Brai : Seni Sufistik yang membangkitkan ‘Birahi’
CIREBON – Cirebon memiliki keragaman budaya yang terus berdenyut mengikuti arus jaman. Canggihnya jaman tidak mencabut budaya Cirebon sampai ke akarnya. Faktornya adalah keberadaan tiga keraton di Cirebon, yaitu Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan yang masih menjalankan tradisi dengan konsisten.
Disamping itu, Cirebon pernah menjadi pusat pemerintahan di tanah sunda, baik secara politik maupun agama sehingga kultur lama itu masih berdenyut kuat. Sisi lainnya adalah masyarakatnya yang heterogen dan hidup di garis pantai sehingga lebih likat memelihara budaya
Salah satu dari keragaman seni tradisi di Cirebon yang memiliki keterkaitan sejarah dengan penyebaran agama Islam dan terpancar ke berbagai daerah lainnya adalah Seni Brai. Kesenian ini masih sejawat dengan trebang dan gembyung.
Walau ketiganya memiliki dasar yang sama yaitu menggunakan alat musik berupa rebana atau genjring dan dipagelarkan dalam acara sakral keagamaan, namun tiga kesenian itu dapat dibedakan, terutama dari nama dan sejarahnya.
Brai dalam beberapa sumber berasal dari kata birahi atau baroya yang memiliki makna kasmaran sebagai sebuah ungkapan gairah kecintaan kepada Allah SWT yang dijembatani dengan alat musik dan syair-syair. Dua unsur tersebut dibawakan dengan penuh penghayatan sehingga mencapai puncak kenikmatan.
Kondisi ini dalam ajaran mahabbah yaitu hubungan manusia dengan Sang Pencipta bisa dicapai melalui beberapa tahapan tegantung kepada kemampuan manusia untuk membuka hijab antara dirinya dengan Yang Maha Kuasa.
Seseorang yang mencapai maqam ini akan lupa kepada segalanya. Saking tenggelam dalam ‘mabuk’ kenikmatan. Dengan kata lain Seni Brai menjadi media seni sekumpulan orang-orang yang birahi maring Pangeran atau cinta kepada Allah.
Dengan pertunjukannya, Brai berusaha mengajak penontonnya untuk merasakan hal yang sama, mencintai Allah SWT. Konsep Brai memiliki kesamaan dengan Tarian Sema dari wilayah Anatolia, Turki. Tarian yang muncul abad 13 masehi ini diciptakan oleh Maulana Jalaluddin Rumi yang merefleksikan ajaran sufistik.
Versi lainnya menyebutkan bahwa Brai di ambil dari nama Nyi Mas Ratu Brai, yaitu tokoh wanita yang mempelopori dan menyebarkan kesenian ini ke berbagai pelosok desa di Cirebon. Anggapan tersebut tumbuh dalam pandangan komunitas seni Brai Cirebon, terutama dari Desa Bayalangu, Kec. Gegesik Cirebon. Selain Nyi Mas Ratu Brai, tokoh lainnya yang berjasa mengembangkan kesenian ini adalah Syarif Abdul Rahman dari baghdad, seorang sufi yang nyeleneh di negerinya.
Karena nyelenehnya itu, Syarif Abdul Rahman diusir oleh keluarganya dan meninggalkan kebangsawanannya. Dia pergi meninggalkan negerinya bersama kedua adiknya yaitu Syarif Abdul Rakhim dan Syarifah Baghdad (Fatimah) menuju Cirebon.
Kedatangan mereka disambut baik oleh Sunan Gunung Jati karena masih berkerabat. Oleh Sunan Gunung Jati, kegemaran Syarif Abdul Rahman melantunkan pujian kepada Allah SWT dengan iringan musik rebana di dukung dan dikembangkan sebagai media dakwah.
Riwayat perjalanan Syarif Abdul Rakhman dimulai pada abad 13 M. Di pelabuhan Muara Jati bersandar kapal yang membawa tiga orang bangsawan dari Baghdad, putra-putra Sultan Khutbi penguasa Baghdad, mereka adalah Sayid Abdilah, Sayid Syarudin dan Sayid Abdurakhman.
Tiga orang ini, saat di Baghdad terkenal pintar bernyanyi dan bersyair sambil menabuh rebana. Kedatangannya untuk belajar agama Islam kepada Syekh Nurjati (Syekh Datuk Kahfi) yang juga berasal dari Baghdad.
Kondisi Muara Jati saat itu belumlah ramai dan masih sedikit penduduknya. Dalam perjalanan menuju ke Amparan Jati ketiganya tersesat dan sulit menanyakan arah karena tidak bertemu dengan penduduk. Maka sambil melepas lelah, mereka bernyanyi dan menabuh rebana.
