POTPOURRI

Cerita Pendek : Ingin Tetirah

Sejak itu, merasa wajib mengenal nama-nama makanan yang asing-asing di telinga. Demi gengsi.

Oleh  : Usep Romli HM

Ingin tetirah. Menyingkir dari keruwetan hidup di kota. Ke sana, ke kampung asal.  Tempat kelahiran. Tempat para leluhur, hingga ibu bapa dan sanak saudara, menetap di situ.

Beberapa kali dirundingkan dengan istri. Ia setuju saja. Hanya belum ada ketentuan, kapan dan bagaimana. Ia tampak agak berkebaratan meninggalkan lingkungan tempat tinggal sekarang. Sebab bukan sebentar. Sudah empat puluh tahunan. Mulai dari membangun rumah kecil-kecilan, sejak belajar berumah tangga. Sedikit demi sedikit memperluas tanah dan memperbagus rumah. Sejak menjadi PNS golongan II/a, lulusan SMA. Pelan-pelan kedudukan terangkat oleh ijazah.

Semula merasa cukup dengan melanjutkan ke tingkat sarjana muda. Bangga mencantumkan gelar B.A. Tapi terseret kawan-kawan yang sekolah lagi ke tingkat sarjana.  Meraih gelar Drs, SH, SE, dan entah apalagi  yang bisa membawa civil effect. Pengaruh kepada kepangkatan.  Dan setelah musim pascasarjana, terus juga. Menambah percaya diri dengan gelar-gelar S-2. MPd, M.M.M.Si, M.Hum dan seterusnya. Yang penting punya ciri hasil studi.

Rejeki juga semakin subur. Tak pernah surut. Gelar bisa dipakai modal mempertinggi status sosial dan kekayaan. Rumah tambah dua tiga buah.Mobil dan motor lebih dari satu. Hanya istri yang tak bertambah. Tetap saja satu. Paling tidak secara legal-formal. Kalau illegal dan nonformal, tak perlu dibahas. Pengaruh penghasilan dan kedudukan, serta kesempatan. Masak tak dimanfaatkan?

Kebetulan istri sangat penurut. Percaya penuh kepada suami. Tak pernah menggubris isu-isu miring. Yang penting, suami resmi milik sendiri.Tak ada saingan.

Pada upacara selamatan kawin perak, para hadirin memuji-muji kerukunan rumah tangga kami. Kolega-kolega  istri, di arisan, majelis ta’lim dan tempat fitness, malah menyelenggarakan acara khusus. Kesaksian atas kesuksesan dua puluh lima tahun berumah tangga. Membuat publikasi di televisi dan koran.

Untuk soal ini, ia pernah curhat.

“Merasa dosa, berbuat kebaikan diramaikan berita. Padahal nyumbang hanya sedikit. Satu jutaan saja. Tapi biaya publikasi lebih dari lima jutaan.”

“Tak usah jadi masalah. Yang penting Mamah nyumbang, nama terkenal. Kan Papah juga tebawa sohor.”

Sengaja, beberapa bulan sebelum perayaan kawin perak, memperluas dulu bangunan rumah. Kebetulan masih ada tanah kosong di belakang. Menambah dapur. Asal dua buah, dapur basah dan dapur kering. Sekarang ditambah beberapa buah lagi sesuai usul arsitek dan ahli kuliner yang sengaja diundang. Mereka merancang dapur modern kontemporer internasional. Ada dapur Itali, yang  terkenal dengan pizza dan pasta. Ada dapur Belanda, dengan keju dan panekuk. Dapur Jepang yang menyediakan susi, gurume, dan macam-macam lagi .

“Kalau begitu, harus ada dapur Sunda.”

“Dapur Sunda,”istriku mengernyitkan dahi.

“Ya, dapur Sunda. Di terasnya lengkapi dengan tanaman sayur-sayuran khas Sunda. Periuk tempat membuat nasi liwet, tungku, kayu bakar, cobek, penggerus dan berbagai pelengkapnya. Sekedar simbol saja, walaupun kita sudah lama tak menyantapnya.”

Ternyata dapur Sunda mendapat perhatian semua orang yang menghadiri pesta kawin perak.  Mereka berkerumun di situ. Bertanya berbagai hal tentang kuliner Sunda.

