POTPOURRI

Anomali Iklim dan Deforestasi yang Saling Berkaitan di Balik Bencana Sumatera

Indonesia, sebuah negeri kepulauan yang kaya akan hutan tropis, kini menghadapi ancaman ganda yang semakin intens: fenomena cuaca ekstrem yang dipicu anomali iklim global dan deforestasi yang masif.

JERNIH –  Indonesia, sebagai negara kepulauan yang dilintasi garis khatulistiwa (0 derajat Lintang), secara alami memiliki kondisi iklim yang sangat dinamis. Belakangan ini, kondisi cuaca di Indonesia, terutama yang memicu banjir bandang di Sumatera, telah menunjukkan adanya anomali (ketidaknormalan) yang memerlukan perhatian serius.

Kejadian cuaca ekstrem yang tidak lazim ini disoroti oleh para ahli meteorologi karena dipicu oleh serangkaian fenomena atmosfer yang saling berinteraksi secara kompleks, menciptakan sebuah “badai sempurna” yang menghasilkan curah hujan ekstrem.

Inti dari fenomena cuaca ekstrem ini adalah kehadiran Siklon Tropis Senyar. Siklon tropis adalah sistem badai berskala besar dengan pusat bertekanan rendah dan angin kencang berputar yang terbentuk di atas perairan hangat (suhu di atas 26,5 derajat Celcius). Siklon ini merupakan gangguan atmosfer berskala sinoptik yang dapat memicu bencana hidrometeorologi seperti banjir dan gelombang tinggi.

Namun, yang menjadikan kejadian ini langka adalah lokasinya. Secara teori, pembentukan siklon tropis sangat sulit terjadi di dekat garis khatulistiwa—terutama di bawah 5 derajat Lintang—karena di area tersebut, Gaya Coriolis (gaya yang penting untuk menciptakan putaran pada siklon) bernilai sangat kecil. Pembentukan Siklon Senyar yang terjadi begitu dekat dengan khatulistiwa ini menjadi anomali iklim yang menantang pemahaman meteorologi konvensional.

Dua Sistem Iklim Global

Kelahiran Siklon Senyar yang anomali diperkuat oleh dua sistem iklim global yang bertindak sebagai penyedia energi: La Nina dan Dipole Mode Samudra Hindia (IOD) Negatif. La Nina, bagian dari siklus ENSO, ditandai dengan mendinginnya suhu permukaan laut (SPL) di Pasifik tengah dan timur.

Dampaknya di Indonesia adalah SPL di perairan nusantara menjadi relatif lebih hangat. Sementara itu, IOD Negatif ditandai dengan SPL yang lebih hangat di Samudra Hindia bagian timur (dekat Indonesia). Kombinasi La Nina yang intens dan IOD Negatif ini menghasilkan pasokan uap air yang melimpah di atmosfer sekitar Indonesia. Pasokan uap air yang masif inilah yang menjadi prasyarat bagi pembentukan tekanan rendah dan, pada akhirnya, badai.

Sistem iklim yang membawa kelembapan tersebut kemudian diperkuat oleh sistem atmosfer yang bergerak lokal. Osilasi Madden-Julian (MJO), sebuah pergerakan besar awan dan curah hujan tropis yang bergerak ke timur dalam siklus 30-60 hari, dilaporkan berada pada fase aktif (misalnya fase 6 di Pasifik Barat).

Kehadiran MJO aktif ini, ditambah dengan pergerakan Gelombang Rossby Khatulistiwa (gelombang berskala besar yang bergerak ke barat di khatulistiwa), secara kolektif memperkuat daerah konvergensi (pertemuan massa udara) dan kenaikan udara. Penguatan konvergensi ini sangat vital dalam proses genesis (pembentukan) siklon tropis, mengubah tekanan rendah menjadi benih siklon.

Interaksi kompleks antara SPL yang hangat (akibat La Nina dan IOD), adanya pusaran energi dari Siklon Tropis Senyar yang anomali, serta penguatan konvergensi dari MJO dan Gelombang Rossby, menghasilkan satu konsekuensi utama: pembentukan Awan Kumulonimbus dalam jumlah besar.

