Catatan Inilah.Com: Urusan Ferdy Sambo Jangan Lupakan Diagram Konsorsium 303
Seiring kepercayaan para motivator untuk mengubah musibah menjadi peluang kebangkitan, Kapolri—setelah sekian lama terkagetkan dan membuatnya lamban—harus segera menuntaskan persoalan besar di tubuh jajarannya ini. Tidak sekadar membongkar pembunuhan tersebut, mengungkap motifnya hingga tak terkesan menyepelekan logika publik, membongkar kebenaran diagram 303, tetapi juga mencabuti benih-benih kanker di tubuh Polri. “A fonte puro pura defluit aqua”, kata pepatah Latin. “Air yang jernih, membual dari mata air yang jernih.” Personel polisi yang baik pun, hanya mungkin datang dari organisasi Polri yang baik.
JERNIH– Sepanjang sejarah Kepolisian Amerika Serikat, nama-nama seperti: Robert Gisevius, Kenneth Bowen, Anthony Villavaso, Louis Eppolito, Stephen Caracappa, Joseph Miedzianowski, John Burge, David Mack, Rafael Perez dan yang kondang di kekinian, polisi pembunuh George Floyd, Derek Chauvin, tercatat sebagai oknum polisi yang paling mencoreng muka Kepolisian negeri itu. Tetapi meski mendapatkan hukuman tertinggi—mati–, yang dilakukan Gisevius, Bowen dan Villavaso, tidaklah menghabisi nyawa personel polisi lain.
Begitu pula Eppolito dan Caracappa, dua personel NYPD yang akhirnya terbongkar sebagai awak keluarga mafia Lucchese dan Gambino. Mereka pada awal 2000-an dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, hingga keduanya sekarat di sekitar 2010 lalu. Maka jika pada saatnya Polri bisa membuktikan bahwa mantan Kadiv Propam, Ferdy Sambo (FS), merupakan otak sekaligus pelaku pembunuhan Brigadir Yosua, lalu membongkar dan membuktikan kebenaran bahwa dirinya membangun ‘mafia’ judi yang melibatkan sekian banyak personel di Kepolisian, seberapa ngeri hukuman yang akan Sambo terima?
Pasalnya, jika—kita sebut saja dulu—sas sus yang beredar, entah melalui berbagi kabar secara daring atau yang lebih canggih seperti saling sharing “diagram Konsorsium 303 Kaisar Sambo”via pesan WA, itu benar, dalam versi buramnya sendiri FS telah mencatatkan sejarah baru di Kepolisian RI. Bagaimana tidak, bila—sekali lagi kalau benar—dengan jaringan yang dibangunnya itu FS telah melibatkan setidaknya 97 personel Polri. Itu baru angka yang bisa dikutip pers berdasarkan angka resmi yang diberikan Polri. Setidaknya, keterangan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, menyatakan bahwa Polisi telah mengungkapkan ada 97 anggota Polri yang berasal dari perwira tinggi hingga tamtama, yang melanggar kode etik profesi polisi (KEPP).
Diagram Konsorsium 303 Kaisar Sambo sendiri adalah dokumen yang beredar luas di antara pengguna medsos, baik WA, Facebook maupun Twitter. Dokumen itu mulai beredar sekitar dua pekan lalu, berisikan cerita dan data para perwira Polri yang diduga terlibat dalam membekingi bisnis ilegal, seperti perjudian, prostitusi, tambang ilegal, minuman keras, penyelundupan suku cadang palsu, hingga solar bersubsidi. Dalam dokumen yang tersebar viral tanpa jelas siapa penyebar pertamanya itu, ada narasi yang menyatakan bahwa FS, tatkala masih memegang pangkat dan kedudukannya di Kepolisian, dikenal oleh kalangan bandar judi dengan sebutan “Kaisar Sambo”.
Jangan salah, lebarnya persoalan ini pun karena di antara mereka termasuk seorang lulusan terbaik Polri, penerima penghargaan Adhi Makayasa. Wajar bila anggota senior DPR RI, Trimedya Panjaitan, menyatakan kekagetannya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan Mabes Polri, Rabu (23/8) lalu. Paling tidak, bila benar, kita bisa mengukur kuatnya power yang dimiliki FS, sehingga seorang polisi sekualitas penerima Adhi Makayasa pun bisa ia pengaruhi.
