POTPOURRI

Celtic VS Rangers, Ketika Sepakbola Bisa Jadi Ritual Berkubang Darah

Dalam dua setengah jam usai pertandingan bulan Mei 1999, polisi mencatat deretan aksi kriminal yang diperbuat oleh suporter Rangers dalam pesta tawuran itu:  “Karl McGraorty, 20 tahun, tertancap panah di bagian dada saat meninggalkan sebuah pub Celtic. Liam Sweeney, 25 tahun, karena mengenakan kaos berwarna hijau, dipukuli oleh empat orang di sebuah restoran Cina. Thomas McFadden, 16 tahun, ditikam di bagian dada, perut, dan selangkangan…

JERNIH–Dengan suara menggelegar mereka nyanyikan lagu pujian tentang pembantaian. “Lutut kami berkubang darah orang Feni,” bunyi nyanyian penuh horor yang dinyanyikan sekitar 44.000 orang pendukung kesebelasan Glasgow Rangers yang Protestan itu. Ini Stadion Ibrox, kandang Glasgow Ranger, hingga mereka bisa bikin yel-yel sebuas apa pun. “Bila kau benci bangsat Feni, tepuk tangan!”dengan lagu layaknya lagu Pramuka.

Orang Feni yang dimaksud adalah sekitar 7.000 pendukung kesebelasan Glasgow Celtic, yang turun temurun Katolik. Mereka duduk di area terpisah di belakang gawang. Walau kamera pengawas terus memantau setiap gerak gerik di Ibrox, pemisah keduanya hanya sebaris polisi berjas hujan kuning, yang diragukan bisa mencegah ribuan suporter tuan rumah bila saja mereka nekat mewujudkan kebencian mereka, “Dengan bedil atau pistol di tangan”, sebagaimana lirik lagu mereka.

Glasgow adalah kota tempat fanatisme akan (klub) sepakbola mencapai puncak paling tak masuk akal. Sejatinya mungkin bukan pada bola, melainkan pada agama dan akar tradisi masing-masing kelompok agama yang ada.

Di sini, hari pertandingan antara Celtic dengan Rangers selalu menjadi hari yang paling rawan kerusuhan. Pertikaian antara kedua seteru yang menghuni satu kota ini telah menghasilkan kisah-kisah horor persepakbolaan. Ada yang ditolak bekerja karena mendukung tim lawan. Ada fans yang dibunuh karena mengenakan kaos yang salah di lingkungan yang salah. Sepertinya, tidak ada yang lebih dibenci selain tetangga sendiri. Tapi perseteruan Celtic dengan Rangers lebih dari sekadar kebencian terhadap orang terdekat. Inilah perang yang belum tuntas antara Katolik dengan gerakan Reformasi Protestan yang sejatinya dimulai sejak Martin Luther mengumumkan “Publikasi 95 Tesis” di tahun 1571 baheulaaaa!

Final Piala Skotlandia, 1980

Usai pertandingan, di luar stadion, suporter Rangers yang memakai kaos oranye, mengibarkan panji-panji oranye. Itu artinya mereka terus  memperingati penggulingan monarki Katolik tahun 1688 oleh William of Orange (atau yang mereka sebut “Raja Billy”).

Penghormatan diberikan pula kepada para penerus Raja Billy di zaman modern. Misalnya, pujian kepada kelompok paramiliter Protestan di Irlandia Utara (yakni Ulster Volunteer Force dan Ulster Defense Association), yang ditenun pada syal-syal mereka dan digubah menjadi lagu. Ketika Rangers bernyanyi, “Halo, halo, kami ini Billy Boys”, yang mereka maksud adalah geng yang menghabisi umat Katolik Glasgow di waktu antara Perang Dunia Pertama dan Kedua. Billy Boyslah yang mendirikan cabang lokal Ku Klux Klan pada tahun 1920-an.

Beberapa dampak kerusuhan Celtic dengan Rangers ini bisa  ditabulasikan. Menurut kelompok aktivis yang memonitor sektarianisme di Glasgow, selama akhir pekan pertandingan Celtics-Rangers, pasien yang dikirim ke bangsal gawat darurat meningkat sembilan kali lipat sepanjang tujuh tahun terakhir. Sepak bola telah merenggut delapan korban jiwa yang terkait langsung dengan pertandingan derby Glasgow. Dalam dua setengah jam usai pertandingan bulan Mei 1999, polisi mencatat deretan aksi kriminal yang diperbuat oleh suporter Rangers dalam pesta tawuran itu:

“Karl McGraorty, 20 tahun, tertancap panah di bagian dada saat meninggalkan sebuah pub Celtic. Liam Sweeney, 25 tahun, karena mengenakan kaos berwarna hijau, dipukuli oleh empat orang di sebuah restoran Cina. Thomas McFadden, 16 tahun, ditikam di bagian dada, perut, dan selangkangan—tewas dibunuh setelah menonton pertandingan di sebuah pub Irlandia.”

