja keras, tidak banyak bicara. Tapi cintanya terasa.”

      Itulah keindahan cinta zaman old. Bukan yang diumbar. Tapi yang dipendam, lalu dibagikan perlahan.

      Ketika 70 Tahun Menjadi Puisi

      “Balada Lelaki Umur 70” bukan sekadar puisi. Ia adalah memoar sosial. Ia adalah buku harian yang ditulis dengan jenaka, namun penuh perenungan. Ia adalah refleksi hidup dari seseorang yang tidak mencoba tampil bijak, tapi akhirnya menjadi bijak karena jujur.

      A. Slamet Widodo telah membungkus masa tua — sesuatu yang sering dianggap menakutkan — menjadi kisah hangat yang bisa membuat kita tertawa, merenung, dan… siap menghadapi usia dengan lebih ringan.

      Esai ini mungkin sudah selesai. Tapi hidup para “lelaki umur 70” masih terus berjalan. Entah itu di puskesmas, di kursi teras, atau di ruang keluarga yang senyap. Dan selama mereka masih bisa menulis puisi, menyiram bunga, dan menunggu cucu pulang, maka dunia akan tetap punya cinta yang paling murni: cinta orang tua, yang tak pernah minta imbalan.

      Terima kasih telah mengikuti esai ini sampai akhir.

      Dan untuk semua lelaki 70 tahun di luar sana:
      Kami mencintaimu. Meskipun, mungkin… kami jarang bilang langsung.

      IRZI – 05 : 2025

      Back to top button