Apalagi isu Diagram Konsorsium 303 itu pun tidak gampang diabaikan begitu saja. Betapa detilnya diagram tersebut mengurai siapa dan apa peran mereka dalam ‘konsorsium’, disertai dengan nomor-nomor telepon selularnya sekalian, membuat jurnalis mana pun tidak bisa segera melemparnya ke recycle bin, atau ke tempat sampah setelah ia “kerajinan”—dalam bahasa anak gaul sekarang– mencetaknya. Pasti, hanya jurnalis malas yang melakukan itu, seraya berharap ada wartawan lain yang melakukannya, agar dia bisa ikutan menuliskannya sebagai berita pada saatnya.
Bahkan Polisi, pihak yang paling dirugikan diagram konsorsium 303, dan diagram yang fokus menunjuk Kabareskrim Komjen Agus Andrianto yang beredar belakangan, juga menyatakan tidak mengabaikan begitu saja diagram tersebut. Paling tidak, itu yang secara resmi dikatakan Kapolri Sigit, di Gedung DPR, Rabu (24/8) lalu. Sigit menjanjikan bahwa Polisi akan menindaklanjuti isu yang beredar di masyarakat ihwal adanya praktik judi yang diduga dibekingi mantan Kadiv Propam Polri, FS, melalui Diagram Kaisar Sambo 303 tersebut. “…Apakah betul Kaisar Sambo dan genknya terkait dengan masalah konsorsium, saat ini kami sedang melakukan pendalaman. Propam saya minta untuk melakukan pendalaman,”kata Kapolri.
Sikap Kapolri tersebut jelas bijak. Artinya, lebih arif dibanding beberapa anggota DPR yang berpikir konvensional dengan mengajak publik mendukung pilihan untuk mendahulukan pengungkapan pembunuhan di rumas dinas Kadiv Propram itu saja. Atau bahkan bila dibandingkan dengan sikap Kadiv Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo, yang dalam catatan banyak media sempat menegaskan bahwa Polisi memilih untuk mengabaikan isu yang berkembang mengenai kekaisaran FS dan ‘’Konsorsium 303” di lingkup Polri itu. Memang begitu terbataskah personel Polri, hingga penyelidikan-penyidikan kasus-kasus harus dilakukan laiknya rangkaian seri dalam pelajaran dasar-dasar elektronika, tidak bisa paralel?
Namun demikian, kita bisa berharap paling tidak dari pernyataan Kapolri di hadapan anggota DPR Rabu kemarin. “Kalau itu nanti saya dapati pejabatnya, pasti saya copot. Itu merupakan komitmen saya. Di zaman saya, judi tidak ada,”ujar Kapolri.
Pengungkapan isu Diagram Konsorsium 303 itu pun kian penting, mengingat saat ini kedua diagram tersebut—diagram 303 dan diagram yang menyertakan Kabareskrim—tampaknya telah cukup memecah belah semangat korps di jajaran Kepolisian. Sampai-sampai, dua anggota DPR, Desmond Mahesa dan Arteria Dahlan, melihat ada semacam ‘Perang Bintang’ alias Star War di internal Polri. Tentu saja, hal itu berbahaya, hingga keduanya meminta Kapolri segera membongkarnya tuntas, alih-alih tidak mengacuhkan.
Kearifan lama budaya kita menyatakan akibat nila setitik, rusak susu sebelanga. Seiring kepercayaan para motivator untuk mengubah musibah menjadi peluang kebangkitan, Kapolri—setelah sekian lama terkagetkan dan membuatnya lamban—harus segera menuntaskan persoalan besar di tubuh jajarannya ini. Tidak sekadar membongkar pembunuhan tersebut, mengungkap motifnya hingga tak terkesan menyepelekan logika public, membongkar kebenaran diagram 303 tersebut, tetapi juga mencabuti benih-benih kanker di tubuh Polri.
“A fonte puro pura defluit aqua”, kata pepatah Latin. “Air yang jernih, membual dari mata air yang jernih.” Personel polisi yang baik pun, hanya mungkin datang dari organisasi Polri yang baik. [Inilah.Com]