Saat sempat menyaksikan derby tersebut, saya melihat pemandangan ini di stadion: seorang bocah ABG berambut merah dengan muka jerawatan memakai kaos oranye dan mengibas-ngibaskan bendera Inggris seukuran poster dengan garang. Ludah bersembirat dari mulutnya, bagaikan hawa nafas di musim salju. Ketika ia berteriak-teriak “Lutut kami berkubang darah orang Feni”, saya yakin bahwa ia memang bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Tepat di sebelah bocah itu, seorang pria ikut asyik bernyanyi-nyanyi. Pria itu ayahnya sendiri.

Padahal inilah Glasgow, kota yang pernah membesarkan para tokoh seperti Adam Smith, Francis Hutcheson, tokoh-tokoh pencerahan Skotlandia yang bukan sembarangan. Seratus tahun lebih sedikit sesudahnya, Charles Rennie Mackintosh menyumbangkan kompleks arsitektur modern nan unik sebagai ciri khas pusat kota Glasgow. Ini kota modern; riuhnya perdagangan, kedai Starbucks di mana-mana, saudagar imigran kaya raya, dan gedung-gedung konser modernis. Tapi untuk yang satu itu, Glasgow seperti berjalan di tempat.

Teori mengatakan, ketika sebuah masyarakat maju secara ekonomi, masyarakat itu juga akan maju secara politik: mereka akan menjadi lebih liberal, toleran dan demokratis. Proses yang mungkin rumit, tapi akhirnya semua harus memancarkan kesan multikulturalisme. Ingatlah, “the United Colours of …”

***

Dalam banyak hal, sentimen agama telah menghidupi, dan karenanya, juga dihidupi. Oleh kedua klub itu, pada akhirnya. Misalnya, pada 1990-an, ketika kubu Protestan bertempik sorak atas sebuah gol, mereka diprovokasi oleh kapten kesebelasan Lorenzo Amoruso, seorang Italia berambut gondrong dengan paras mirip peragawan era 1980-an. Sambil menghentak-hentakkan tangan ia meminta suporter mereka menyanyikan lagu-lagu anti-Katoliknya lebih lantang lagi. Yang paling ironis, Amoruso sendiri seorang Katolik! Begitu pula sebagian besar pemain Rangers, sebenarnya. Sejak akhir tahun 1990-an, tim Rangers secara rutin mengontrak pemain Katolik sebanyak tim Celtic. Mereka berasal dari Georgia, Argentina, Jerman, Swedia, Portugis, dan Belanda, karena uang bisa membeli apa saja. Juara lebih penting daripada kemurnian agama.

Namun, sebagai kapitalis dan hidup dari Kapitalisme, baik Celtic maupun Rangers toh tidak berusaha meredam fanatisme religius para penggemarnya. Rangers terus menjajakan kaos oranyenya. Mereka pasang lagu-lagu di pengeras suara stadion Ibrox yang mereka yakini akan memprovokasi yel-yel anti-Katolik. Lagu “Simply the Best”-nya Tina Turner mampu membuat 40.000 orang memekik sekeras-kerasnya, “Mampus Sri Paus!”

Klub-klub menyalakan api kebencian etnis; hanya sesekali berusaha meredamnya, karena mereka tahu kebencian etnis itu bagus buat bisnis. Bahkan di pasar global, mereka menarik suporter yang haus akan identifikasi etnis agar ikut dalam pertempuran eksistensial demi puak atau kelompok mereka. Jika slogan-slogan ekstremis ini hilang, mereka pun ikut kehilangan uang. Malah sesungguhnya sejak awal permusuhan mereka, Celtic dan Rangers telah dijuluki sebagai “Old Firm’, karena sepertinya mereka justru bersekongkol untuk menangguk untung dari rasa benci mereka satu sama lain.

Tesis modernisasi memang menyediakan banyak penjelasan mengenai penyebab kebencian-kebencian iliberal ini —misalnya persaingan memperebutkan lapangan kerja yang minim, atau negara kesejahteraan yang tak memadai. Tetapi tak satu pun kondisi macam itu bisa ditemukan dalam jumlah besar di Glasgow. Diskriminasi sudah sirna. Masalah pengangguran tidak lebih baik atau lebih buruk dari daerah Inggris lainnya. Mengenyampingkan logika sejarah, kota itu terus mempertahankan tribalismenya karena ada sejenis kenikmatan terlarang yang timbul dari situ. [Disarikan dari “How Soccer Explain the World…”Franklin Foer, New York, 2004]

Back to top button