Untung ada Bi Kenoh. Tukang masak di kampung yang sengaja diundang. Masih saudara juga. Ia yang jadi juru bicara . Menerangkan alat-alat dapur yng terbuat dari kayu, bambu, batok kelapa, tungku tanah dan jenis-jenis lainnya. Menerangkan aneka macam bumbu dari dedaunan, kulit kayu, batang perdu dan macam-macam. Juga rinci sekali menerangkan kegunaa tulang iga domba yang dikeringkan, untuk menyedapi sayur kacang.

Semua berdecak heran dan kagum. Keunikan kuliner perdesaan Sunda menjadi bahan pembicaraan tak habis-habis. Di dapur Itali, Belanda dan Jepang, tak ada yang bertanya. Padahal istriku sudah didampingi koki internasional yang siap memberi keterangan.

Niat ingin tetirah terus menyala. Istriku menyarankan agar terlebih dulu mengundang saudara dari kampung. Untuk bertanya-tanya segala apa keadaan di kampung.

“Memang kita masih punya tanah sedikit dan rumah kecil. Tapi itu kan diisi orang yang disuruh menggarap. Lebih baik kita membangun rumah baru, “kata istriku yang masih punya naluri kekampungna, walauoun sudah empat puluh tahum lebih hidup di metropolitan.

 “Ya,kita undang saja Mang Uki. Suruh Hanong menjemputnya.”      

Hanya semalam Hanong di kampung. Esoknya sudah kembali lagi. Membawa Mang Uki. Kami menyambutnya dengan gembira. Maklum masih saudara dekat. Dan sudah lama tak jumpa.

Istriku segera memesan pizza untuk menyuguhi Mang Uki di dapur Itali . Tapi ia tak mau makan. Begitu pula ketika disediakan hoka-hoka bento di dapur Jepang. Baru ketika disediakan makanan Sunda pesanan dari sebuah restoran Sunda terkenal, Mang Uki tampak berselera. Makanan yang disuguhkan hampir habis disantapnya.

“Aden tidak makan?”tanya Mang Uki.

Aku, yang setengah bengong menyaksikan lahapnya ia makan, menggeleng.

“Belum ingin. Nanti saja.”

Padahal dalam hati kecil menyala keinginan makan seperti itu. Bebas penuh selera. Seperti dulu. Seperti juga Hanong dan para pembantu lain yang tak ragu memakan apa pun pasakan di dapur.

Sudah tak bisa lagi seperti itu. Harus diatur oleh dokter. Tadi pagi, dokter pribadi menelepon. Hari ini sarapan harus dua butir telur rebus dan air bening dua gelas.  Tak boleh lebih. Untuk makan siang, harus menunggu lagi perintah dokter atas hasil pemeriksaan air kencing di laboratorium, yang akan dikirimkan Hanong nanti setelah sarapan.

Jika melanggar, penyakit yang sudah lima tahun bersarang dalam tubuh, akan kambuh. Konflikasi. Liver, kolestrol, jantung, ginjal, hipertensi, diabet, dan bermacam lagi, bangkit merongrong. Sekali timbul, membuat cemas diri sendiri dan semua orang. Dan sekali mengobatinya, harus habis berbelas juta.

“Emang mah, entah mengapa. Makan selalu berselera, Aden !” Mang Uki bersendawa keras.”Padahal sudah tua begini, rakus terus. Belum ada pantangan.”

“Daging domba, daging kambing, masih makan?” tanyaku penasaran.

“Ya kalau ada, dimakan saja. Kepalanya, jeroannya…. Tapi kan jarang ada tiap hari, Aden.   Di pasar memang banyak jualan. Tak punya untuk membelinya. Cuma nunggu lebaran haji saja. Daging kurban. Atau kalau ada hajatan…”Mang Uki tersenyum.

Malamnya, Mang Uki diajak berunding soal rencana tetirah di kampung,

“Oh Aden dan Enden sudah bosan di kota ?”

“Begitulah, Mang. Coba lihat-lihat tanah kosong yang tersisa. Untuk dibangun rumah di situ.  Rumah panggung sederhana saja. Sekalian tolong cari tukang kayunya.”

Keesokan harinya, Mang Uki pulang. Diantarkan lagi oleh Hanong. Ditatap lama dari gerbang. Segala kenangan masa kanak-kanak bersamanya, muncul kembali. Bermain di halaman rumah, di kebun, di bukit. Memetik buah-buahan aneka macam. Memakannya tanpa  ayal. Tak pernah menjadi penyakit. Malah menyehatkan.