Awan vertikal raksasa ini adalah penghasil hujan ekstrem yang berkepanjangan, yang dapat berlangsung lebih dari 24 jam. Kondisi ini, ditambah dengan kehadiran benih siklon lain dan Siklon Tropis Fina, secara keseluruhan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi di wilayah Indonesia.

Deforestasi yang Masif

Fenomena anomali ini menjadi pengingat kritis bahwa meskipun Indonesia bukan jalur utama siklon, dampak tidak langsungnya tetap signifikan. Oleh karena itu pemerintah mestinya sudah mulai bersiap menghadapi segala kemungkinan oleh sebab dinamika iklim global.

Itu dari sisi angkasa. Di darat situasinya juga memudahkan terjadinya bencana. Hubungan antara deforestasi (penggundulan hutan) yang masif di Indonesia dengan fenomena cuaca ekstrem—seperti Siklon Tropis anomali dan hujan lebat yang dipicu La Nina—adalah hubungan yang erat dan kompleks. Pengaruh deforestasi bersifat ganda, bekerja pada skala global dengan mempercepat perubahan iklim, sekaligus merusak ketahanan ekosistem pada skala lokal, yang pada akhirnya secara drastis menggandakan risiko bencana hidrometeorologi.

Pada skala makro, deforestasi secara langsung memperparah pemanasan global. Hutan berperan vital sebagai penyerap karbon (carbon sink). Ketika hutan ditebang atau dibakar, karbon yang tersimpan dilepaskan kembali ke atmosfer dalam bentuk Karbon Dioksida (CO2​), yang meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca.

Peningkatan CO2​ ini mempercepat pemanasan atmosfer dan, yang lebih relevan, menyebabkan peningkatan Suhu Permukaan Laut (SPL). SPL yang lebih hangat adalah prasyarat utama bagi peningkatan intensitas dan frekuensi fenomena iklim pemicu hujan, seperti fase negatif IOD dan siklus La Niña yang semakin ekstrem. Dengan demikian, deforestasi berkontribusi menciptakan latar belakang iklim yang lebih ganas.

Sementara itu, pada skala lokal, deforestasi secara langsung menghilangkan “sabuk pengaman alami” yang seharusnya melindungi wilayah dari dampak cuaca ekstrem. Hilangnya tutupan hutan di daerah hulu (Daerah Aliran Sungai/DAS) merusak siklus air dan kemampuan ekosistem untuk bertahan.

Dedaunan dan ranting bagian atas pepohonan yang mestinya menjadi kanopi bagi turunnya air hujan. Akar pohon berfungsi sebagai penyerap dan penyimpan air hujan yang masif, memungkinkan air meresap (infiltrasi) ke dalam tanah secara perlahan. Ketika fungsi ini hilang, daya serap tanah berkurang drastis. Akibatnya, sebagian besar curah hujan ekstrem tidak diserap, melainkan langsung mengalir sebagai aliran permukaan yang cepat dan masif.

Kombinasi fatal antara hujan ekstrem yang diinduksi oleh anomali iklim (seperti Siklon Senyar dan MJO) dan hilangnya daya serap hutan menciptakan kondisi ideal untuk bencana. Hujan yang sangat lebat bertemu dengan lahan gundul, memicu luapan air yang tak tertahankan di sepanjang sungai, menyebabkan banjir bandang.

Selain itu, tanpa daun yang memayungi, akar pohon yang mengikat, tanah menjadi rapuh, dan air yang mengalir deras menyebabkan erosi tanah dan tanah longsor. Secara keseluruhan, deforestasi mengubah dampak dari sekadar hujan lebat menjadi bencana ekologis yang berulang, menjadikannya faktor kunci yang harus diatasi dalam upaya mitigasi risiko bencana di Indonesia.(*)

BACA JUGA: Blue Sky Rescue, Tim Kemanusiaan Global Pertama di Bencana Sumatera

Back to top button