
Arie Batubara mengonfirmasi tidak ada pelarangan dalam peristiwa ini, yang ada adalah tidak mengizinkan. Tapi besoknya, ISBI mengeluarkan siaran pers yang dimuat di kanal sosmed Instagram, dan dengan jelas menyebut memang ada pelarangan TPH untuk pentas, menyebut naskah mengandung unsur melanggar SARA
Oleh : Doddi Ahmad Fauji
JERNIH– Blunder pimpinan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung dalam kasus pelarangan pertunjukan “Wawancara dengan Moelyono”, bisa berkepanjangan, dan bisa menjadi bahan bully-an, ledekan, olok-olok. Menurut Rachman Sabur, yang lebih karib disapa Babeh, hal itu wajar.
Melalui japrian WA, pukul 01.00, sudah masuk ke tanggal 19 Februari, Babeh menuturkan, “Ada upaya untuk mediasi dari para alumni antara saya dengan pihak rektorat ISBI. Namun nasi sudah jadi bubur. Babak belur ISBI. Bila memang mau memperbaiki diri, ya minta maaf saja secara terbuka. Akui saja kesalahan-kesalahan, toh manusia tidak luput dari khilaf. Manusia juga bisa jadi pemaaf. Saya tidak mau bertemu, saya kecewa dan sakit hati, dibilang melanggar SARA,” kata pendiri cum guru spiritual Teater Payung Hitam (TPH) itu.

Tulisan ini terkait dengan tuturan dari Arie Batubara selaku alumnus ISBI yang mengklarifikasi beredarnya isu pelarangan untuk pertunjukan TPH sambil memperingati 43 tahun Milad TPH. Pertunjukan sejatinya digelar pada 15 dan 16 Februari di Studi Teater ISBI. Namun pertunjukan itu dilarang, dan Arie mengonfirmasi tidak ada pelarangan dalam peristiwa ini, yang ada adalah tidak mengizinkan.
Tapi besoknya, ISBI mengeluarkan siaran pers yang dimuat di kanal sosmed Instagram, dan dengan jelas menyebut memang ada pelarangan TPH untuk pentas, dengan alasan yang tampak dalam siaran pers itu, menyebut naskah mengandung unsur melanggar SARA dan terjadi ketidak-harmonisan antara Babeh dan pihak Rektorat ISBI.
Saya turunkan tulisan pada 16 Februari untuk merespons siaran pers ISBI itu dengan judul: “Blundernya Siaran Sosmed ISBI”, dan tulisan tersebut dimuat di jakarta.suaramerdeka.com dan portalnusa.id, serta di beranda FB. https://jakarta.suaramerdeka.com/…/blundernya-siaran… https://portalnusa.id/…/18/blundernya-siaran-sosmed-isbi/
Akhirnya saya dapat nomor kontak Babeh melalui kawan mantan wartawan Tempo, dan ia mengatakan, “Tulisanmu clear, menuturkan konfirmasi dari satu pihak, untuk meluruskan tulisanmu sebelumnya,” kata kawan saya yang juga memuatkan tulisan saya sebelumnya itu tentang kasus di ISBI dengan judul “Repotnya Jika Pimpinan Kampus Jadi Penakut” di kanal: https://borobudurwriters.id/…/repotnya-jika-pimpinan…/
Saya japri Babeh, ingin tahu tuturan dari Babeh. Lalu kami bertelepon ria, dan konfirmasi dilanjutkan melalui japrian di WA.
Babeh mengawali tuturan dengan mengatakan mereka tampaknya mengalami paranoid, ada ketakutan yang berlebih terhadap naskah yang memang mengandung anasir politik dari judulnya, bahkan menuding naskah Babeh itu berbau SARA.
“Naskah itu tampaknya tidak dibaca oleh rektor. Yang dia tahu hanya judulnya saja. Lalu dia menyatakan pertunjukan “Wawancara dengan Mulyono” mengandung SARA. Memecah belah bangsa. Unsur muatan politik, dsb. Ini sungguh tuduhan yang barbar dari seorang rektor!”
Babeh menambahkan, “Saya juga meminta mereka mengeluarkan surat pelarangan atau surat resmi tidak mengizinkan saya untuk pentas. Tapi mereka juga tidak mengeluarkannya!”
Babeh memandang siaran pers ISBI yang dimuatkan di IG pada 16 Februari itu konyol. Di situ sangat jelas dan tegas menyebut adanya pelarangan, tapi faktanya pihak ISBI tidak mau mengeluarkan surat pelarangan ketika Babeh memintanya.
“Malah saya sangat heran, mereka menggunakan kop surat Kampus Merdeka. Lah, merdeka apanya? Pentas saja kan jadi tidak boleh!”
Karena dalam siaran pers dituturkan kronologi kejadian yang akhirnya berbuntut pelarangan itu, maka Babeh pun menuturkan kronologis kepada saya.
“Saya sudah mengirimkan surat tanggal 9 Januari ke Kepala Studio, Irwan Jamal, dan secara lisan mempersilakan menggunakan Studio Teater sampai pertunjukan selesai. Tapi memang saya akui ada kealfaan saya, tidak menandatangani surat, nah ini diperkarakan, saya dianggap tidak prosedural.”
Babeh menambahkan, sebulan kemudian, surat baru diperkarakan. Baliho pun diturunkan, namun Babeh memasangnya lagi tanggal 14 untuk kebutuhan publikasi, dan kembali baliho diturunkan.
“Saya dipermasalahkan sampai ke masalah izin segala. Yang saya tahu, selama ada ruang pertunjukan Studio Teater, baru kali ini ditanyakan masalah izin dari rektorat. Sebelum-sebelumnya tidak pernah ada.”
Babeh kemudian menerangkan, mengenai penjelasan dari Arie Batubara, itu tampak tidak akurat dan data hanya dari sepihak, “Ia tidak meminta data dari saya!”
Babeh menuturkan, ia memang sudah pensiun, tapi tidak begitu cara memperlakukannya. “Dia kan seniman, mestinya bisa dong berdialog dengan cara-cara seniman, tak mesti formal dan prosedural di gedung rektorat. Bisa saja di warung kopi. Saya sudah meminta untuk berdialog kekeluargaan, tapi tidak ditanggapi.”
Babeh menyayangkan, mestinya pihak rektorat menutup rapat-rapat masalah ini, bukan malah mengabarkannya kepada publik. Ya wajar jika publik menyindir ISBI bahkan mem-bully-nya.
Ditanya apakah ada kemungkinan pihak ISBI dan pihak-pihak lain yang melarang aksi seni-budaya terkait mengeritik Moelyono, ternyata telah dikontak atau malah menerima uang dari pihak Moelyono, Babeh menjawab singkat, “bisa jadi!” Cag! []