Beda dengan memakan makanan bersama kawan-kawan sesama orang kaya baru. Makan untuk gaya hidup. Makan sebagai hobby istimewa yang lain dari yang lain. Tidak bertujuan mengenyangkan perut, menyerap asupan gizi dan vitamin. Tapi agar mendapat pengakuan dari teman-teman seklub pecinta good food.

Diundang ke acara “chainnes des rostesseur dinners”. Semula dikira acara makan biasa. Berangkat dari rumah dengan perut kosong.

Ternyata hanya diajak mencicipi aneka macam masakan mancanegara. Terus diharuskan memberi komentar atas pasakan yang barusan dicicipi. Acara berlangsung sekitar tiga jam. Hampir-hampir pingsan karena lapar. Sebab yang masuk ke perut, hanya sedikit-sedikit  makanan yang dicicipi  saja. Tambah minum anggur buatan Prancis dan kacang goreng buatan Ustrali.

Padahal dana yang keluar dari saku untuk dua orang, empat juta rupiah. Mahal dan perut lapar demi gengsi.

Tiba ke rumah, langsung pingsan. Ketika sadar, dipaksakan menyeruput bubur ayam. Beli dari pinggir jalan. Istriku besoknya ke dokter. Maagnya kambuh.

Sejak itu, merasa wajib mengenal nama-nama makanan yang asing-asing di telinga. Demi gengsi. Seperti tenderloin, bakar daging sapi muda ditaburi bubuk lada hitam, keroket bawang dan terung ungu dibaluri saus dan perasan jeruk mandarin. Minumannya martini. Atau “lightly smoked salmon”, saos “horse radish caper”, “medallion of  veal Oscar”. Minumnya cognac. Ada lagi “abalone, “dimsum”, “hist soup” dan banyak lagi. Sekali makan habis dua tiga juta. Bayarnya tak boleh pakai uang tunai. Harus dengan kartu kredit.

Dari acara-acara makan tak karuan, mulailah mengalami banyak pantangan. Hingga menu diatur oleh dokter berdasarkan kondisi air kencing. Ingatan melayang ke masa kanak-kanak. Justru air kencing berdasarkan apa yang dimakan . Makan petai tentu bau sengak. Makan buah-buahan hutan, mungkin warna air kencing kuning.

Dua minggu kemudian, Mang Uki datang lagi. Bukan melaporkan soal lahan dan rumah untuk tetirah. Tapi memberitakan penduduk kampung terserang paceklik. Sudah banyak yang tak punya beras, akibat tak punya uang karena tak ada pekerjaan.

“Terpaksa makan apa saja. Singkong atau umbi-umbian  lain. Sekedar pengganjal perut lapar.

Kelaparan! Di koran ada beritanya. Kecil saja di halaman dalam. Pada koran itu juga terpampang iklan besar-besar. Pembukaan restoran baru. Dan penawaraan keanggotan klub “good food lovers” baru. Iurannya 80 dolar AS sebulan. Seratus pendaftar pertama mendapat potongan 10 persen dari sekali makan yang harganya Rp 3 juta seporsi. Menu-menu istimewa yang akan dihidangkan, lengkap tercatat. Antara lain “double boiled supersor shark fill in young cocooned”. Sup sirip ikan hiu dalam batok kelapa muda.  “Whole abalone in browers sauce”. Kerang abalon dengan saos coklat. “Frawon in hit garlic sauce”. Daging ikan saus bawang putih.

Dan banyak lagi. Banyak lagi. Hampir sehalaman penuh.

Terbayang yang kelaparan di kampung. Hati trenyuh menyaksikan Mang Uki sedang makan nasi dan bermacam lauk menu restoran Sunda. Penuh selera seperti biasa.

Teringat kepada diri sendiri. Tak bisa makan sembarangan, kecuali atas petunjuk dokter. Padahal rumah mewah punya rupa-rupa dapur.

Rupanya, rencana tertirah harus ditangguhkan. Dirundingkan lagu dengan istri,yang hari ini sedang arisan berlian, dilanjutkan dengan majelis talim dan diakhiri dengan fitness.

Bebas benar dia. Karena tak harus mengurus  makanan suami. [  ]             

Back to top button