Rupanya hal tersebut menarik perhatian satu-dua orang penduduk yang mendengarnya dan mendatanginya. Dari penduduk, mereka dapat menentukan arah menuju Amparan Jati. Bahkan sepanjang perjanan, banyak penduduk yang terpesona serta tertarik untuk melihat dan mengikutinya.
Singkat cerita kedatangan mereka disambut dengan teramat gembira oleh Syekh Nurjati dan selanjutnya mereka mendapat gemblengan ajaran Islam secara total. Syekh Nurjati kemudian menyerahkan paguron Amparan Jati kepada Sayid Abdilah yang kemudian bergelar Syekh Datuk Khafid.
Adapun kedua saudaranya disuruh membuka hutan dan mengembangkan Islam. Kedua adiknya, yaitu Syekh Abdul Rakhman disebut Pangeran Panjunan dan Sayid Syarifudin (Syekh Abdu Rakhim) bergelar Pangeran Kejaksan.
Saat Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Prabu Cakraningrat menguasai Cirebon, ketiga bersaudara itu mencari cara aman untuk mengembangkan Islam ke wilayah Galuh agar tidak dicurigai penguasa Galuh. Akhirnya terciptalah Seni Brai sebagai media syiar yang terselebung.
Syair Brai sengaja di samarkan ucapannya seperti Laela Haelala dan Kamarasalala yang merupakan ajaran Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul. Namun akhirnya, Prabu Cakraningrat mengetahui hal itu, sehingga melarang pertunjukan Brai.
TD. Sudjana sejarawan senior Cirebon menyatakan bahwa tahun 1420 M, Syekh Datuk Kahi alias Syekh Idofi (Syekh Nurjati) utusan dari Persia mendarat bersama 12 orang pengiringnya di Muara Jati.
Dan atas izin Prabu Niskala Wastukancana sebagai penguasa sunda galuh di kawali Ciamis – melalui Ki Gedeng Tapa, penguasa Singapura – mereka di izinkan tingggal dan mendirikan padepokan Islam di Amparan Jati. Syekh Datuk Kahfi kemudian menikah dengan Hadijah, putri dari cucunya Bratalegawa atau Haji Purwa Galuh (adik ipar Wastukancana).
Sebelum menikah dengan Hadijah, Syekh Datuk Kahfi sudah menikah dengan Syarifah Halimah yang merupakan kakak dari Syarif Abdullah (ayah Sunan Gunung Jati). Dari pernikahannya dengn Halimah, Syekh Datuk Kahfi memiliki empat orang anak, yaitu Syarif Abdurakhman, Syarifah Baghdad, Syarif Abdurrachim dan Syekh Datul Chafid.
Mereka berempat ditinggalkan di Baghdad dan diasuh oleh uwaknya, yaitu Sulaiman. Keempat putranya ini kemudian menyusul ayahnya ke Cirebon setelah di usir oleh uwaknya karena kegemarannya berjalan keliling kota sambil menabuh rebana dan menggendong-gendong anjing.
Dari beberapa versi diatas secara garis besar memiliki kesamaan. Maka dapat disimpulkan bahwa Seni Brai ini diciptakan dan dikembangkan oleh keempat putra Syekh Datuk Kahfi. Setelah Cirebon merdeka dan berdaulat tahun 1482 M, Sunan Gunung Jati memerintahkan agar kesenian Brai dikembangkan lagi.
Seni Brai dimulai dengan melantunkan puji-pujian berisi salam, basmallah, istighfar,wasilah, kalimat tayyibah dan shalawat nabi, yang dipimpin oleh seorang imam. Kemudian dlanjutkan dengan beberapa lagu-lagu religi, diantaranya : Witing Suci, Awal Lahir Kang Kadulu, Awal Butin Tiningalan, Seyogyane Wong Sadaras, Wahdatul Sifating Ngelmu, Alam Insan, Den Emut Pitutur Ingsun dan Padang Wulan.
Setelah lagu pembuka tersebut dilanjutkan dengan babak rakaat pertama yang berisi lagu Dzikir Agung, Sanggem Agung, Dzikir Sewu dan Rumasa. Rakaat Kedua berisi lagu : Sekar Makam, Kelayon, Pare Anom dan Subek. Rakaat ketiga terdiri dari lagu Lung Gadung dan Pengalasan.
Waditra Brai terdiri dari dua buah terbang dan sebuah gendang model Cirebonan. Jumlah personilnya sekitar 25 orang terdiri dari lelaki dan wanita. Seragam pria memakai Iket, baju kampret, kain sarung dan celana sontog.
Sedangkan busana wanita terdiri dari Sanggul Kiyomham/Bokor Cina Toh dengan hiasan bunga melati, baju kurung, selendang, kestagen/bengkung dan kain batik. Saat ini kesenian Brai hanya terdapat di desa Bayalangu (Kec Gegesik), Desa Wangunarja (Kec.Klangenan) dan Desa Bakung Lor (Kec. Bakung Lor).